Sunday, August 15, 2004

Ke Puncak Eiffel

(catatan tersisa dari kota Paris)

Tak lega rasanya jika tak menjejak atap kota Paris ketika berada di kota ini. Menara ini sungguh menggoda. Di malam hari ratusan proyektor meneranginya dengan 20.000 bola lampu yang berkedip setengah jam sekali seperti undangan yang melambai hati.

Kaki EiffelTapi saya tak ingin terjebak berjam-jam dalam antrian di kakinya seperti sebelumnya. Pada musim liburan seperti ini, sedikitnya 30.000 pengunjung naik ke Eiffel setiap hari. Maka sebelum para wisatawan itu melimpah ruah, saya telah keluar dari Stasiun Champ de Mars.

Baru pukul sembilan pagi. Rerumputan di kakinya masih berembun. Masih sempat kupandangi keseluruhan sosok menara ini. Ah, betapa tingginya. Padahal oleh Gustave Eiffel, sang arsitek yang juga ikut membangun Patung Liberty di New York, menara ini didirikan sekadar menyambut Pameran Dunia dan peringatan Revolusi Prancis di tahun 1889.

Seusai pameran menara ini mestinya hendak dirubuhkan kembali. Tapi percobaan transmisi radio yang berhasil di puncaknya akhirnya menyelamatkan Eiffel dari keruntuhan. Sejak itu, 40 tahun lamanya Eiffel jadi gedung tertinggi di dunia. Ia jadi satu dari tujuh keajaiban dunia modern.

Itulah mengapa saat ini saya bisa berdiri di depannya, memandang si jangkung setinggi 320 meter yang dibangun dari 15.000 balok baja. Balok-balok baja ini dipertautkan dengan sedikitnya 2,5 juta sekrup dan mur. Berat keseluruhannya 7.300 ton.

Sungai SeineAntrian baru 10 meter, kebanyakan adalah turis Jepang. Hanya sekilas saya memperhatikan patung dada emas Gustave Eiffel di kaki menara ketika saya telah tiba di depan loket. Ada tiga jenis tiket yang ditawarkan di loket ini: ke pelataran pertama yang bisa ditempuh lewat tangga, pelataran kedua, dan puncak menara. Saya memilih yang terakhir.

Setelah melewati pemeriksaan bawaan oleh petugas yang ramah, saya kemudian melewati ruang di salah satu tungkai menara menuju elevator. Di mana-mana ada pengumuman: hati-hati, banyak pencopet. Di atas pintu dan di dalam bilik elevator. Turis-turis Jepang terlihat memeluk bawaan mereka dengan ketat.

Tak lama kemudian, elevator bergerak lambat, mula-mula merambat miring mengikuti lekuk menara lalu lurus menerobos rangka. Deraknya terasa.

Keluar dari elevator ini, di depan saya adalah pelataran kedua. Ada toko cindera mata yang menjual pernak-pernik berbau Menara Eiffel serta restoran Jules Verne yang mahal. Dari sini, seluruh penjuru kota Paris sudah terlihat. Tapi saya hendak ke puncak.

Saya kemudian menuju elevator lain yang hendak ke puncak. Dekat pintu elevator puluhan orang sudah berbaris dalam antrian. Saya ikut di belakang sembari menekuri balok demi balok besi yang melintang di sekitarnya. Dulu, elevator ini belum ada. Mereka yang hendak ke puncak harus berlelah-lelah mendaki 1.789 anak tangga. Tak henti kudecapkan kekaguman dalam hati pada mereka yang memikirkan rancangan menara ini.

Di sebuah belokan antrian, sepasang kekasih di depan saya berpelukan. Di ketinggian 115 meter itu mereka berciuman, saling membelitkan lidah. Dengus napas mereka mengatasi angin yang menerobos rangka menara. Orang-orang di sekitar mereka, termasuk serombongan turis Jepang hanya senyam-senyum belaka. O, betapa romantis, betapa TAK BERMALU. Ingin kurenggutkan kepala mereka dan kulemparkan ke arah Sungai Seine yang mengalir nun di kaki menara di bawah.

