Tuesday, December 30, 2003

Harrods, Permata Asing di Jantung Britania

Ritual belanja akhir tahun itu, apa boleh buat, tak mungkin saya lewatkan. Sudah berhari-hari, iklan anjing kecil berkuping lebar yang mengajak ke pesta diskon, muncul di televisi, koran-koran, dinding-dinding bis dan taksi. "Be blown away by the prices. The Harrods Sale starts 29th December.".

Ya, hari ini, Selasa 29 Desember, toko serba ada Harrods memulai hari pertama pesta rabatnya. Pukul sembilan pagi, di bawah kilat lampu kamera wartawan, Muhammad Al-Fayed membuka pintu Harrods dalam sebuah prosesi yang tak biasa. Dimulai dengan kedatangan artis Hollywood, Jennifer Love Hewitt dalam kereta kencana yang ditarik dua kuda hitam, hitung mundur, lalu pintu Harrods dikuakkan.

Saya tiba di sana beberapa saat setelah prosesi itu berlangsung. Bersama istriku, Karin dan sahabat kami Rani Susilo, kami keluar dari tangga Stasiun Knightsbridge dan langsung berada dalam antrian panjang di emperan Harrods. Gerimis membasahi Brompton Road dan udara dingin membekukan ujung-ujung jariku.

Di dalam Harrods, ribuan orang seperti tengah bertawaf: padat dan berputar-putar. Kami langsung menuju Harrods World, tempat aneka cinderamata khas berlambang toko ini dijajakan. Kaleng-kaleng, tas kulit dan plastik, boneka, mug, pembatas buku, semua pernak-pernik yang mengundang. Lalu dari situ, menjelajah ke beberapa ruang dan lantai. Dan saya, seperti biasa, adalah penonton orang belanja yang baik, sementara Karin tersaruk-saruk dengan tas belanjaannya.

Empat jam lamanya, dan kami baru mendatangi beberapa ruang. Satu yang mengesankanku, ruang tangga bernuansa Mesir kuno yang tentu saja amat mahal: Central Egyptian Escalator dengan mosaik langit-langitnya yang memukau. Di ujung anak tangga terbawah, ada ruang memorial sahibul toko: foto Lady Diana dan Dodi Al-Fayed dalam bingkai emas dan pendar lilin di atas tatakan batu saphir.

Ah, Harrods, siapa tak mengenalnya --setidaknya, pernah mendengar namanya. Ia bukan sekadar jejeran manekin, rak-rak busana, dan mega toko di 87-135 Brompton Road, sebuah jalan di kawasan Knightsbridge, London. Tapi Harrods adalah etalase Inggris itu sendiri.

Motto Latin-nya yang terkenal, omnia, omnibus, ubique (apa pun, siapa pun, di mana pun) dengan tepat menunjukkan kelas Harrods sebagai pusat belanja yang menjual segala jualan, didatangi segala rupa manusia dari pelosok manapun di muka bumi.

Tentu Charles Henry Harrods tak pernah bermimpi, kedai teh kecil yang ia buka di tahun 1849 akan segemerlap itu. Tapi talenta dagang tehnya yang cemerlang membuat toko ini kemudian bertahan melintas zaman. Ia menjadi bangunan pertama yang menggunakan eskalator di Inggris.

Kini --satu setengah abad kemudian-- Harrods sudah menjadi mega toko seluas enam hektare, yang menghabiskan 48 nomor bangunan di Brompton Road, dengan lebih dari 330 departemen dan 4.000-an pelayan. Warga London menjuluki gedung berlantai enam ini Istana Knightsbridge. Di malam hari, pendar 11.500 balon lampu warna-warni membungkus bangunan megah bernuansa terrakota-nya yang eksotis, dengan kubahnya yang menjulang.

Pada setiap usai Natal setiap tahunnya, seperti hari ini --29 Desember 2003, ketika Harrods mengawali pesta rabat-- ribuan orang rela begadang semalam suntuk demi menjadi rombongan pertama yang mengantri di depan pintunya. Mereka mendirikan tenda kecil di trotoar dan emperan Harrods, berbalut kantong tidur dan embun dinihari, untuk ritual yang tak biasa ini: berbelanja di toko terbesar di Britania Raya.

Tak heran jika pada sebuah hari belanja di tahun 1997, Harrods menghitung penjualan terbesarnya dalam 10 jam saja: 16 juta pounds (240 miliar rupiah!).

Harrods bukan lagi sekadar toko, ia adalah miniatur kapitalisme, ia juga jadi ilham bagi banyak karya. Pada sebuah hari di tahun 1924, penulis kelahiran Hampstead, Alan Alexander Milne berbelanja boneka beruang untuk putranya Christopher Robin. Belakangan boneka beruang ini menjadi inspirasinya --juga model-- untuk menulis cerita anak Winnie the Pooh yang terkenal itu.

Di sisi lain, di mata publik Inggris, pusat belanja termegah itu bak benda asing dalam perut. Pemiliknya, Muhammad Al-Fayed, bukanlah warga negara Inggris. Sudah 35 tahun sang firaun bisnis asal Alexandria, Mesir ini bermukim di London, tapi ia tak kunjung memperoleh hak kewarganegaraannya.

Seluruh dunia tersentak ketika laki-laki 70 tahun ini mengambil alih saham House of Fraser, pengelola Harrods dengan harga 615 juta pounds di tahun 1985. Media-media Inggris yang menjuluki Al-Fayed sebagai the Fabulous Pharaoh, benar-benar tak habis pikir, bagaimana laki-laki flamboyan yang datang dari negeri di pinggir Sungai Nil ini bisa dengan mudah mengambil alih kepemilikan atas salah satu simbol Britania di dunia bisnis itu.

Al-Fayed bersama dua saudaranya, Ali dan Salah Al-Fayed juga pemilik hotel paling prestisius di Eropa, Hotel Ritz di Paris dan sebagian Rockefeller Center di New York. Popularitasnya kian terdongkrak ketika ia membeli klub sepakbola Fulham di bulan Mei 1997, beberapa pekan setelah klub kota London ini memenangkan promosi ke divisi satu Liga Inggris.

Keluarga Al-Fayed juga jadi buah bibir dunia ketika putra tunggalnya Dodi Al-Fayed, intim dengan Lady Diana Spencer, istri Putra Mahkota Inggris, Pangeran Charles. Dodi, sang pangeran Harrods 42 tahun ini, tak kurang flamboyannya dari sang ayah. Ia terbang dengan pesawat jet dan helikopter pribadi dan berlayar dengan kapal pesiar miliknya sendiri. Sungguh ia memiliki segalanya: ayahnya, sang firaun Al-Fayed --the man who has almost everything-- dan ibunya adalah Samira Khashoggi, putri pialang senjata kaya Timur Tengah, Adnan Khashoggi. Tapi hidup sang putra mahkota berakhir tragis. Ia tewas dalam kecelakaan di Paris, 31 Agustus 1997, bersama Lady Di -- kematian yang ditangisi dunia.

Kini, dari kantornya yang mewah di seberang Hyde Park, Al-Fayed mengendalikan belalai bisnisnya di seluruh dunia. Tapi, ya itu tadi, ia tak kunjung menjadi warga negara Inggris, hak yang ia kejar sejak 1995. "Harrods is Brit, owner Fayed is far from it," tulis sebuah media, menyambut kegagalan Fayed untuk kesekian kalinya memperoleh hak kewarganegaraan, tahun 2003 ini.

Juru bicara Al-Fayed, Laurie Mayer tak menyangka sang majikan akan ditolak. Soalnya,"baru semalam ia bersalaman dengan Perdana Menteri Tony Blair di konferensi Dewan Muslim Britania," kata Mayer.

Al-Fayed tak kurang berangnya. "Saya pemilik Harrods dengan ribuan pekerja di negeri ini."

Departemen Dalam Negeri Inggris mensyaratkan hanya tiga hal untuk menjadi warga negara: berusia di atas 18 tahun, sudah tinggal dalam waktu lama di Inggris, dan berkelakuan baik. Adakah Al-Fayed belum memenuhi syarat ketiga? Ada banyak dugaan di seputarnya.

Yang jelas, Al-Fayed sendiri tampaknya sudah berputus asa. Pekan lalu, ia mengumumkan hendak bermukim di Swiss. Mungkin sesekali ia akan ke London, menyaru di keramaian Brompton Road dan memandang gemerlap ribuan lampu Harrods, timang-timangannya di tanah asing ini.

arungtasik@any-mail.co.uk

Monday, December 29, 2003

Ersa, Kesakitanmu....

.

Entah bagaimana engkau menghabiskan malam-malammu enam bulan ini. Nun di belantara Aceh, saya membayangkan engkau hidup hanya bersama salak senjata, tiris air nira, sekerat daging menjangan dan hanya sebentuk harapan. Selebihnya adalah kelebatan para serdadu.

Ersa Siregar, kita memang tak akrab benar. Lagipula, usia kita terpaut jauh, dalam hidup dan karir. Saya mengenalmu hampir sepuluh tahun lalu, di Makassar. Masihkah kau ingat perjalanan ke Toraja dulu itu? Engkau terlihat begitu ceria, dengan busana khasmu yang santai: celana khaki, kaus oblong, sesekali dengan rompi dan kalung RCTI. Engkau senior yang teramat rendah hati.

Kemudian, saya ke Jakarta juga. Kita hanya sesekali bertemu. Hanya bertukar sapa, lalu saling berlalu.

Wajahmu kembali akrab di benakku mendengar engkau dalam sekapan serdadu Aceh Merdeka. Lalu kemarin, kabar itu datang menghentak. Engkau tewas diterjang timah panas di sebuah pojok rimba. Di pinggir rawa-rawa. Duhai, kesakitanmu Ersa.

Saya tahu engkau seorang jurnalis sejati, laki-laki yang menemukan gairah liputan di daerah bergolak, tempat dentuman senjata seperti tak punya jeda, tempat anak-anak bisa menandai jenis senapan dari bunyi letupan. Seperti di Aceh, negeri yang sudah lebih satu abad lamanya menjadi rumah bagi peluru dan serdadu. Tentu di sana engkau sering mendengar kalimat yang jenaka namun getir: "Ini memang hanya perang-perangan, tapi matinya sungguhan."

Engkau pada akhirnya ikut pula bermain perang-perangan. Tapi rupanya itu bukan palagan mainan tempat serdadu Aceh dan tentara Indonesia sekadar bermain petak-umpet. Ada meriam dan mortir, ada ranjau dan bom. Semuanya sungguhan.

Dan engkau tertangkap. Semula, saya percaya benar, engkau pada akhirnya akan dibebaskan. Toh kata orang Aceh: pat ujeuen nyang han pirang, pat prang nyang han reuda. Tak ada hujan yang tak berhenti, tidak ada perang yang tak reda.

Tapi kapan? Dan engkau, Ersa Siregar, sudah telanjur tewas. Sungguh, tak bisa kulukiskan kesedihanku ini. Selamat Jalan, Kawan.



arungtasik@any-mail.co.uk

Wednesday, December 24, 2003

Ke Colchester, Berkunjung ke Masa Silam

Tempat ini benar-benar untuk tetirah: jeda dari hiruk-pikuk kehidupan dan merenungi jalan panjang hari-hari mendatang. Ke Colchester, kami menghabiskan dua hari terakhir sebelum kendaraan-kendaraan umum libur di hari Natal dan Boxing Day.

Perjalanan ke kota kecil di provinsi Essex itu bahkan sudah dinikmati sebelum sampai. Desa-desa yang sepi dan tetap apik di ambang musim dingin, seperti lukisan yang berarak di jendela kereta -- perjalanan 54 mil dari London. Padang-padang rumput yang luas dengan satu dua rumah di tengahnya, seperti selasar di bawah langit yang bening.

Dan Colchester melengkapi keindahan itu. Sebuah kota tua yang tertata, lansekap kota yang mengingatkanku pada Malino: meliuk-liuk dari puncak ke lembah, dari atap bukit ke ngarai-ngarai. Pusat kota berpenghuni 160.000 orang ini ditandai dengan sebuah menara di puncak Town Hall, gedung balaikota di Queen Street. Di sekitarnya bertebaran toko-toko kecil, kafe dan pub, dengan penghuni yang memiliki keramahan khas Inggris udik yang lebih banyak bertabik ketimbang bermohon.

Lebih dari itu, Colchester juga tempat untuk menengok masa silam, karena ia adalah kota tertua di Inggris. The oldest recorded town in Britain, begitu tertulis di brosur-brosur dan situs tentang Colchester. Nama kota ini tercatat dalam catatan penulis Romawi, Pliny Tua bertahun 77 Masehi. Pliny Tua menyebut nama Camulodunum, nama kuno Colchester. Ia pun tercatat dalam riwayat perebutan kekuasaan di Eropa di masa silam. Colchester takluk kepada Romawi sebelum manuskrip Pliny Tua itu ditulis.

Sebagai bekas ibukota kawasan tenggara Inggris, ia menyimpan jejak panjang sejarah Britania Raya. Sekeliling pusat kota, bekas-bekas tembok kuno yang membentengi Colchester masih terlihat di beberapa lokasi. Tembok kuno sepanjang tiga kilometer, tebal tiga meter dan tinggi sembilan meter ini dibangun pada abad pertama Masehi, dan merupakan tembok kota tertua di Eropa. Di sebuah pebukitan dekat menara air, tembok kota ini masih menjulang, meski tidak utuh lagi.

Istana kuno Colchester Castle di salah satu pusat kota, adalah saksi bisu invasi Ratu Boudica dari Romawi ke kota Colchester di tahun 60 Masehi -- hampir dua milenium silam. 3.000 warga Colchester berlindung di tempat ini, tapi malang, mereka semua terbunuh dalam dua hari pertempuran. Mereka bagian dari 30.000 penduduk Colchester yang tewas dalam perang panjang itu. Sejak itu, Colchester menjadi koloni Romawi.

Istana Colchester itu masih berdiri megah, meski batanya sudah kusam dan cuil di setiap sudutnya. Sejarawan Eropa mencatat ia pernah menjadi istana terbesar di benua ini. Ia sudah dijadikan museum sejarah sejak tahun 1860. Tapi sampai hari ini, ketika saya menyentuh batanya yang kusam, kemegahannya sungguh masih menggetarkan.

Masih di area Colchester Castle, ada Hollytrees Museum, rumah dari zaman Georgian di abad 18 yang memampangkan kehidupan keluarga di kota ini, ratusan tahun lalu.

Colchester memang sudah berkembang jadi kota kecil yang apik. Toko serba ada, universitas dan hotel-hotel sudah bertebaran di sana-sini. Tapi bangunan-bangunan modern tidak menenggelamkan pesona masa silam kota ini. Menara air yang dibangun di tahun 1883, menjulang setinggi 43 meter, masih menjadi bangunan tertinggi di Colchester. Ia masih tegak berdiri, meski tidak berfungsi lagi.

Datang ke Colchester adalah berkunjung ke masa silam. Saya menikmatinya, meski temperatur nyaris tak terekam thermometer: 0 derajat Celcius. Kembali ke London, lagi-lagi saya menyusuri lukisan alam itu, selasar langit yang berarak di jendela kereta.

arungtasik@any-mail.co.uk

Saturday, December 20, 2003

Master of Self Cooking

.

London di ambang Natal. Ini hari istimewa bagi warga di sini. Aneka diskon yang bertebaran di toko-toko tinggal dua hari lagi. Dan kini, saatnya bagi warga London untuk berlibur, berkumpul dengan keluarga, dan jeda dari segala aktivitas bisnis. Toko-toko akan tutup, bis, kereta dan tube akan berhenti beroperasi --setidaknya di hari besar itu. Tentu warung dan restoran pun tutup. Tapi saya tak kuatir: di rumah sudah ada koki, setidaknya seperti catatannya di bawah ini. Catatan istri saya.

Master of Self Cooking

Bersantap adalah hobi saya. "Memamah biak", begitu istilah di keluarga saya. Sebut saja tempat makan terkenal di Jakarta --dari kelas tenda biru sampai hotel bintang lima (yang ini, sih, biasanya, diundang)-- sebagian besar sudah pernah saya jejaki. Favorit saya dan suami: seafood! Di kala tanggung bulan, idola kami adalah seafood di perapatan Jalan Otista, Jakarta Timur. Murah meriah dan bumbunya mirip-mirip masakan Jepang, meskipun tempatnya agak "tak layak bagi kemanusiaan" alias kurang memadai: di pinggir jalan dan dihempas debu.

Namun, hobi menyantap tak selamanya berbanding lurus dengan memasak. Setidaknya buat saya. Maklum, di Jakarta yang sarat pilihan makanan dan Bibik yang setia setiap saat di rumah, manalah terpikir saya berkreasi sendiri di dapur. Teringat ucapan teman saya, Andy Yentriyani, aktivis Komnas Perempuan. "Di masyarakat kita yang patriarkis, wanita pandai memasak memang sudah seharusnya. Tapi kalau pria pandai memasak, itu dianggap keahlian khusus dan dihargai secara profesional. Itu sebabnya, pekerjaan koki didominasi oleh pria," katanya berapi-api, saat kami sedang makan di kantin belakang Widjojo Centre, setahun silam.

Tapi tentu bukan ucapannya itu yang membuat saya kini berubah haluan menjadi tukang masak. Bukan pula semangat untuk mengalahkan para koki pria itu. "Profesi" baru saya sebagai chef amatir di rumah lebih karena kebutuhan perut, sejenis cara bertahan hidup di rantau. Teringat minggu-minggu pertama saya di London, hampir setiap hari makan di luar.

Restoran yang saya datangi di hari pertama di sini adalah sebuah kedai masakan Jepang di Soho (lebih dikenal sebagai Chinatown) di kawasan Leicester Square. Bertiga dengan Fianti dan Dina, dua kawan baik di kota ini, kami menghabiskan hampir 15 pounds untuk hidangan nasi berselimut telur dadar dan sayuran plus Diet Coke kaleng. Serta merta terbayang Warung Ijo --tempat saya dan rekan-rekan TEMPO biasa bersantap di dekat kantor di Jalan Proklamasi, Jakarta-- yang paling-paling hanya menguras lima ribu rupiah untuk hidangan serupa itu.

Hari-hari pertama saat masih menumpang di rumah keluarga Liston Siregar, wartawan BBC, saya berlatih membuat pizza, spaghetti dan sandwich sebagai hidangan utama. Namun lama kelamaan, perut Melayu saya yang puluhan tahun dibesarkan dengan nasi dan sayur asem ini merindukan penganan tanah air. Salah satu tempat favorit mahasiswa Indonesia adalah Nahar Malaysian Restaurant di Sussex Garden, Paddington. Menunya pas dengan lidah kami: nasi lemak (alias nasi uduk), soto ayam sampai sambal belacan ada di sini. Cuma, ya itu tadi, sekali makan paling tidak bisa 7 pounds. Sesekali bolehlah, tapi kalau setiap hari?

Tak pelak, jalan keluarnya adalah memasak sendiri. Bagaimana caranya? Trial and Error. Untunglah, di London bermukim kawan saya Rani Susilo, wartawati Jawa Pos. Rani adalah empu kuliner. Di tangannya, aneka masakan yang tak terbayangkan ada di London -- seperti buntil, sop buntut, opor ayam hingga pempek -- tercipta. Di sela-sela tugas liputannya, dan mengurus putri tiga tahunnya yang cantik, Kirana, Rani juga kerap menerima pesanan makanan dari orang-orang Indonesia di sini. Telanjur dikenal, ia membuka situs khusus.

Beberapa kali di akhir pekan, saya menginap di rumah mereka di kawasan Thamesmead, sebuah perumahan di bibir sungai Thames, London Tenggara. Saya mengamatinya berkiprah di dapur sambil sesekali mencatat di notes. Persis seperti saya sedang mewawancarai narasumber. Dari Rani saya belajar istilah-istilah dasar memasak (semisal: tumis, kukus, sangrai) dan jenis-jenis bumbu dan terjemahannya dalam bahasa Inggris. Komentar saya waktu itu, jangankan dalam bahasa Inggris, lha wong dalam bahasa Indonesia saja saya tidak tahu! Saya juga baru sadar bahwa bawang putih adalah sumber dari segala sumber hukum, eh, masakan.

Karya pertama saya adalah tumis brokoli jamur. Alhamdulillah enak. Setidaknya menurut saya dan teman satu rumah saya, Ali, asal Turki yang pernah menjadi koki di restoran kebab. Selanjutnya, dengan modal dasar bawang putih, garam dan lada, saya mulai percaya diri membuat aneka masakan. Mulai dari rendang, mie goreng, martabak, sup tom yam dan aneka rupa sambal yang kini jadi "ujung tombak" meja makan kami. Setiap menelepon ke rumah di Jakarta dan bercerita bahwa saya sudah bisa memasak, Mama selalu tertawa dengan nada tak percaya, "Ah, masa?" katanya, meragukan. Suami saya sebelum tiba di sini juga bereaksi serupa. Maklum saja, mereka masih mengingat saya yang dua bulan sebelumnya cuma bisa menyiram Indomie.

Kini, hampir empat bulan saya di London, kemampuan masak rasanya sudah bisa dibanggakan. Setidaknya, kami sudah berani mengundang orang makan di rumah. Untunglah London bukan tempat yang sulit mencari jenis makanan atau bumbu khas Indonesia. Datang saja ke Chinatown, segala tersedia. Kecap, sambal, terasi (dengan merek dari Indonesia, seperti ABC), Indomie berbahasa Inggris atau Belanda, termasuk tahu dan tempe yang di sini menjadi makanan mewah karena langka dan mahal. Mau yang halal dan lebih komplit? Datang saja ke Upton Park Market, pasar daging halal terbesar se-London, yang lokasinya selangkah dari markas klub sepakbola West Ham.

Kami juga beruntung tinggal dekat Lewisham Market yang menjual aneka sayuran segar yang biasa kami santap di Jakarta, seperti terong, pare dan labu siam. Tentu dengan nama yang berbeda. Terong, misalnya, namanya sungguh cantik di sini: Aubergine. Bahkan suami saya yang hobi mengekplorasi pasar itu berhasil menemukan toko yang menjual ikan asin. Maka, dengan bangganya, kami di negeri orang bisa menyantap ikan asin dan sambal terasi. Bedanya, kini kami memasak sendiri.

Jadi, kalau nanti pulang kampung, saya bisa bawa dua gelar. Salah satunya: MSc alias Master of Self Cooking!



Andari Karina Anom

arungtasik@any-mail.co.uk

Tuesday, December 16, 2003

Kebakaran di Musim Hujan

.

Indonesia diguyur hujan lebat di hari-hari ini. Berita-berita dari tanah air seperti basah oleh genangan. Ada sebuah kabupaten di Sumatera Selatan yang seluruh desanya tergenang air. Guntur dan hujan berselang-seling tak henti.

Tapi di tengah musim genangan itu, tak kurang pula berita tentang kebakaran. Darmawan Supratisto, 36 tahun, bahkan tewas bersama istri, dua anak, dan dua pembantunya di rumah mereka di Kramatjati, Jakarta Timur, Kamis 12 Desember tengah malam. Kematian yang meninggalkan jejak maya, karena Darmawan tengah bersiap meluncurkan situs pribadinya di internet, esok harinya.

Lalu, hari ini, terdengar berita terbakarnya Hotel Cemara di Jakarta Pusat. Eh, tengah mengetik cerita ini, detik.com datang dengan berita mutakhir kebakaran di Bondowoso.

Ah, berita buruk apa lagikah gerangan yang datang dari Indonesia?