Beberapa menit kemudian, saya tiba di depan elevator. Lalu, bersama 12 orang pengunjung dan seorang operator, saya meluncur menuju puncak. Elevator berdinding kaca ini membuat pandangan leluasa keluar, saat tali-tali besi mengejang menarik kami ke atas. Perjalanan sepanjang 200 meter menuju puncak sungguh menegangkan. Bilik kaca ini meluncur di tengah rangka yang kian ke atas kian mengerucut. Hanya beberapa menit tapi rasanya seperti mengendarai kereta halilintar di dunia fantasi.

Saya melangkah keluar dari bilik elevator dan masuk ke ruangan berdinding kaca: puncak Eiffel. Di sekeliling ruangan ini ada foto kota Paris berikut petunjuk-petunjuk nama-nama tempat yang terlihat dari atas. Saya memandang lewat jendela kaca, dan Paris seperti kota liliput. Di dinding atas ada gambar bendera dan nama-nama ibukota sedunia dengan jarak masing-masing dari Eiffel. Kota Jakarta terdapat di sisi bendera merah putih. Saya rupanya berdiri 11.584 kilometer dari negeri leluhur.

di puncak EiffelDi pojok ruangan, ada tangga menuju ke pelataran terbuka. Saya akhirnya menjejaknya. Angin musim panas Eropa langsung menerpa dan memainkan anak rambutku. Pelataran ini terbilang luas, bisa menampung seratusan orang, hampir seluas pelataran puncak Monumen Nasional di Jakarta. Sekelilingnya juga berpagar jeruji besi. Dari sini saya memandang dengan leluasa delapan penjuru angin kota Paris. Kota ini terlihat begitu padat dan rapi, jalan-jalan seperti sekumpulan anak panah yang memusat pada bujurnya: bundaran-bundaran jalan yang tersebar di setiap titik kota.

Indah nian Sungai Seine yang berkelok-kelok dengan kapal-kapal terlihat kecil melintasinya, melewati jembatan pejalan kaki Debilly dengan tiangnya yang putih melengkung. Sungai ini terlihat mengitari Eiffel separuh lingkaran. Kapal-kapal tampak bersandar di tebing-tebingnya.

TrocaderoDi utara, tak jauh dari kaki Eiffel adalah Taman Trocadero yang luas. Lebih jauh lagi, terlihat kawasan modern kota ini, yang ditandai dengan kotak-kotak gedung pencakar langit di sekitar La Defense dan Grand Arch. Nun di timur sana, tugu besar Arc de Triomphe di ujung Avenue de Champs Elysees terlihat samar dalam balutan udara yang beranjak tengah hari. Ke arah selatan, pandangan saya menekuri taman besar Champ de Mars yang berujung di Ecole Militaire dan kantor pusat Unesco yang megah. Keindahan jembatan Bir-Hakeim, Grenelle dan Mirabeau serta delta kecil Alees des Cygnes yang membelah Sungai Seine terlihat di sebelah barat.

Selebihnya adalah deru angin kota Paris.

Di puncak Eiffel, di tengah-tengah pelataran yang sesak pengunjung ini, ada sebuah kamar ukuran kecil dan toilet pengunjung. Kamar itu adalah ruang kerja pribadi sang arsitek, Gustave Eiffel. Semasa hidupnya, ia menerima tamu-tamu istimewa di tempat itu. Saya mengintip lewat kaca jendela, ada tiga patung lilin di dalamnya. Dua lelaki tengah duduk di atas bangku kayu sedang menghadapi sebuah mesin sederhana, dan seorang perempuan muda bergaun abad pertengahan. Mudah ditebak, pria berjanggut pirang di tengah adalah Gustave Eiffel yang tengah menerima tamunya, pria yang tak kurang terkenalnya, Thomas Alva Edison pada malam 11 September 1889. Edison, ilmuwan serba bisa dari Ohio, Amerika Serikat ini tengah memamerkan phonograph, salah satu temuannya -- selain lampu listrik, tentunya -- kepada Eiffel. Perempuan yang berdiri melayani mereka adalah Claire Eiffel, adik Gustave Eiffel.

Gustave Eiffel dan Thomas Alva EdisonDua jam lamanya saya berdiam di sana, berfoto, mengira-ngira arah, juga menikmati terpaan angin musim panas. Saya sempat menjulurkan tangan dengan kamera sejauh-jauhnya keluar jeruji dan memotret kaki menara. Beberapa turis mengikutinya. Kami saling tertawa menengok hasil foto itu.