Sejak setahun terakhir, perilaku alam yang aneh memang seperti menyelubungi Indonesia. Sejak di Sekolah Dasar saya diajar tentang dua musim di khatulistiwa: kemarau April-Oktober dan musim hujan Oktober-April. Begitu setiap tahunnya, sepanjang masa, karena Indonesia berada di pertemuan lintang bumi.

Tapi semua pelajaran itu kini tak pernah tepat. Hujan dan terik tak lagi setia pada musim. Bulan Mei lalu, misalnya, banjir menggenangi sebagian Jakarta. Sungguh aneh karena seharusnya ibukota, dan kawasan sekitarnya sudah memasuki kemarau. Dan banjir kembali menggenangi beberapa bagian kota ini. Ada pula banjir kiriman di siang terik di awal Mei. Ini banjir di musim kemarau.

Sebelumnya, ketika hujan tak henti-hentinya turun beberapa bulan lalu, beberapa bagian kota Jakarta malah dilanda kebakaran hebat. Pasar Tanah Abang dan sejumlah pasar lain, musnah dilalap api. Perumahan warga di banyak tempat juga hangus. Lalu kini, kebakaran datang di bawah siraman hujan. Ini kebakaran di musim hujan.

Jika petuah para leluhur masih bisa dipegang, perilaku alam yang terbolak-balik adalah pertanda kemurkaan semesta pada perilaku manusia. Dalam kisah para nabi pun petaka alam datang pada kaum yang biadabnya tak alang kepalang. Bahkan salah satu pertanda kiamat dalam kitab suci adalah datangnya perubahan dahsyat pada semesta, setidaknya terlihat dari bumi: terbitnya matahari dari barat.

Banjir di musim kemarau, dan kebakaran di musim hujan. Tanda-tanda apatah gerangan?

Tahun ini Indonesia menapak tahun kelima reformasi. Pemilihan umum tinggal beberapa bulan. Mahasiswa tentu akan kembali turun ke jalan-jalan. Tapi teriakan mereka hanya akan tersisa di tenggorokan, tak bergema ke ruang-ruang pengelola negara.

Lima tahun reformasi. Lima tahun ketidakpastian. Adakah banjir di musim kemarau dan kebakaran di musim hujan jadi pertanda kemurkaan alam pada manusia di negeri ini?

Mungkin semesta memang punya keanehan sendiri. Tapi jangan-jangan Orde Baru yang dicaci itu malah lebih baik -- sebuah prasangka yang mulai tumbuh di benak banyak orang. Tutut, putri Pak Harto sudah maju sebagai kandidat presiden. Dan reformasi yang kian kehilangan daya juangnya itu sudah jauh di jalan surut.

Jadi, jangan salahkan alam bila Indonesia kembali menuai perilaku semesta yang tak lazim: banjir di musim kemarau dan kebakaran di musim hujan.



arungtasik@any-mail.co.uk

Sunday, December 14, 2003

Histeria Wartawan Timur Tengah

.

"Ladies and gentlemen, we got him...." Hanya kalimat pendek itu yang diucapkan pertama kali oleh Paul Bremer, administratur pendudukan Amerika Serikat di Irak di depan puluhan wartawan di Baghdad, Minggu pagi. Saddam Hussein, laki-laki yang pernah duduk di puncak tahta negeri kaya Timur Tengah itu, tertangkap di dasar lubang persembunyiannya di Al-Dawr, dekat Tikrit.

"Seorang laki-laki yang lelah, dan menyerah pada nasibnya....," kata Ricardo Sanchez, komandan pasukan Amerika di Irak. Ia kemudian menampilkan sepenggal rekaman video wajah Saddam mutakhir lewat dua layar televisi di dinding di belakang mimbarnya. Seperti potret pesakitan jalanan, wajah pria 66 tahun dalam gambar ini brewok, rambut tak terurus, dengan tampilan awut-awutan. Tapi ia tak papa. Bersamanya, ada uang tunai 750.000 dolar Amerika, dua buah senjata AK-47, dan sepucuk pistol.

Bersamaan dengan munculnya wajah Saddam, tiga wartawan berwajah Timur Tengah di sisi kanan ruangan berteriak seperti histeris. "Matilah Saddam, matilah Saddam". Dan tanya jawab berlangsung cepat. Lewat siaran langsung CNN dari Baghdad, Minggu pagi itu, tampak benar, betapa para wartawan berwajah Timur Tengah di ruangan konferensi pers begitu menjijikkan. Mereka memulai pertanyaan dengan puja-puji bagi Amerika, bagi tentara koalisi yang menampilkan wajah papa bekas pemimpin Irak itu, bagi "masa depan rakyat Irak".

Sebaliknya, para wartawan asing berwajah Eropa dan tentu juga Amerika, melontarkan pertanyaan yang langsung: siapa dua orang yang tertangkap bersama Saddam, di mana gerangan Saddam kini, apa yang akan dilakukan Amerika terhadap Saddam, dan sebagainya. Tidak banyak tapi menohok, dan tanpa puja-puji.

Wartawan-wartawan Timur Tengah itu --tentu mereka bukan dari Al-Jazeera, stasiun televisi yang nyaris jadi satu-satunya jejak demokrasi di kawasan yang tak henti bergolak itu-- mempertontonkan kepada dunia, betapa mereka tak bisa menarik batas: diri hadir sebagai wartawan, atau sebagai rakyat yang pernah hidup di bawah rezim Saddam. Tapi melihat betapa mereka amat perlente, tentu mereka bukan orang yang menderita di bawah Saddam. Saya berpikir, mereka mungkin hadir sebagai wartawan bayaran, demi puja-puji bagi Amerika, demi penghujatan bagi Saddam Hussein, lelaki yang menjadi musuh bapak-anak George Bush dan sang junior itu.

Sepenggal jumpa pers penangkapan Saddam di CNN itu mau tidak mau, seperti memampangkan kisah Timur Tengah, negeri mayoritas Islam yang sarat intrik, konflik, pengkhianatan, juga ketidakberdayaan. Saddam kalah, juga kemudian tertangkap, tentu karena pengkhianatan tentaranya. Ia kehilangan negeri, kehilangan Uday dan Qusay, dan kini kehilangan hak atas dirinya sendiri.

Ia mungkin kejam di tahtanya. Tapi wartawan Timur Tengah itu tak sadar rupanya, teriakan dan pertanyaan puja-pujinya terpampang di depan mata dunia: mereka yang mungkin ikut sedih dengan keterpurukan Irak hari-hari ini karena ulah Amerika. Hari-hari ini, mereka yang menganggap George Bush dan Tony Blair lebih tiran ketimbang Saddam Hussein mungkin lebih banyak di muka bumi. Komentar-komentar dari nurani penduduk bumi, tentu jauh lebih berarti ketimbang wartawan-wartawan Timur Tengah yang histeris itu.

Melihat mereka berteriak seperti itu, saya kehilangan minat membuka situs-situs media massa Timur Tengah. Kecuali Al-Jazeera.



arungtasik@any-mail.co.uk

Wednesday, December 10, 2003

Tongkat dengan Cincin Tanduk Rusa

.

Tongkat itu entah di mana kini. Di masa hidupnya, ayahku merautnya dengan ketelitian seorang empu. Batangnya ia pilih dari kayu hitam --benar-benar hitam-- dengan bilur coklat berlekuk yang menambah perbawanya. Pada pangkal atas, ia tambahkan gagang dari bahan yang istimewa: tanduk rusa jantan hasil buruannya sendiri. Pada ujung tongkat yang mengecil, pada bagian yang menjejak tanah, ada lingkar putih seperti cincin, juga dari tanduk rusa.

Mendiang ayahku meraut tongkat itu untuknya sendiri, dengan cita rasanya sendiri, di usianya yang senja dan mulai tersengal-sengal bila berjalan kaki. Ia bahkan tak kuat lagi mendaki. Saya tak tahu benar, kekuatan apa gerangan yang membuatnya masih mampu membuat tongkatnya sendiri, yang ia buat begitu indah. Sebagai orang Toraja, ia memang terampil mengukir --ia punya pisau ukir-- kegiatan yang konon ditekuni semua anak kecil pada masanya di Madandan, kampung halaman ayahku.

Kenangan itu masih tertanam di benakku, meski lamat-lamat. Usiaku saat itu baru tujuh tahun, setahun menjelang kepergian ayahku dalam sunyi di Malabo, dalam perjalanan antara Mambi ke Polewali. Sepeninggalnya, tongkat dengan lingkar cincin tanduk rusa itu diserahkan ibuku ke seorang kerabat ayahku di Madandan, dalam sebuah kunjungan ke Toraja.

Sejak itu, saya tak pernah lagi melihatnya. Tongkat itu hanya tegak dalam kenanganku, dengan bayangan tubuh besar ayahku bertelekan pada gagangnya.

Hari-hari ini, tongkat itu kerap melintas lagi di benakku. Di London ada banyak manusia tua yang mengenakan tongkat berkelayapan di mana-mana. Tongkat bahkan seperti jadi penanda usia yang kian senja. Orang-orang dengan tubuh kian melengkung itu tak kuatir sedikit pun berjalan sendiri menembus dinginnya udara di akhir musim gugur yang membekukan. Berdesakan di halte, beriringan naik ke bis, atau sekadar berkeliling toko serba ada Marks and Spencer.

Selain dengan tongkat, orang-orang tua --juga mereka yang cacat-- juga kerap bepergian dengan kursi roda elektrik yang digerakkan hanya dengan colekan pada tuas kontrolnya di ujung jari. London benar-benar tempat yang ramah bagi para gaek dan penyandang cacat tubuh.

Bisa jadi karena di negeri ini, orang-orang tua dan orang cacat (disabled) mendapat penghormatan dan pelayanan yang tidak biasa. Untuk mereka tiket kereta dan bis disediakan gratis seumur hidup, hanya dengan melapor ke pemerintah lokal.

Di Inggris, ada 8,6 juta orang cacat aneka tuna. Pemerintah membelanjakan 50 juta pounds (sekitar Rp 750 miliar) setiap tahun untuk kenyamanan mereka. Pada setiap ujung trotoar jalan, ada undakan khusus untuk kursi roda. Seluruh bis dalam kota dilengkapi ruang untuk dua kursi roda, kursi rendah untuk orang-orang tua bertongkat, dan juga kemudahan yang tak kutemukan di tempat lain: ketinggian pintu bis bisa dinaik-turunkan sampai sejajar dengan pinggir trotoar agar kursi roda --berlistrik atau tidak-- bisa dengan mudah meluncur ke dalamnya, agar pak tua bertongkat mudah melangkah. Seluruh fasilitas umum senantiasa dibangun dengan kemudahan akses untuk mereka.

Kemarin, seusai menonton film Love Actually di Bioskop UIC di Surray Quays, saya terhenyak melintasi deretan depan layar. Ada dua kursi roda dengan tubuh besar di atasnya masih menatap ke layar. Keduanya pria, menempati lekukan kecil di deretan paling depan yang memang dibuat khusus untuk mereka yang cacat.

Saya bersyukur dilahirkan dengan tubuh yang lengkap. Tapi melihat pemandangan itu, saya begitu mengagumi pemerintah negeri beribu mil dari tanah leluhur saya ini. Mereka begitu beradab: memberi ruang besar bagi kegembiraan orang-orang penyandang tuna itu.

Inggris dan seluruh daratan Eropa, menjadikan tahun 2003 sebagai European Year of the Disabled. Di benua inilah, orang cacat selalu punya penopang untuk setiap kekurangannya. Di bawah Disability Discrimination Act (DDA), negeri ini juga memberlakukan aturan yang ketat untuk menyenangkan mereka. Misalnya, sejak 1 Oktober 1999, semua perusahaan di negeri ini harus menyediakan fasilitas pelayanan khusus untuk mereka. Juga kelonggaran untuk bekerja.