Menjelang tengah hari, saya kembali turun, melewati elevator berbilik kaca ini hingga di pelataran kedua. Dari sini saya memutuskan untuk turun lewat tangga di tungkai menara yang lain. Perlahan-lahan saya menjejak satu demi satu anak tangga, sesekali berhenti memperhatikan balok-balok baja yang malang-melintang. Aroma catnya masih terasa.

Agar ia tak berkarat mengarung zaman, maka setiap tujuh tahun sekali, para atlet panjat tebing dikerahkan untuk mengecat setiap jengkal bajanya. Tak kurang dari 50 ton cat berwarna kecoklatan dihabiskan untuk pekerjaan besar ini.

Hampir sejam lamanya saya berjalan menuruni anak tangga. Saya kemudian tiba di pelataran pertama yang amat luas. Di pelataran setinggi 57 meter ini ada restoran Altitude 95 yang besar. Juga ada sebuah kantor pos yang terkenal dengan perangko khusus "Paris Eiffel Tower" tempat pengunjung singgah untuk mengirim kartu pos ke kampung halaman. Saya sempat menengok ke kaki menara. Di siang terik itu, antrian manusia telah membentuk barisan yang panjang dan berkelok-kelok.

Saya kemudian meneruskan perjalanan ke tanah. Saat berjalan menuju Stasiun Champ de Mars, saya sempat mengerling kembali memandang sosok menara. Ada enam juta orang yang berkunjung ke sana setiap tahunnya. Tahun ini, saya bagian dari mereka.

Wednesday, August 04, 2004

Bertemu Ronald dan Amanda di Friendster

Ronald dan Amanda adalah dua anggota Friendster. Keduanya saling memuji. Lalu Ronald membunuh Amanda

AmandaSecara pribadi saya tidak mengenal Amanda dan Ronald, dua nama yang kini menempati halaman depan koran-koran Indonesia. Amanda Devina, perempuan 22 tahun ini tewas dibunuh Ronald Johanes P Aroean (23) pada hari Rabu 28 Juli lalu.

Saya membaca beritanya sekilas, tapi kemudian iseng-iseng menelisik Friendster, jaringan perkawanan global lewat internet. Dan, saya menemukan keduanya: Amanda dan Ronald. Jarak saya dan keduanya jauh, pada tiga dan empat perantara.

Keduanya rupanya aktif di Friendster. Semenjak menjadi anggota Maret 2004, Amanda sudah punya 40 kawan, di antaranya ya, Ronald. Ia juga memajang empat buah foto warna close-up, dengan gaya yang nyaris sama: wajah manis yang menyunggingkan senyum. Ia terakhir menengok halamannya pada 23 Juli lalu, lima hari menjelang kematiannya yang mengenaskan itu.

Pada bagian profil, Amanda menyatakan status dirinya yang sedang menjalin hubungan dengan seseorang (in a relationship). Ia juga menyebut dirinya sebagai Terrano rally driver (Bintaro-Grogol) pada setiap pukul 05.30. Tentu yang ia maksudkan adalah perjalanan rutinnya mengemudi Terrano silver B 1167 QU dari rumahnya di Villa Bintaro Regency, Tangerang, ke kampus Universitas Trisakti di Grogol, Jakarta Barat. Seorang kawan prianya dalam halaman testimonial menyebut Amanda sebagai "tebengan sejati".

Amanda juga pecinta buku, kucing, dan film kartun, musik slow dan rock, hiphop, punk, tapi tidak suka musik indie. Film-film yang ia sukai terutama Shrek, Lion King, dan Finding Nemo.

Yang sedikit menyentak adalah buku-buku yang ia sukai: buku-buku tentang pembunuhan (about murder!) dan chick-literature.

Ada tiga kawan yang menuliskan kesannya tentang Amanda di halaman testimonial, salah satunya adalah Ronald sendiri. Kekasihnya ini menuliskan komentar pada 28 Maret 2004, dengan nada datar. "Amanda... rumah jauh. (kalo dari rumah gua sih) ato rumah gua yang jauh yah? Baik. Makan lumayan banyak. Kalo jalan ama dia, gak usah bawa jam. Mau tau kenapa. Tanya aja ama orangnya. Mirip Becky Tumewu atau Ivy Batuta yah? Baek. Baek. Baek. dan Baek."

Itulah komentar Ronald tentang Amanda. Komentar yang mengesankan keakraban mereka sejak awal.

RonaldRonald mendaftar di Friendster sejak Maret 2004. Bahkan, ia masih mengunjungi halamannya pada hari Kamis 29 Juli atau sehari setelah ia membunuh Amanda. Ia memang lebih aktif dari Amanda. Sejauh ini, Ronald telah memiliki 173 kawan, termasuk sang kekasih sekaligus korbannya, Amanda.

Ronald yang berkacamata memajang lima buah foto. Foto utama berupa foto hitam putih separuh badan, memegang gitar seperti tertidur sembari menoleh ke kanan. Juga ada fotonya yang tengah tersenyum gembira, berada di atas pohon mengenakan celana bermotif macan tutul, serta sebuah foto tengah memegang papan selancar di sebuah pantai.

Anehnya, Ronald menyebut statusnya masih terbuka. Ia menyukai segala jenis musik, termasuk yang disebutnya musik gondang dan tagading. Ia juga senang membaca komik, cerita Tarombo si Raja Batak, buku sejarah bergambar 30 Tahun Indonesia Merdeka, dan Alkitab. Film-film yang disenanginya adalah Titanic, The Passion of The Christ, The Bodyguard serta film-film dokumenter. Ia menyukai program televisi "yang tidak mengganggu kesehatan jiwa dan raga".

Dari 33 kawan yang menuliskan kesan tentang Ronald, salah satunya adalah Amanda. Dan, inilah testimonial Amanda tentang Ronald yang ia tuliskan pada 2 April 2004: "Kesan pertama baru kenal dia sih serem. Pas udah kenal ternyata serem banget! Apalagi kalo 1 (satu -Red) mobil bareng dia, trus di depan ada metromini ngetem. Tanpa malu-malu dia langsung buka kaca mobil terus ngegedor-gedor mobil sambil teriak-teriak dengan bahasa leluhurnya "Hei, minggir kau!" langsung jiper gua... Tapi kalo gak ketemu metromini ngetem dia sih orangnya baik. Mau nolongin orang. Diajak serius bisa, diajak gokil bisa. Cuma satu jeleknya: biang telat! Haram hukumnya buat Ronald berangkat ke kampus sebelum matahari nongol. Bukan begitu bukan."

Membaca kesan Amanda ini, lagi-lagi saya menangkap nuansa betapa dekatnya mereka. Nasib berkata lain. Amanda ditemukan telah tewas dalam mobil Nissan Terrano miliknya di pinggir jalan di Bandung. Ia tewas dicekik. Tersangka pembunuhnya adalah Ronald.

.: catatan: artikel ini dimuat di Harian KOMPAS, 5 Agustus 2004

Saturday, July 10, 2004

Musim Panas di Kota Mercedes

Bintang perak bersudut tiga itu tak henti berputar di puncak menara stasiun kereta api utama Stuttgart. Lambang Mercedes Benz itu jadi lambaian selamat datang bagi setiap orang yang datang ke sana lewat darat.

the New PalaceSemula saya bayangkan, Stuttgart adalah gemerlap kota modern dengan bangunan-bangunan kaca dan baja, lampu merkuri, dan jalan-jalan bersusun bersilangan. Maklum ibukota negara bagian Baden Wuerttemberg di Jerman selatan ini begitu lekat dengan nama-nama besar industri dunia: Mercedes Benz, Porsche, atau Bosch.

Dan setiba di sana, semua bayangan tentang gemerlap kota modern itu sirna belaka. Kota berpenduduk hampir 600.000 jiwa tepat di jantung Eropa ini bisa disebut desa besar berpagar pebukitan. Perumahan terserak dari lembah Neckar sampai bukit-bukit.

Kami melangkah keluar dari Stuttgart Hauptbahnhof dan langsung berhadapan dengan jalan dua lajur serta mal yang tidak lebih gemerlap dari Mal Ratu Indah di kota Makassar, nun di Sulawesi Selatan. Jalan ini menuju kawasan perumahan khas Eropa yang tua dan kokoh di kiri-kanannya. Di pelataran stasiun, puluhan taksi sedan berwarna beige mengantri rapi menanti pengunjung. Yang menyilaukan saya adalah: taksi-taksi itu kebanyakan sedan bermerek Mercedes Benz seri E keluaran terbaru.

Tepat di sudut mal, ada pusat informasi wisata. Tapi bagi yang tidak berbahasa Jerman, tak perlu berharap banyak. Informasi wisata kota Stuttgart sangat minim dalam bahasa Inggris. Hanya ada satu dua selebaran berbahasa Inggris tentang pertunjukan kabaret atau teater musim panas. Selebihnya bahasa Jerman belaka.