Tidak sekadar membuat aturan yang memaksa, Inggris juga berkampanye untuk merebut hati orang-orang normal agar tak memandang mereka sebagai orang yang kurang. "Is a disabled person only half a person?" Begitu pertanyaan yang tercantum di banyak halte, pada poster dalam ukuran besar di seantero negeri.

Tidak siang, tidak malam, saya melihat orang-orang berkursi roda menyeberang jalan dengan riang, atau orang-orang tua bertongkat kayu oak berpindah bis tanpa tersengal-sengal. Seperti ayah saya.

Ah, ingatan saya kembali menukik ke masa silam. Pada mendiang ayahku, juga pada tongkat dengan lingkar cincin tanduk rusa pada pangkalnya.



arungtasik@any-mail.co.uk

Sunday, December 07, 2003

Cutty Sark

.

Kapal itu masih tegak sentosa, tiang-tiang layarnya berdiri seperti meninju angkasa. Saya memandangnya di pinggir Sungai Thames sore itu: Cutty Sark masih menggapai-gapai lautan. Pada lunas luarnya di haluan, sebuah patung perempuan telanjang dada dalam warna salju terlihat seperti mengibaskan tangan menyisih buih samudera yang telah dilayarinya bertahun-tahun lebih dari dua abad silam.

Cutty Sark, kapal layar besar itu, teronggok di atas dok kering di Cutty Sark Garden, dermaga Greenwich. Ia kini menjadi koleksi Museum Maritim Nasional Inggris. Memandang kapal seberat hampir 1.000 ton ini, yang saya bayangkan adalah kekaguman orang-orang pribumi di Hindia -- kini Indonesia, negeri muasal leluhurku -- ketika ia melego jangkar di pelabuhan-pelabuhan Nusantara di akhir abad 19.

Cutty Sark memang pernah berlayar ke Indonesia. Kapal layar cepat yang diluncurkan di Dumbarton, Skotlandia pada suatu sore di bulan November 1869 ini pernah dengan gagah perkasa mengarung samudera ke negeri timur membawa panji dan menjadi simbol kedigdayaan Britania Raya di lautan.

Ia dirancang arsitek kapal kondang Skotlandia, Hercules Linton, untuk si topi putih John Willis, pelaut yang tak kurang terkenalnya di Britania. Selanjutnya, ia menjadi ujung tombak misi dagang Inggris di masa kolonial. Ia kerap berlayar ke India dan Indonesia untuk mengangkut teh dan rempah-rempah, meski dalam riwayat panjangnya ia lebih banyak malang-melintang di perairan Cina.

Di tahun 1871, bersama 28 awaknya, Cutty Sark memecah rekor perjalanan laut dengan pelayaran dari London ke Cina dalam waktu 107 hari. Kini, Cutty Sark menerima pengunjung yang hendak mengenang masa silam, tentang kebesaran lama itu. Seiring dengan kondisinya yang kian menua, setelah berpindah tangan beberapa kali, di tahun 1957 Cutty Sark sudah menetap di dok kering di Greenwich itu. Ia telah dikunjungi lebih dari 17 juta orang dari seluruh dunia.

Kini Cutty Sark memang sekadar dipajang. Kabin-kabinnya sudah beralih fungsi menjadi museum, kafe bahkan gedung perjamuan bagi mereka yang hendak menikah dengan cara yang unik.

Memandang Cutty Sark, menjelang petang di bibir Sungai Thames, sore itu, dalam dadaku berdentam-dentam nada: nenek moyangku orang pelaut -- nada yang hendak ditenggelamkan oleh pemandangan di depanku ini, Cutty Sark yang menggapai-gapai lautan.



arungtasik@any-mail.co.uk

Thursday, December 04, 2003

Mambi: Gasing Tinggal di Awan

Sudah tiga tahun ini saya tidak ke desa itu -- desa yang selalu mengetuk detak rinduku. Ini Lebaran ketiga saya tak datang ke pebukitan di belakang gereja, tempatku selalu bersimpuh di sisi tiga baris nisan: makam ayah, kakak dan adik perempuanku.

Bahkan lambat laun, bayangan tentang Mambi, desa kelahiranku itu, kian meredup bersama jarak dan waktu yang kian terentang panjang.

Dulu, selalu saja ada yang meledek: Mambi tak tercantum di peta -- peta Sulawesi Selatan sekali pun. Mungkin karena letaknya yang di tengah belantara, seratus kilometer dari Polewali, ibukota kabupaten terdekat. Sampai tahun 1987, mobil pun belum menjejak jalan-jalan desa ini. Mungkin karena itu, saya pernah begitu lincah menunggang kuda, satu-satunya yang bisa mengantar saya, juga orang-orang kampung di sana, menguak belantara menuju kota tempat peradaban lain berada.

Agustus silam, dari desa di tengah rimba ini muncul berita yang menghentakku, Mambi rusuh, tiga warga tewas. Warga di sana menolak bergabung dengan Mamasa, kabupaten baru yang dibentuk karena ambisi orang-orang kota yang tak lagi punya tahta.

Saya berdoa di setiap tarikan napas, untuk ribuan warga di sana yang mengungsi, untuk mereka yang berjalan tanpa alas kaki, tersaruk-saruk menembus belantara mencari selamat. Terkutuklah mereka yang hendak membangun peradaban di atas derita orang-orang desaku.

Saya selalu teringat masa-masa indah itu. Bila musim panen tiba, pesawahan di Mambi akan riuh rendah. Saat-saat seperti ini, bulan April dan Desember setiap tahunnya, kegembiraan menyelusup ke semua rumah, penghuninya tertawa lepas.

Tapi, di kampung, ada kegembiraan lain. Bagi anak-anak Mambi, juga di desa-desa sekitarnya, musim panen bisa berarti: saatnya bermain juppi'.

Maka, berbatok-batok tempurung kelapa pun dipilah, diasah dan dibentuk sedemikian rupa menjadi juppi' kebanggaan. Bocah-bocah bertelanjang dada ini berkeliling kampung mencari penantang. Jika telah cukup dua orang -- dan sedikit penonton -- jadilah permainan ini digelar di tanah kering yang agak lapang. "Tak, tuk, tek...," dan pecahan tempurung yang disontek dengan bilah bambu rautan pun melayang. Jika juppi' lawan kena, sang bocah pecundang bersorak. "Paroa a' kao (kena)!" Jika meleset, giliran tempurung miliknya jadi sasaran.

Jelang satu bulan berlalu, saat padi hasil panen telah dijemur di tara'de -- jemuran padi di tiang kayu berpalang bambu -- rasa bosan pada juppi' mulai menghinggapi benak para bocah ini. Mereka mengemas tempurung itu di balik lumbung, sembari berharap, jika musim juppi' tiba waktu panen mendatang, mereka masih bisa menggunakannya.

Kebosanan bocah-bocah itu segera sirna begitu gabah-gabah mengering dan siap dimasukkan ke lumbung. Saat itu pula permainan berganti: gasing. Sepulang sekolah, mereka menyebar ke seluruh pelosok kampung, mencari pokok kayu pilihan yang seratnya rapat, keras dan tak tembus paku gasing lawan. Bermeter-meter tali rafia dibeli, atau sekadar sisa pengikat, dan di tangan cekatan sang bocah, dipilin jadi tali pemutar gasing.

Begitulah seterusnya, permainan anak-anak di Mambi berganti, mengikuti daur padi, dari panen ke panen. Tak ada rasa bosan berkepanjangan, karena, setelah juppi' dan gasing, permainan lain menunggu. Kelereng, layang-layang, baling-baling, egrang, dan juga kertas wayangan.

Tapi, sungguh, semua itu tinggal kenangan. Kini, dari panen ke panen, Mambi tak lagi riuh suara bocah. Decak dan tawa mereka, kini diredam deru mobil dan klakson. Sejak 15 tahun terakhir -- setidaknya, sejak Mambi berubah, mobil-mobil berseliweran dan gemuruh mesin perontok padi sudah terdengar di pesawahan -- tak ada lagi permainan dengan roster panen. Di tangan bocah-bocah Mambi kini, game watch, video game Nintendo atau Play Station Sony, lebih mengasyikkan: ada pesawat tempur, tetris, kapal perang. Mainan-mainan ini mengeluarkan bunyi, musik, bergerak, bergetar.

Kini, Mambi sungguh berubah. Alih-alih meraut buluh untuk layangan atau memilin tali rafia untuk gasing, membelah batok kelapa pun kini berat bagi mereka. Permainan-permainan instan sudah tersaji tanpa kerja keras, humor dan anekdot -- permainan yang membuat mereka punya sejenis pekik merdeka dari jiwa yang bebas lepas.

Juga permainan yang membuat saya seperti ini: tak henti dihentak kerinduan.

arungtasik@any-mail.co.uk

Monday, December 01, 2003

Ke Greenwich, Ke Awal Waktu

Akhir pekan, ke mana lagi gerangan? Ada yang termurah: Greenwich. Tinggal naik 202 menuju Blackheath, menyeberang lapangan rumput dan memasuki Greenwich Park sampai ke bukit, tempat Royal Observatory berdiri sejak tiga abad silam.

Orang Inggris menyebut tempat ini: the home of time. Greenwich memang tempat waktu bermula. Lokasinya di pebukitan, tepat di seberang Sungai Thames, sungai besar yang membelah kota London. Greenwich -- plesetan dari Grean Reach, karena sebagian besar kawasannya adalah padang rumput -- kini jadi salah satu bagian terpenting di kota ini.

Suasana Greenwich Mean Time (GMT) sudah terasa begitu memasuki kawasan ini. Di sebuah kelokan jalan di Romney Road, sebuah toko cindera mata memajang nama toko di singkap depannya: Nauticalia, Longitude 00 00' 24", The First Shop in The World.

Tampak bercanda, tapi sang pemilik bisa jadi orang pertama yang membuka pintu toko setiap pagi di awal hari, diukur dari waktu di garis meridian bumi. Toko ini menjual aneka replika jam, teropong, bola bumi, pedoman, juga gantungan kunci dengan cita rasa seni yang amat tinggi.

Garis meridian, garis khayal yang yang menghubungkan kutub utara dan selatan itu memang tepat melintas tak jauh dari toko ini, tak sampai satu kilometer. Melewati padang rumput Greenwich Park yang luas, jalan kecil di depan Toko Nauticalia menuju puncak sebuah bukit. Di sana, sebuah bangunan kuno menyerupai kapel berkubah empat, adalah bangunan yang dituju ribuan pengunjung sepanjang tahun: Royal Observatory Greenwich.

Berdiri masih seperti aslinya, gedung ini dibangun dengan biaya 500 pounds atas perintah Raja Charles II pada 10 Agustus 1675 sebagai rumah sekaligus observatorium bagi Astronom Kerajaan Inggris yang pertama, John Flumsteed (1646-1719). Karena itu pula, sampai kini, bangunan ini lebih dikenal sebagai Flumsteed House.

Ruangan-ruangan masih dibiarkan sediakala, seperti tiga abad silam, ketika sang astronom masih tinggal di situ. Peralatan masak, pendiangan, dipan dengan seprai dan duvet, juga seperangkat kursi peninggalan Flumsteed ini masih dipajang seakan-akan sang pemilik masih di situ. Dapur di lantai dasar, empat ruangan berpendiangan api di lantai tengah, dan ruang utama untuk mengamati angkasa di lantai atas: ruang oktagon. Ruang oktagon ini berada di puncak, dengan jendela memanjang yang disesuaikan bagi dudukan teleskop sederhana berbentuk kotak.

Sebuah ilustrasi seniman menggambarkan, betapa Flumsteed dan para astronom yang bertugas di bangunan ini mendedikasikan hidupnya hanya untuk memandang langit, mengukur jarak khayal antar-bintang dan menarik garis ke kaki cakrawala. Begitu setiap hari. Sepanjang hayat.

Dengan ketekunan seorang ilmuwan, selama 43 tahun tinggal di observatorium ini, Flumsteed hanya istirahat tatkala makan dan tidur beberapa jam setiap hari. Di luar itu adalah teleskop, notulensi dan percobaan tentang perangkat baru pengamatan angkasa. Ia bahkan baru menikah di usia 46 dan mengajak istrinya untuk tinggal di rumah itu.

Di akhir musim panas 1676, dengan peralatannya yang sederhana itu, Flumsteed memetakan langit yang akhirnya membuktikan bahwa bumi berputar pada poros yang sama sepanjang masa -- sebuah titik tolak bagi perjalanan panjang penetapan waktu standar di muka bumi. Dan itulah kesimpulannya yang terbesar.

Sepeninggal Flumsteed, astronom kerajaan yang menggantikannya di tempat ini di tahun 1720 adalah Sir Edmund Halley. Limabelas tahun sebelumnya, ia sudah terkenal dengan temuannya, sebuah komet yang bergerak dalam satu garis edar yang unik setiap 75 atau 76 tahun sekali. Komet itu, belakangan dikenal dengan komet Halley, terlihat dalam tahun-tahun 1531, 1607 dan 1682.

Di masa itu, orang-orang Eropa tengah berlomba menggapai tanah-tanah baru nun di timur dan selatan bumi. Di Inggris, penjelajahan samudera oleh pelaut-pelaut yang bahkan didukung oleh kerajaan, gencar sekali. Tapi, ya, tanpa pedoman pasti mengenai jarak dan waktu, para pelaut itu seperti meraba-raba samudera, berbekal penglihatan pada bintang, suhu lautan, dan tanda-tanda alam lainnya. Seberapa jauh dari negeri leluhur belum tercatat sama sekali.

Sang penemu longitudinal itu adalah John Harrison, putra seorang tukang kayu yang bekerja sebagai astronom di bawah Halley di observatorium Greenwich. Dalam waktu 27 tahun, Harrison membuat empat model jam -- yang memenangkan sayembara kerajaan, sekaligus mengukuhkan John Harrison sebagai penemu longitudinal. Empat jam buatan Harrison kini dipajang di salah satu sayap utama Flamsteed House.

Berkeliling dari ruangan ke ruangan di Flamsteed House, yang terlihat adalah jejak-jejak kerjasama yang apik antara para astronom dan seniman dari tiga abad silam. Bangunan yang kini lebih berfungsi sebagai museum ini menyimpan sedikitnya 7.000 item koleksi yang berkaitan dengan riwayat penatapan garis bujur bumi dan menentukan standar waktu yang berlaku di seluruh dunia.

Jam-jam antik berpendulum, jam pasir, teropong, bola bumi, juga kertas-kertas catatan penelitian, dibuat dengan cita-rasa estetika yang mengagumkan. Bayangkanlah sebuah bola bumi dari tembaga yang ditopang oleh tiang berbentuk tubuh lelaki kekar dalam pahatan yang teliti dan indah, serta relief indah pada alasnya. Atau piringan pada jam Harrison yang diukir dengan tangan pada tingkat ketelitian yang tinggi, juga huruf-huruf dalam kaligrafi Romawi yang eksotis.

Riwayat panjang pencarian longitudinal yang dilakukan di sini membuat Greenwich menerima kehormatan sebagai garis bujur 00 derajat 00' 00", tempat bertemunya garis bujur timur dan barat. Pada bulan Oktober 1884, dalam sebuah konferensi meridian internasional di Washington, Amerika Serikat, 41 utusan dari 25 negara sepakat menentukan Greenwich sebagai tolok ukur waktu dunia.

Garis bujur 00 derajat 00' 00" itu kini ditandai dengan dua lempeng baja yang membentuk garis di pekarangan dalam Flumsteed House. Di tengahnya, lampu-lampu kecil menyala di balik kaca. Pada ubin yang mengapit lempeng baja ini, tertera nama sejumlah kota dengan garis bujurnya masing-masing. Kota Jakarta tertulis tepat di bawah Nairobi, dengan garis bujur yang terpahat jelas: 106 derajat 45' E.

Selangkah dari situ, terdapat sebuah kotak sertifikat bagi mereka yang pernah menjejak garis ini. Pengunjung yang datang tinggal memasukkan uang koin 1 pound, dan kotak ini akan mengeluarkan selembar sertifikat bertanda waktu tepat di saat ia datang ke tempat itu dalam ketepatan sepersepuluh ribu detik waktu GMT. Sertifikat itu ditandatangani oleh Roy Clare, direktur museum.

Saya melewati garis itu tepat pada pukul 16:32:5410 tanggal 29 November 2003.

Sekitar lima meter di atas lempeng baja itu, dari sebuah kotak kecil di singkap depan Flumsteed House, selarik sinar laser warna biru tipis yang ditembakkan dari dalam, menggaris udara tepat di garis bujur bumi. Di malam hari, larik biru sinar laser ini akan terlihat dengan mata telanjang, seperti pisau yang menyayat malam, sampai 15 mil ke arah utara Flumsteed House.

Kini, Sir Martin Rees menjadi astronom kerajaan Inggris yang ke-15. Ia diangkat di tahun 1995, tapi tidak lagi harus tinggal di pebukitan di Greenwich itu. Kendati tidak lagi hiruk-pikuk seperti masa-masa pencarian garis bujur bumi, tiga abad silam itu, Royal Observatory tetap saja mengemban misi yang tidak kecil. Greenwich memiliki stasiun radio yang hanya menyiarkan tanda waktu yang sangat akurat yang mengudara selama 24 jam setiap hari, sepanjang masa.

Ketika timbul perselisihan antarilmuwan mengenai ambang milenium ketiga -- adakah terjadi di 1 Januari 2000 atau 1 Januari 2001 -- dari Greenwich keluar semacam "titah": awal millenium ketiga adalah 1 januari 2000.

Dan dunia pun berpesta, kembang-kembang api raksasa disulut di seluruh kota besar di seantero bumi.

.: tulisan ini, dengan sedikit penyesuaian, dimuat di Harian KOMPAS Minggu 25 Januari 2004 :.
arungtasik@any-mail.co.uk

Sunday, November 30, 2003

Perempuan-Perempuan Pembersih Kaca

Setiap kali hujan mereda, jalan dekat pintu air Manggarai, Jakarta Pusat, menjadi jalur yang sedikit angker. Apalagi menjelang senja, dan gerimis masih membasahi jalan. Di tikungan sepanjang jembatan, kerap muncul anak-anak muda kuyup dan kumal, menenteng ember dan sehelai kain, menghadang mobil yang melintas. Tiba-tiba dan mengejutkan.

Mereka segera mengelap kaca depan mobil, kaca samping pengemudi, seraya memaksa meminta uang seribu-dua ribu perak. Memang, tidak banyak, tapi ini sungguh menjengkelkan. Bagaimana bila recehan tak ada? Dinding mobil tentu akan tergores ujung paku atau beling yang mereka siapkan di dasar ember.

Itu dulu. Dan saya sempat berpikir, melap kaca untuk meminta uang hanya ada di Jakarta. Saya salah rupanya. Sore tadi, dari atas bis kota, saya dan Karin melintas Mill Bank Street di kawasan Vauxhall, di tengah kota. Tepat di lampu merah, oalaaa... saya tertawa. Tujuh perempuan muda tampak menenteng ember dan kuas pembersih kaca mendatangi mobil-mobil yang tengah berhenti di lampu merah, dan menawarkan jasa mengelap kaca.

Sebagian tengah menyemprot sabun, sebagian tengah berjalan menerobos sela-sela kendaraan mencari pengemudi yang sudi menerima jasa mereka yang hanya beberapa kejap itu. Dari raut wajah dan busananya, mereka tampaknya perempuan-perempuan pendatang dari kawasan Eropa Timur yang banyak berkeliaran di London, mencari donasi bagi hidup mereka.

Sebagian bahkan mengemis di setiap keramaian sembari menggendong bayi berkedok penjual majalah Big Issue -- mengingatkan saya pada pengemis di perempatan-perempatan jalan ibukota.

Mungkin bedanya hanya pada keramahan. Perempuan-perempuan pembersih kaca mobil itu tak memaksakan jasa. Kerja mereka pun tak tanggung-tanggung: kaca-kaca mobil sungguh mengkilap sesudahnya. Juga pada penampilan mereka yang lebih menawan, ketimbang anak-anak muda berbaju kumal di setiap senja seusai hujan di Manggarai.

Tapi namanya juga kerja ilegal, perempuan-perempuan ini segera berlarian begitu kendaraan polisi tampak berhenti di seberang jalan.

arungtasik@any-mail.co.uk

Friday, November 28, 2003

Tentang Jusuf Islam

Masih di suasana Lebaran, saya menampilkan tulisan tamu -- istri saya sendiri -- tentang penyanyi kondang Cat Steven. Tulisan ini dimuat di Rubrik Layar, Majalah TEMPO Edisi 13 November 2003. Saya mengubah satu kalimat agar sesuai dengan blog ini, juga menambah link ke beberapa situs yang bercerita tentang Cat Steven.

Menggantung Gitar, Menggantang Syiar

DI Royal Albert Hall, London, sejarah itu diputar. Tiga puluh satu tahun silam, seorang Cat Stevens menyihir penggemarnya. Khalayak Inggris masih mengingat jelas tampilannya saat itu: rambut gondrong, celana ketat, gitar dan --tak lupa-- segelas brandy sebelum dan sesudah show. Dua pekan lalu, sang bintang "pulang" ke panggung yang sama dalam rupa yang berbeda: baju gamis, lagu-lagu nasyid dan ucapan Assalamualaikum yang menggema seantero Hall. Itulah Night of Remembrance , malam dana untuk Islamia School , sekolah Islam terbesar di London yang didirikannya pada 1983.

Publik Inggris begitu bergairah menanti kembalinya Yusuf. Kabar yang dihembuskan media adalah ia akan kembali dengan lagu lamanya. Dalam Breakfast, acara berita pagi di BBC, sang penyiar bertanya, "Apakah Anda akan membawakan lagu-lagu lama?". Yang ditanya tersenyum, "Yang pasti, sekarang saya tak lagi memainkan gitar atau instrumen lain kecuali perkusi." Dan ternyata pertunjukan malam itu memang berlangsung tanpa hits-hits lamanya.

Cat Stevens memang tak sekedar mengganti namanya menjadi Yusuf Islam sejak dia menjadi muslim pada 1977, tapi mengubah seluruh gaya hidupnya. Kini ia lebih banyak berkutat di bidang pendidikan Islam lewat Islamia School di Queen's Park dan Kilburn, London. Berkat lobinya yang berliku, Islamia menjadi sekolah Islam pertama di Inggris yang diakui dan mendapat dana dari pemerintah -- fasilitas yang semula hanya dinikmati sekolah-sekolah Kristen dan Yahudi. "Semua tak lepas dari figur Yusuf yang berbuat sangat banyak bagi muslim Inggris," kata Hassan Radwan, salah seorang guru di Islamia. Saat mendirikan sekolah itu pada 1983, Yusuf lebih banyak menggunakan uang pribadinya ketimbang dana dari luar. Baru belakangan banyak sokongan dana dari berbagai sumber, termasuk pemerintah.

Sekolah ini terbagi empat, yaitu: Islamia Primary School (4-11 tahun), Islamia Girls Secondary School (11-16), Islamia 6th Form College (16-18) dan Brondesbury College For Boys (11-16). Saat saya mengunjungi Islamia School, kemegahan sekolah yang terbuat dari bata merah mendominasi kawasan Salisbury Road, Queen's Park. Gadis-gadis kecil berjilbab dari berbagai bangsa berlari-lari di lapangan, bercanda dan tertawa-tawa. Tak beda dengan siswa di sekolah umum.