Dari sana, melewati sisi kanan mal, adalah kawasan pejalan kaki dan juga para pebelanja, Konigstrasse. Jalan lebar dengan pertokoan yang ramai berujung di titik kota Stuttgart, dengan istananya yang megah: Neues Schloss dan pelatarannya yang luas, Schlossplatz. Di tengah-tengah pelataran menjulang tugu Jubilee. Di pelataran ini, pandangan ke pebukitan yang mengelilingi Stuttgart terasa leluasa.

Puluhan wisatawan tampak menikmati sinar matahari musim panas dengan berbaring di rerumputan, berfoto dengan latar istana, atau sekadar mondar-mandir memandangi istana. Di samping kanan istana juga ada pelataran bunga dengan danau kecil yang asri.

Istana dengan 365 kamar ini dibangun pada 1746. Karena itulah ia disebut Istana Baru. Istana Tua sendiri terletak di sisi kiri, di seberang jalan raya. Istana itu kini dijadikan museum. Bagi kota Stuttgart, Old Palace merupakan monumen sejarah kota itu sendiri. Maklum ia dibangun oleh bangsawan Duke Liudolf seribu tahun silam untuk melindungi peternakan kudanya. Dari Stutengarten (peternakan kuda) inilah, nama kota Stuttgart diambil seperti tampak pada lambang kota ini: kuda jantan yang tengah melonjak. Di istana ini pula, para penguasa Wuerttemberg pernah tinggal, sampai berpindah ke istana baru.

Kami mencoba mengitari kota ini dengan cara yang paling mudah. Naik bis kota yang asri sembarang nomer yang membawa saya berputar-putar, naik turun pebukitan dan kemudian di perhentian terakhir berpindah ke bis lain untuk kembali ke tempat semula. Bis bernomer 42 bahkan membawa kami ke sebuah pelataran puncak, tempat saya bisa memandang seluruh kota Stuttgart. Tempat tinggi yang paling terkenal di kota ini adalah Hoher Bopser, sebuah puncak bukit di ketinggian 500 meter di selatan kota, tempat menara televisi setinggi 217 meter berdiri. Menara televisi Stuttgart dari beton dan besi ini dibangun pada 1954 dan menjadi model acuan menara-menara televisi di seluruh dunia. Tidak heran jika melihat menara ini, saya langsung teringat pada menara Televisi Republik Indonesia (TVRI) di Senayan. Modelnya nyaris sama.

Jika melihat bangunan-bangunannya yang tidak terlihat kusam, kota Stuttgart terasa seperti kota baru. Tentu ada benarnya, karena pada Perang Dunia II, Stuttgart yang sebenarnya telah menjadi kota sejak seribu tahun silam, mengalami kehancuran oleh bom-bom tentara sekutu. Keterlibatan Jerman dalam perang membawa dampak yang sangat buruk. Pusat kota Stuttgart dihancurleburkan dalam 53 kali serangan udara besar-besaran oleh tentara Prancis dan Amerika sepanjang tahun 1939 sampai 1945.

the New Palace

Stuttgart dijadikan sasaran serbuan udara sekutu mengingat kota ini menjadi salah satu basis industri Jerman, tentu juga memasok mesin perang. Semenjak 1885 misalnya, di Stuttgart telah berdiri pabrik mesin Daimler, yang jadi cikal bakal Mercedes Benz. Pabrik itu telah berkembang pesat dan menjadi salah satu industri otomotif terbesar di dunia.

Letaknya di Unterturkheim, sebuah desa pinggiran Stuttgart. Kami ke desa ini beberapa hari setiba di Stuttgart. Dari pusat kota, dengan menumpang kereta lokal S-Bahn, Unterturkheim dicapai hanya dalam 20 menit. Tidak sulit menemukannya karena S-Bahn berhenti pula di Stasiun Gottlieb Daimler. Dari stasiun cukup berjalan kaki sekitar 200 meter sampai ke sebuah persimpangan tempat serombongan wisatawan juga telah menunggu bis penjemput yang akan membawa mereka ke Museum Mercedes Benz.