Memang, yang membedakan hanya tambahan ilmu agama Islamnya, selebihnya pelajaran di sekolah ini serupa dengan yang lain. Tak heran jika para orangtua muslim berlomba mendaftarkan anaknya ke sini. Daftar tunggunya bisa bertahun-tahun karena jumlah peminat begitu membludak. Salah satunya, Nurani, ibu dari anak usia 3 tahun yang sudah mendaftar begitu sang anak lahir. "Kalau beruntung, enam tahun mendatang dia bisa masuk Islamia." Ia juga sudah menyiapkan cadangan sekolah lain karena kemungkinan itu dirasa tipis lantaran peminat juga melakukan jurus serupa untuk masuk sekolah ini.

Tak pelak, nama Yusuf Islam sebagai salah satu ikon muslim Inggris menjadi daya tarik dan jaminan mutu. Ia juga dianggap menjadi simbol dialog antaragama di Inggris. Tokoh-tokoh dunia banyak yang mendatangi sekolahnya. Termasuk Pangeran Charles, Prince of Wales, yang berkunjung ke Islamia beberapa tahun silam dan menjadi headline di koran-koran London.

Menjadi muslim tak selamanya mudah bagi Yusuf. Pada 1989, lagunya berjudul Peace Train dituding mendukung fatwa mati bagi Salman Rushdie yang dilontarkan Ayatollah Khomeini. Menurut Yusuf dalam wawancara dengan Majalah Rolling Stone untuk menjelaskan masalah itu, sebelumnya ia ditanya oleh wartawan, apakah akan ikut memprotes Satanic Verses-nya Salman Rushdie dan ia mengiyakan. Headline yang keluar di koran keesokan harinya adalah: Cat Says Kill Rushdie, sehingga Yusuf sempat "dimusuhi" publik Inggris dan Amerika Serikat. "Ini terjadi karena kebetulan saya adalah figur publik yang muslim," kata Yusuf. Belakangan, Ia malah dituduh sebagai pendukung gerakan teroris.

Toh, Yusuf Islam tetap harum di hati penggemarnya. Islam ataupun agama lain. Meski tak bermusik seperti dulu lagi, ia tetap aktif dengan caranya sendiri. "Saya tidak setuju bahwa semua jenis musik haram. Tapi saya juga tidak setuju bahwa semua jenis musik halal," kata Yusuf. Salah satu kegiatan bermusiknya adalah ada hubungannya dengan kegiatan amal. Seperti pada April lalu, Yusuf bersama sejumlah musisi antara lain Paul Mc Cartney, David Bowie dan George Michael, merekam album The Hope untuk menggalang dana bagi korban perang Irak.

Pada 1995, ia juga turun ke studio merekam album War Child untuk mencari donasi bagi korban perang Bosnia. Kini, ia meluncurkan album Idul Fitri untuk anak-anak bertitel I Look I See. Di tangan Yusuf, musik menjadi bahasa untuk menyampaikan syiar.

Andari Karina Anom (London)

arungtasik@any-mail.co.uk

Panci dari The 99p Store

Secarik kertas terpampang di kaca depan toko satu harga The 99p Store di Lewisham, sejak kemarin. Tidak seperti biasa -- iklan lowongan kerja paruh waktu menjelang Natal -- iklan itu berisi pengumuman tentang penarikan kembali (recalling) sejenis panji aluminium yang pernah dijual di toko ini sepanjang Februari hingga pertengahan November 2003.

Pemilik toko menyatakan, ada yang salah dengan panci itu dalam proses pembuatannya, dan mereka yang telanjur membelinya, boleh mengembalikannya ke toko ini -- meski dengan dasar yang telah menghitam -- dengan pengembalian uang penuh sesuai harganya.

Pengumuman seperti ini rupanya hal biasa di Inggris. Barang yang dijual, dan belakangan dikeluhkan beberapa pemakai, akan segera ditarik dari pasar dengan uang kembalian penuh, kadang-kadang disertai cindera mata.

Dan bukan hanya pemilik toko atau produsen, khalayak pembeli pun boleh melakukan hal yang sama setiap saat, hanya karena ketidakpuasan dalam memakai barang. Selalu ada tulisan pada kemasan gula pasir, buku, kamera digital: bila tak puas dengan barang ini, Anda boleh mengembalikannya dalam waktu 14 hari atau sebulan. Juga di Argos, toko aneka barang elektronik, perhiasan, perabot dan mainan anak, yang menjual lewat katalog di banyak tempat di kota ini.

Mengembalikan barang yang telah dibeli, sudah dipakai beberapa hari, juga amat mudah: datang saja ke toko itu, nyatakan ketidakpuasan (atau sekadar salah beli) tanpa harus merincinya, tinggalkan barangnya dan ambil duitnya. Prosesnya hanya memakan waktu beberapa menit, tanpa perlu bersitegang urat leher.

Saya ingat cerita seorang mahasiswi Indonesia, tentang kebiasaannya mengembalikan buku yang sudah ia baca ke toko buku penjualnya di London dengan alasan tak suka dengan isi buku itu. Kasir toko buku dengan tanpa komentar, mengembalikan uang pembelian buku itu.

Saya langsung berpikir, beginilah dua kultur yang bertemu: dari Indonesia datang dengan pikiran untuk berhemat uang buku, dan Inggris dengan tingkat kepercayaan dan pelayanan kepada konsumen yang begitu tinggi. Dan luhur.

Tentang kepercayaan dan pelayanan konsumen, paling gampang terlihat dari tidak adanya tempat penitipan tas atau jaket di setiap pintu masuk pasar swalayan atau toko buku. Orang-orang bebas lalu-lalang di dalam toko dengan menyandang ransel atau menenteng belanjaan dari toko sebelah, tanpa pemilik khawatir, mereka akan mengutil.

Boleh jadi, karena itu, saya tak pernah menemukan rubrik surat pembaca di surat-surat kabar di London, yang memuat tulisan tentang keluhan atau rasa tertipu seorang pembeli di sebuah toko -- seperti keluhan surat pembaca yang tak pernah absen di surat-surat kabar di Jakarta.

arungtasik@any-mail.co.uk

Thursday, November 27, 2003

Selamat Jalan Pak Manuhua

Sepekan ini, ada banyak kabar duka yang terdengar dari tanah air: dari kecelakaan kendaraan para pemudik, tabrakan kereta dengan bis, dan terakhir yang menghentak, kabar berpulangnya Bapak L.E. Manuhua. Mendiang tidak mengenal saya, tapi kepadanya kekaguman dan penghormatan saya tidak pernah luluh.

Kemarin, saya membaca berita kematian Copito de Nieve, gorila albino dari kebun binatang Barcelona yang sekaligus menjadi salah satu ikon kota di Spanyol itu. Di bulan Maret 1993, saya menulis cerita ringan di Rubrik Iptek Harian Pedoman Rakyat tentang Copito, Gorila Putih dari Barcelona ini -- yang membuat M. Hasymi meledek saya sebagai "pengamat binatang langka". Di "zaman teramat susah" itu tulisan tentang Copito ini, salah satu yang membuat saya tetap bisa memelihara napas di kota Makassar, lewat honorarium yang tidak seberapa, yang disodorkan Cindy -- putri Pak Manuhua -- dengan ekspresi khasnya, di lantai dua gedung Pedoman Rakyat di setiap penghujung bulan.

Di Pedoman Rakyat, koran yang dibangun Pak Manuhua, saya memulai menjejakkan kaki di dunia tulis-menulis. Di sana pula ada Pak Dahlan Abubakar, orang baik yang menjadikan saya seorang wartawan.

Saya mendengar kabar meninggalnya Pak Manuhua sehari setelah Idul Fitri yang sunyi. Saya tengah menikmati lagu-lagu klasik dari compact-disc sisipan koran akhir pekan di Lewisham, yang akhirnya menjadi kidung pengantar kesedihan saya. Dan ini tentu bukan kesedihan saya sendiri.

Selamat jalan -- dan terima kasih -- Pak Manuhua, semoga engkau menempuh jalan lapang, dan beroleh tempat yang amat layak di sisi-Nya.

arungtasik@any-mail.co.uk

Tuesday, November 25, 2003

Tentang Ida, Idul Fitri dan Rendang Basah

Namanya Ida, perempuan Indonesia bersuamikan lelaki asal Jamaika. Selasa pagi, seperti hari-hari sebelumnya, ia mengantar putrinya semata wayang yang baru berusia 2,5 tahun, Jeida ke sekolah balita di dekat Northbroke Park -- sebuah taman di belakang rumah kami di Ronver Road.

Dan pagi itu, Ida melempar senyumnya yang ramah mendengar saya dan Karin berbicara dalam bahasa Indonesia. Di atas bis 261 menuju Lewisham, ia duduk menyamping tepat di depan saya. Tentu saja, saya tak pernah berani menegur terlebih dahulu, orang-orang berwajah Asia di negeri ini. Beberapa kali saya kecele mengenali orang Vietnam dan Filipina, hanya karena wajahnya berona Melayu.

Pagi ini, kebetulan yang jarang itu datang. "Hai, dari Indonesia ya," katanya ramah. Ia kaget mendengar kami hendak menuju gedung Kedutaan Indonesia di Grosvenor Square di Central London. "Lo, bukannya besok Lebarannya? Saya masih puasa hari ini. Saya sempat makan sahur dinihari tadi." Ia benar-benar tak tahu, hari ini Idul Fitri.

Sudah dua tahun lebih ia di London, ikut suaminya, warga negara Inggris keturunan Afrika yang sehari-hari seorang pekerja profesional. Mereka tinggal di kawasan Etham, tak jauh dari Lewisham. Selama di London, Ida nyaris tak pernah bertemu orang Indonesia.

Di kelokan jalan dekat stasiun Lee, Ida turun dari bis. Kami terus membelah pagi pukul 8 GMT dengan baju koko dan perangkat shalat dalam tas sandang di pangkuan Karin. Sejam kemudian, kami turun di Bond Street, dan berjalan menuju gedung KBRI.

Telepon Karin berdering. Dari Ida. Ia akhirnya memutuskan untuk menyusul kami: sholat Id di KBRI. Kami bertemu di ruang penitipan mantel di lantai bawah.

Dan selanjutnya adalah kami tenggelam dalam kekhusyukan Idul Fitri. Ada 200-an orang Indonesia menunaikan sholat Id di gedung berlantai empat ini. Pria di lantai bawah, wanita di lantai atas. Ada khotbah singkat.

Saya masuk ke ruang sholat beriringan dengan bekas menteri Hayono Isman. Di deretan tengah, saya melihat bekas Ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD), Budiman Sujatmiko dengan dagu berbalut perban. Ada juga wartawan BBC, Susilo yang mengenakan batik, dua saf di depan saya. Hanya tiga orang itu agaknya yang aku kenal.

Ingatan saya melayang ke Makassar, ke wajah ibu saya tercinta, kakak dan adik saya tersayang, Jumadi. Apa gerangan yang mereka lakukan saat ini? Pagi tadi, sekitar pukul 5 dinihari, saya sempat menelpon ke Indonesia. Di sana hari sudah beranjak sore. Mereka tengah menikmati gurih gulai kepala kambing. Rasa haru menyeruak di dada saya. Untuk merekalah, bertahun-tahun dalam hidupku tetap menggumpal semangat. Dan tahun ini, Lebaran saya lewati tanpa mereka.

Keharuan itu sudah ada sejak pagi tadi. Kami terbangun, Karin menelpon ke Depok berkabar dan mengucapkan selamat Idul Fitri pada bapak-ibu dan adiknya. Hati istriku tentu tak kalah senyapnya dari suaminya.

Tak ada suasana Lebaran di kamar ini. Saya membuka komputer, dan mengakses lagu-lagu dari radio Islam. Untunglah, ada suara pengajian Al-Qur'an dari sebuah radio di gurun pasir, entah di mana. Saya sempat membuat nasi goreng sekadar pengganjal perut yang lapar di pagi Lebaran ini. Tak ada ketupat.