Seraya menunggu bis gratis ini, saya memandang takjub kendaraan-kendaraan mewah yang hilir mudik. Hampir seluruhnya bermerek Mercedes Benz. Beberapa di antaranya rupanya adalah kendaraan uji coba yang belum lagi dijual ke pasaran, depan dan belakangnya masih bertempelan lembaran plastik hitam. Di atas saya, terpampang dalam ukuran besar tulisan Daimler Chrysler Werk Unterturkheim. Di seberang persimpangan ini, sebuah gedung megah tengah dibangun. Itulah bakal kantor pusat baru Mercedes Benz yang akan rampung akhir tahun ini.

Di sekeliling museum adalah kantor sekaligus pabrik. Dari Unterturkheim inilah sebagian besar mesin dan komponen kendaraan Mercedes Benz dibuat kemudian dikirim untuk kemudian dirakit di pusat-pusat perakitan Mercedes di seluruh dunia.

Tak sampai satu kilometer dari kantor Mercedes, berdiri pula dengan megah Stadion Sepakbola Gottlieb Daimler milik Mercedes yang menjadi stadiun klub sepakbola Bundesliga, Stuttgart VfB. Bisa dipastikan, pada Piala Dunia 2006 nanti, Unterturkheim akan kebanjiran para penggila bola. Sejumlah pertandingan Piala Dunia 2006 akan dilangsungkan di sini.

Pabrik dan stadion menjadikan Mercedes jadi identik pula dengan kota Stuttgart. Mungkin itu sebabnya, Stuttgart menempatkan Gottlieb Daimler (1834-1900) sebagai satu dari empat warga terbaiknya. Tiga lainnya adalah industriawan Robert Bosch, penyair Friedrigh Schiller dan sang filsuf terkenal, Georg Friedrich Wilhelm Hegel (1770-1831). Nama-nama mereka diabadikan di berbagai tempat penting. Rumah kelahiran Hegel di tikungan Jalan Eber Hardstrasse nomer 53 bahkan kini dijadikan museum. Di dalamnya dipamerkan barang-barang asli sang filsuf, karya-karya dan tulisan tangannya.

Begitulah. Beberapa hari menikmati kota Stuttgart, tampak benar kota ini telah bangkit dari luluh-lantak Perang Dunia II. Bahkan bekas-bekas reruntuhannya pun nyaris tak bersisa lagi. Sejauh ini, selain di museum, saya hanya sempat melihat sebuah rumah warga di keheningan desa kecil Esslingen di pinggiran Stuttgart yang pada singkap depannya bertuliskan keterangan: bekas kamar gas.

Selebihnya, Stuttgart adalah kota dengan pesona yang mengikat. Dalam catatan resmi pemerintah setempat, pengunjung yang datang lewat bandar udara Stuttgart sekitar delapan juta orang setiap tahun. Tentu lebih banyak lagi yang datang lewat darat, dari arah Perancis, Belgia atau kota-kota lain Jerman.

Puncak kunjungan wisatawan ke kota ini adalah di musim panas. Apalagi, di bulan Agustus setiap tahunnya, Stuttgart menggelar Festival Anggur yang menghadirkan 250 ragam anggur terbaik produksi lokal. Sayang sekali, kami tak bisa tinggal lebih lama untuk menyaksikan acara ini.

Sebelum meninggalkan Stuttgart siang itu, saya masih sempat melempar pandang ke arah bintang perak bersudut tiga di puncak menara stasiun. Kali ini, bintang Mercedes itu terasa seperti lambaian selamat jalan.

Wednesday, July 07, 2004

Ke Jerman, Berkereta di Ladang Gandum

Kereta ini sembilan gerbong, dan kami ada di gerbong kelima. Di tengah gerimis yang membasahi Paris kereta ini meninggalkan Stasiun Gare de L'est menuju ke timur.
 

LouvreKereta berderak, tak ada pemeriksaan apa-apa. Inilah salah satu perjalanan terindah yang kami jalani. Enam jam berkereta menuju  Stuttgart adalah enam jam perjalanan tanpa memejamkan mata. Saya duduk dekat jendela, Karin di tengah.
 
Kereta berderak melewati desa-desa kecil, membelah ladang-ladang gandum yang terserak di sela-sela hutan lindung, peternakan sapi, domba juga danau-danau kecil. Di pertengahan musim panas ini, gandum-gandum tengah siap panen, sebagian bahkan sudah dipetik. Peladangan itu membentang luas hingga ke kaki bukit di kejauhan. Warnanya kuning emas tertimpa terik matahari. Seperti ladang kencana dalam dongeng-dongeng masa kecil.
 