Begitulah. Dan di KBRI pagi ini, sholat usai dengan cepat. Kami keluar, bersalam-salaman. Bersama teman-teman peserta Chevening yang rupanya datang -- Anti, Kiki, Dewi -- Rani dan suaminya, Susilo, Budiman Sudjatmiko, dan juga Ida, perempuan Indonesia yang saya kenal di bis kota itu, kami menuju stasiun bawah tanah, dan naik tube ke kediaman Duta Besar Juwono Sudarsono di Wisma Nusantara. Kami keluar di East Finchley Station, berjalan sekitar 500 meter menyusuri trotoar yang dipenuhi guguran daun-daun marble.

Rumah itu terletak di kawasan elit London, Jalan Bishop Grove - Bishops Avenue. Lokasinya di pebukitan, dengan pohon-pohon marbel besar di sekelilingnya. Di belakang rumah ini, sebuah taman besar dengan lapangan tenis di tepinya, sudah ada tenda putih untuk para tamu, masyarakat Indonesia yang datang.

Saya langsung menemukan gairah Lebaran itu: aneka makanan Indonesia disajikan melimpah. Saya langsung menuju meja dengan makanan berlemak yang paling bercita-rasa Melayu: rendang basah. Setelah itu disusul puding, nenas dan mangga, kopi susu.

Silaturahmi berlangsung di sela-sela makan. Saya sempat bertukar sapa dengan Pak Damen, orang Toraja yang menjadi Wakil Duta besar Republik Indonesia di London. Istrinya mengundang kami untuk datang ke rumah mereka pada perayaan Natal mendatang.

Menjelang sore, kami berpamit ke Pak Juwono. Kembali menyusuri jalan yang sama, naik tube langsung menuju Lewisham. Pada stasiun terakhir, tinggal saya, Karin dan Ida. Ida tampak begitu gembira, ia masuk ke komunitas leluhurnya. Di atas kereta, ia sempat menelpon suaminya, mengabarkan pertemuannya dengan kami.

Ida mengundang kami ke rumahnya Sabtu esok, dengan janji hidangan buatannya sendiri. Kami berpisah tepat di halte di ujung Ronver Road. Ida menjemput anaknya.

Malam turun menyelimuti London. Kami kembali ke rumah di Ronver Road. Hari itu, saya dan Karin menemukan kegairahan berlebaran di negeri beribu mil dari Indonesia.

arungtasik@any-mail.co.uk

Monday, November 24, 2003

Malam Lebaran

The Londoner, koran resmi walikota London edisi Desember 2003 memuat berita itu dalam tiga paragraf pendek di sudut bawah halaman dalam. Di bawah judul Eid message for Muslim, Ken Livingstone, walikota London berwajah ramah itu, menyampaikan Selamat Idul Fitri bagi warga muslim kota ini.

Ken Livingstone merasa perlu menyampaikan selamat, meski dalam durasi yang pendek itu, mengingat penduduk muslim London tidak sedikit: 600.000 jiwa dari tujuh juta penduduk. Ucapan sejuk sang walikota ini memang tidak menonjol, di bawah kemeriahan penyambutan Natal yang sebulan lagi.

Saya dan Karin menyambut malam Lebaran tahun ini dalam sunyi. Sembari menuliskan suara hati ini, kami mendengar alunan musik klasik dari compact-disc sisipan koran kemarin sore. Malam Lebaran di kota London di akhir musim gugur, adalah malam-malam di antara 365 hari yang biasa sepanjang tahun. Tak ada asap ketupat, tak ada bau rempah-rempah dari daging yang diguling di atas bara.

Entah esok pagi.

arungtasik@any-mail.co.uk

Sunday, November 23, 2003

Trafalgar Square: Taman Tanpa Tanaman

Hari-hari pertama saya di London dan tentu juga hari-hari mendatang, entah mengapa, kerap bersinggungan dengan tempat ini. Atau memang tak lengkap apabila tak menjejaknya -- sebagai orang yang baru bersua dengan sebuah peradaban tua. Ya, Trafalgar Square adalah pusat kota London, juga landmark kota ini, seperti juga gedung parlemen dengan jam gadangnya yang terkenal: Big Ben.

Lokasinya tepat di ujung jalan besar Whitehall, pusat pemerintahan sipil Inggris, tempat Downing Street berada. Sekilas Trafalgar hanyalah sebuah pelataran depan National Gallery, museum megah yang menyimpan peradaban tinggi kota ini. Pelataran ini ditandai sebuah tugu Corinthia setinggi 53 meter, yang menjadi alas berdiri bagi patung Lord Nelson di pucuknya. Lord Nelson yang ditampilkan amat perkasa memegang pedang, adalah kebanggaan rakyat Inggris, atas kepahlawananya memimpin angkatan laut melawan tentara Napoleon di tahun 1805.

Di kaki tugu ini, empat patung singa berukuran raksasa yang dibangun Sir Edward Landseer di tahun 1867. Singa-singa tembaga ini seperti penjaga bagi tugu Nelson. Dan di pelataran Trafalgar, dua kolam berbentuk teratai yang dibangun di tahun 1939, menjadi pelengkap Trafalgar.

Selebihnya adalah pelataran kosong dari beton yang kukuh tapi apik. Duduk di undakan tangga menuju National Gallery, Trafalgar menjadi tempat yang amat bagus untuk menikmati riuhnya kota London. Bis-bis merah bertingkat yang menjadi ciri khas kota ini melintas dari arah Northumberland Avenue menuju Whitehall atau Cockspur Street.

Orang-orang tak henti memadati pelataran di depan undakan, para turis berfoto dengan latar gedung-gedung tua, burung-burung merpati beterbangan dengan jinak, dan pasangan-pasangan muda memadu kasih di emper-emper sudutnya.

Sekeliling Trafalgar adalah wajah asli kota London. Ada gereja St Martin-in-the-Fields, dan toko-toko cendera mata. Semuanya tampak indah, seperti makanan ringan bagi jiwa yang tandus. Entah berapa banyak kisah yang terjalin di Trafalgar, taman tanpa tanaman, tapi sejuk dengan embusan angin dinginnya yang menusuk kulit.

arungtasik@any-mail.co.uk

Thursday, November 20, 2003

Adzan yang Berkumandang di Trafalgar

Sudah sepekan ini semua sudut kota penuh selebaran dan poster dengan kalimat senada: STOP BU$H (dengan S dalam dolar). Presiden Amerika George W Bush memang berkunjung ke kota London, 17 sampai 21 November 2003. Ia hendak bertemu dengan karibnya yang amat kental -- dalam soal Irak -- Perdana Menteri Inggris Tony Blair. Bush tiba di Bandara Heathrow disambut Pangeran Charles dengan sapaan khas Texas, ''Howdy''.

Dan seperti biasa, kemana Bush pergi di kolong jagat ini, ia akan mengundang perhatian dunia, juga memantik api protes. London segera dibanjir para pemrotes. Sebuah lembaga swadaya masyarakat, Stop the War Coalition, menjadi penyelenggara protes besar itu. Di papan pengumuman kampus Goldsmith College, University of London di kawasan New Cross, undangan untuk berkumpul di pelataran kampus pada Kamis 20 November, jam 12 siang terpampang sejak beberapa hari lalu.

Dari New Cross, para mahasiswa hendak berpawai menuju pusat penyelenggaraan demo: Trafalgar Square, 200 meter dari Downing Street di kawasan Westminster, kantor perdana menteri Inggris. Dan saya hendak menghadiri demo besar ini.

Dari Lewisham, kami langsung menuju pusat kota. Bis panjang 453 melewati Westminster hanya sesaat sebelum bis-bis dilarang melintas di situ. Saya turun di mulut jalan Whitehall, dan berjalan ke arah Trafalgar. Di ujung Downing Street, puluhan polisi Inggris dalam busana khasnya yang berwarna hijau terang, telah berjaga-jaga. Rupanya, di Downing Street 10, tengah berlangsung pertemuan antara Tony Blair dan George W. Bush. Dari balik pagar tinggi, sekilas saya melihat sekelompok wartawan menunggu di depan pintu kantor ini.

Di seberang jalan, sekelompok pengunjuk rasa dari Amnesty International telah berkumpul. Mereka berseragam merah darah, dengan poster yang menunjukkan kegeraman pada perilaku Bush yang mengundang bala di mana-mana. Polisi di jalan ini melarang saya untuk berlama-lama berdiri di seberang Downing Street.

Kami pun menuju Trafalgar. Di sana, sekelompok demonstran sudah mulai berkumpul. Ada layar televisi raksasa di sudutnya, pengeras suara besar di bawah tugu Nelson, dan poster-poster anti Bush yang dibagi-bagi. Sebuah bendera Palestina tampak dibentangkan di tembok samping undakan menuju National Gallery dengan tulisan besar: Free Palestine di sampingnya.

Melihat aneka poster yang terpampang, ada banyak kepentingan rupanya yang menumpang dalam demo besar ini. Ada juga soal Palestina, soal standar ganda Amerika terhadap Israel yang petantang-petenteng di Timur Tengah, isu nuklir, juga ada isu keterlibatan Inggris secara rahasia dalam perang di Kamboja. Sudut-sudut Trafalgar nyaris jadi pasar kaget, dari penjual cindera mata demonstrasi anti-Bush sampai makanan dengan uang donasi untuk Palestina.

Tapi keramaian ini tetap didominasi oleh isu besar tentang Irak -- dan juga semangat yang sama dalam menentang Bush. George Bush is the greatest threat for the World Peace, begitu tulisan besar di banyak poster yang diacungkan para demonstran. Saya tertegun melihat seorang anak muda Amerika mengangkat poster yang sedikit lain: I proud of my country, I ashamed of my president. Saya ingat cerita Karin tentang teman kuliahnya, seorang pemuda Amerika yang juga sangat bersemangat mengajak mahasiswa Goldsmith turun ke jalan mendemo Bush.

Pusat perhatian dalam unjuk rasa ini adalah panggung di bawah tugu Nelson di tengah Trafalgar. Sebuah patung besar Bush memegang hulu peluru kendali berwarna tembaga berdiri di atas panggung ini. Patung itu menyerupai patung Saddam Husein di pusat kota Baghdad, yang ditumbangkan warga Kurdi bersama tentara Amerika Serikat yang menandai kejatuhan Baghdad dalam perang teluk lalu. Patung itu bertudung kain putih.

Kian petang, Trafalgar kian dibanjiri massa. Belakangan, saya baru tahu, kalau London hari itu benar-benar diwarnai semangat anti-Bush, ada 200.000 orang turun ke jalan-jalan, seluruhnya berpawai menuju Trafalgar. Koran-koran esoknya menurunkan laporan, sebanyak 6.000 polisi Inggris dikerahkan untuk menjaga demo besar ini, dengan biaya pengamanan Bush sebesar 15 juta poundsterling.

Pukul 4.15 sore, saya terhentak oleh sebuah kejutan. Seorang pria berwajah Eropa yang mengenakan kafiyeh, dipersilakan tampil ke atas panggung. Dengan lantunan yang tipis dan panjang, ia membacakan Surah Al-Fathihah, disusul dengan adzan Maghrib yang nyaring. Saatnya berbuka puasa. Puluhan ribu orang yang memadati Trafalgar terdiam, seperti tersihir oleh suara adzan ini. Hiruk pikuk demonstran sontak menjadi senyap.

Saya dan Karin beranjak ke pojok Trafalgar, tempat aktivis Palestina membagikan makanan berbuka puasa dengan gratis. Sebuah apel, roti berlapis daging, dan sekotak jus mangga dibagikan dua lelaki kepada siapa saja yang melintas, disertai senyum ramah. Ada juga buah kurma. Entah dari mana mereka memperoleh dana untuk menjamu banyak orang dengan hati terbuka seperti itu.

Setelah serangkaian pidato membabi buta mengecam Bush, puncak acara pun tiba. Empat larik tambang besar yang terulur ke puncak patung Bush, dipegang oleh perwakilan para pengunjuk rasa. ".... four, three, two, one", dan patung Bush pun tumbang disertai tempik sorak massa. Sempritan, klenongan, tambur, dibunyikan bersama-sama. Layar televisi raksasa memampangkan tulisan dalam huruf raksasa: Down with Bush. Di angkasa Westminster, sudah tiga jam sebuah helikopter mengambang tak bergerak, seperti merekam para pengunjuk rasa.

Malam pun datang, tapi keramaian tak juga surut. Dari mulut-mulut jalan menuju Trafalgar, rombongan demi rombongan massa tetap datang membanjir. Agak lelah, dan puncak acara telah terlewati, saya mengajak Karin untuk kembali. Kami berjalan beberapa kilometer melalui Charing Cross, melintasi Stasiun Waterloo, menyeberangi jembatan di atas Sungai Thames sampai menemukan bis menuju ke rumah.

Di jalan-jalan, aroma demonstrasi masih terasa. Saya ikut merasakan kesedihan rakyat Inggris yang pemerintahnya sungguh membuta mendukung Amerika, dalam perang yang sia-sia di Irak. Saya memang bukan warga negeri ini, tapi saya mulai merasakan hangatnya nurani mereka.

arungtasik@any-mail.co.uk

Sunday, November 16, 2003

Love Actually Premiere

Kaki Hugh Grant terulur keluar dari pintu London Cab (taksi kota yang bertampang tua), dan Leicester Square pun meledak. Gadis-gadis muda London yang menyemut di pagar pembatas depan Odeon Theatre berteriak histeris. Dan Hugh, dengan senyumnya yang memikat -- di dalam dan di luar film -- melangkah ke deretan gadis-gadis yang sudah bersiap dengan kertas dan pulpen. Dalam balutan kemeja biru laut dan jas hitam, Hugh seperti dibungkus cahaya lampu kilat kamera yang tak henti berkeredap.

Karin, istriku, tak mampu menahan haru. Ia, yang lama memendam keinginan melihat aktor ini hanya menggumam: "Saya melihatnya dengan kepalaku sendiri," katanya. Ia berdiri dengan kaki menjejak dua bibir jambangan bunga di depan Radisson Hotel, bersama sejumlah orang. Saya berdiri di bawah menjaganya.

Tapi kemudian, ia melompat juga, ia tampak sedikit menyesal tidak ikut berkerumun di depan pagar itu: tempat Hugh menyampiri orang-orang yang memberi salam hangat. Saya kemudian menggantikannya, naik ke bibir jambangan, dengan tubuh sedikit gemetar oleh udara London yang 10 derajat Celcius.

Minggu 16 November 2003, memang dinanti remaja London dengan sangat antusias. Hari itu, pemutaran perdana film Love Actually di London dihadiri para bintangnya yang berasal dari Inggris. Dalam film itu Hugh Grant yang berperan sebagai perdana menteri yang ganteng, berpasangan dengan tea-lady Martine McCutcheon.

Saya, yang masa kecilnya dihabiskan dengan menonton video pendekar satria bergitar, Rhoma Irama dan film kocak Warkop, bukan orang yang hafal nama-nama para bintang film. Saya tahu Hugh Grant karena Karin pernah menyetel film Notting Hill di rumah kontrakan di Tebet, dulu. Di film itu, Hugh Grant berpasangan dengan Julia Robert. Tapi saya menikmati film itu.

Dan kesempatan untuk bertemu Hugh Grant datang, dua pekan setiba saya di London. Sepekan sebelumnya, kota London memang sudah demam Love Actually. Di halte, di televisi, koran-koran, sudah penuh poster film itu. Pukul tiga sore, sejam menjelang buka puasa, dengan bis kami menuju Leicester Square, sekitar 100 meter dari Trafalgar Square. Tiba setelah buka puasa, tempat itu sudah dipenuhi para a-be-ge London. Pagar setinggi satu meter yang dijaga ketat polisi sudah terpasang.

Karpet merah terhampar sampai ke pintu Odeon. Dan di ujungnya, fotografer tampak berjejer dengan kamera seperti tumpang tindih. Di dekat pintu, wartawan televisi sudah bersiap dengan mike berbalut bulu terjulur, berharap satu dua kalimat bisa tertangkap dari para artis Hollywood berdarah Inggris ini.

Saya kemudian ke McDonald, beli segelas teh (75p), sekadar pengganjal perut buka puasa buatku dan Karin. Setelah lebih sejam menunggu -- dihibur lagu-lagu soundtrack film Love Actually oleh delapan penyanyi di balkon Odeon, prosesi itu dimulai.

Para aktor dan aktris film berdatangan. Ada Martine McCutcheon, Hugh Grant, sutradara Richar Curtis dengan pasangannya Emma Freud, dan banyak lagi. Yang menarik perhatian saya tentu si Bill Nighy yang dalam film berperan sebagai rocker gaek. Ia datang dengan kostum persis di film, diiringi para penyanyi latarnya, enam gadis berbusana meriah: merah dengn bulu wol di tepiannya.

Kian malam, penonton kian berkurang. Yang datang pun tidak lagi mengundang histeria gadis-gadis. Satu aktor yang amat saya senangi ternyata tidak datang: Rowan Atkinson, pak tua bermental kanak-kanak dalam komedi Mr. Bean itu. Tapi sudahlah, saya sudah menikmati salah satu kemeriahan warga kota ini. Kami pulang malam itu dengan senyum yang tetap mengambang sampai London kembali berselimutkan embun pagi.

Rumah yang Membetahkan

Bulan Ramadhan kian menua. Ini pekan ketiga, tapi suasana menjelang Natal lebih dominan. Di mana-mana, di jalan, televisi, katalog-katalog, ada iklan penawaran hadiah Natal.

Tapi saya hendak bercerita tentang rumah. Orang Inggris sangat mengutamakan pelayanan umum. Di rumah, ada air panas, air dingin. Yang dingin bisa langsung diminum. Masak tinggal putar, karena gas mengalir langsung ke dapur dari pusatnya. Tidak ada ganti-ganti tabung. Ada mesin cuci.

Rumah yang lengkap begini, membuat hidup di London menjadi ringan dan tidak mahal -- asal mau memasak. Dan di kota inilah saya belajar memasak, kegiatan yang hanya pernah saya tekuni setengah hati di masa kecil dan di zaman susah di pondokan mahasiswa Tamalanrea, Makassar.

Yang jelas, saya bersyukur tinggal di kota ini. Di Inggris, ada sekitar 3.000 pelajar dan mahasiswa Indonesia. Mereka tersebar di 18 kota, dari Liverpool, Leeds, Manchester. Nah, yang di London ada sekitar 500 orang.

Saturday, November 15, 2003

Maafkan dan Terima Kasih

Di sini orang-orang sangat sopan, tak terbilang kata thank you, sorry, atau excuse me yang saya dengar setiap hari. Mereka selalu mendahulukan yang tua, anak-anak, atau orang cacat. "Please offer your seat to those less able to stand," begitu tertulis di setiap dinding bis.

Nenek-nenek, dengan tongkat atau kursi roda bermesin, bisa berkelayapan sepanjang hari. Hanya hujan dan udara dingin yang menjadi alasan mereka untuk tinggal di rumah. Di jalan, ada banyak yang bersedia menolong. (Kalau di Makassar sudah masuk Buser dia).

Tiba-tiba saja, saya merasa kesulitan mendefinisikan keramahan orang Indonesia. Senyum tapi tidak memberi jalan.

Friday, November 14, 2003

Masih jadi Turis

Baru sepuluh hari saya di London. Seminggu lamanya beradaptasi dengan perbedaan waktu tujuh jam, dan sekarang sudah mendingan:siang tidak lagi ngantuk, dan tengah malam tidak melek.

Dari Lewisham, tempat tinggal kami yang mungil, Greenwich tak seberapa jauh, setengah jam perjalanan dengan bis. Greenwich, sebuah kawasan di London yang jadi patokan waktu dunia. Sebuah toko menulis slogan di singkap depan bangunannya: the first shop in the world.

Udara di sini mulai dingin, sampai-sampai harus memakai baju berlapis-lapis.
Kian hari, saya kian menyadari, London adalah kota seperti kota dalam cerita dongeng: luas, ramai, tapi sangat tertib. Tidak kelihatan polisi lalu lintas, tapi warga kota begitu tertib di jalan. Jalan-jalan sempit, bukan empat jalur seperti di Jakarta, tapi tidak pernah macet. Ke mana-mana, tinggal pakai satu tiket saja, yang berlaku sehari, seminggu, sebulan atau setahun.

Sedikit lebih mahal, naik kereta atau tube (kereta bawah tanah). Kereta bawah tanahnya benar-benar di bawah tanah: 100 meter dari permukaan. Melihat semua yang terasa baru ini, memori saya selalu berputar ke belakang, wahai, jauh amat engkau mengitari kulit bumi ini.

Pekan lalu, saya ke Central London, langsung ke Trafalgar Square -- akan saya ceritakan kemudian --sebuah tempat lapang yang berhadapan dengan museum nasional. Di museum ini ada lukisan dari tahun 1200 sampai awal abad 20.

Saya masuk bersama Karin. Gratis. Saya sempat menanyakan kepada penjaga: yang manakah gerangan lukisan tertua di sini. Lelaki penjaga itu pun ternyata tak begitu pasti: "masuk ke ruangan depan itu, dan belok ke kiri," katanya.

Lukisan itu bertahun 1260-an, tapi keterangannya tak begitu lengkap. Berupa goresan cat tanah liat yang tak lagi utuh di atas lempeng kayu, lukisan itu tampaknya sisa dekorasi dalam gereja entah di mana.

Betapa Inggris begitu menghargai tradisi dan kebudayaannya yang berjalan di atas rel waktu yang begitu panjang. Dan kini, saya ikut menikmatinya.

Keluar dari sana, dengan bis kota, kami melintasi London Bridge, jembatan London yang terkenal membelah Sungai Thames itu. Airnya memang tidak kali di Mambi, tapi ia tak sungguh kotor.

Minggu 9 November, saya ke Istana Buckingham, tempat tinggal ratu yang sangat megah itu. Di sekelilingnya ada taman-taman tempat berkuda, dan saya ke taman itu. Ada juga taman besar yang menjadi tempat berdemo. Melintasi St James Park, kami berjalan menuju Hyde Park yang sudutnya terkenal sebagai Speaks Corner. Guguran bunga marbel berwarna kuning tua cerah di taman luas itu mengingatkan saya pada salah satu hiasan wallpaper di Microsoft Wondows XP.

Hari Minggu, ada demo di sana. Ada yang sekadar teriak-teriak, sendirian, ada yang bahasa Arab. Ada juga yang datang hanya untuk membantah.

Saya pulang, kembali naik bis kota. Tentu di lantai atas, memandang gedung-gedung tua yang apik dan terpelihara. London kembali berselimut gelap dengan lampu-lampunya yang terang seperti mutiara.

Tuesday, November 04, 2003

Selamat Datang

Saya ingat kalimat pertama sebuah novel Pramoedya (Anak Semua Bangsa, Tetralogi Pulau Buru), yang kuucapkan kembali di dalam hati: London kini terhampar di bawah kakiku. Pesawat Thai Air yang membawaku terbang 18 jam dari Jakarta berputar di atas London. Ibukota peradaban Eropa itu masih lelap di dinihari, pukul 6.20, masih subuh di musim gugur. Agak lama, seakan hendak memberiku waktu menikmati serakan lampu yang meriah.

Lalu roda pesawat berdecit di landasan Heathrow, mendarat, penumpang turun menyusuri lorong belalai. Dan, wusssh, embusan dingin angin darat. Ini angin London di ambang musim dingin.

Antre panjang di imigrasi, pemeriksaan kesehatan, lalu bergerak ke meeting-point terminal tiga. Tak ada juga degup di jantung.

Lalu Karin datang dengan pelukan. Pulang ke rumah, di Ronver Road, dengan tube, kereta bawah tanah yang menembus labirin bumi.

London dengan rumah-rumah tuanya seperti pesawahan tanpa hembusan angin: tenang, pelan, dan damai.