Satu dua rumah penduduk dengan kastil menjulang di tengahnya, tampak seperti terselip di tengah ladang-ladang gandum ini. Kian ke timur, kian matang gandum-gandum ini. Di sebagian tempat malah sudah dipanen. Merangnya digulung, seperti roda pedati raksasa yang berwarna keemasan.
 
Ketika tiga jam kemudian kereta berhenti di Nancy, saya baru sadar, ini masih kawasan Perancis. Sekilas saya memandang kota ini, kota yang seperti karib di telinga saya, tapi tak kunjung saya jejaki. Nancy berada di areal pemukiman tidak rata dari bukit ke lembah.
 
Lalu kereta berjalan lagi. Ladang-ladang gandum telah jarang. Tapi kini, kereta meliuk-liuk di daerah pegunungan. Setelah kota Saverne, yang tampak adalah hutan dan pegunungan. Kereta keluar masuk terowongan menembus perut gunung.
 
Pada sebuah stasiun kecil, saya membaca nama desa kecil itu: Mommenheim. Kereta ini telah masuk ke wilayah Jerman. Dan benar, 15 menit kemudian, kereta ini berhenti di kota Strasbourg. Dan setelah itu, kota-kota Kohl, Baden-Baden, Karlsruhe, Bruchsal. Menjelang petang, meski matahari musim panas masih bersinar dengan teriknya, kami tiba di stasiun Stuttgart. Ya, tepatnya: Stuttgart Hauptbahnhof.
 
Tulisan-tulisan berbahasa Jerman sungguh tak kumengerti sama sekali. Dan bahkan lelaki di bagian informasi stasiun pun tak bisa berbahasa Inggris. Jadilah bahasa purba -- bahasa isyarat dengan satu dua kata -- jadi pengantar. Tapi kota Mercedes ini sungguh menggoda. Maka sejak detik itu, kunikmati saja kota ini. Esok hari, akan kuceritakan tentang Stuttgart dengan segenap pesonanya.
 
(terima kasih untuk Mas Kalis dan Mbak Iin sekeluarga atas tumpangan apartemennya yang asri di Esslingen)

Sunday, July 04, 2004

Rintik di Kaki Eiffel

Hujan mengguyur Paris sepanjang hari ini. Puncak menara Eiffel samar dalam awan dan cahaya redup matahari. Saya tidak tahu ini masih disebut pagi, sepanjang musim panas matahari telah bersinar terang sejak sebelum pukul lima dinihari. Malam juga datang telat, baru gelap di atas pukul 10 malam.


EiffelKutempuh juga hujan-hujan kecil itu, rinai yang membasahi bahu bajuku. Kami turun di Stasiun Champ de Mars, stasiun terdekat ke Eiffel. Warga Paris mengenalnya sebagai Stasiun Tour Eiffel karena letaknya yang hanya 100 meter dari kaki menara landmark ibukota Perancis itu.

Di sana, di kaki menara, barisan manusia sudah berkelok-kelok. Hujan yang mengguyur kota tak menghalangi mereka, demi menjenguk pelataran atas dan memandang seluruh kota.

Setiap kaki menara seperti tungkai besi yang kukuh menginjak sebuah gedung. Di setiap kakinya ada elevator bersusun. Elevator itu membawa pengunjung ke puncak. Di kaki lainnya, ada tangga untuk mereka yang hendak menjejak pelataran pertama saja.

Tapi kami urung bergerombol dalam antrian. Bagaimana menikmati puncak Eiffel di tengah hujan seperti ini? Kami ke pelataran depan saja, sejauh 500 meter bersama orang-orang yang hendak berfoto berlatar menara. Ada tukang-tukang foto langsung jadi yang menawarkan jasa.

Dari Eiffel, kami kembali ke Champs Elysees Avenue, masuk satu dua toko busana, pameran mobil Perancis Peugeot yang menampilkan si garang Hoggart yang baru dijajal di gurun Afrika, lalu mengayun langkah ke arah Arc de Triomphe. Sungguh kunikmati berjalan di trotoar lebar ini, bergerak bersama ribuan pengunjung Paris yang tiada henti. Di seberang Arc de Triomphe, lagi-lagi saya takjub memandang tugu besar ini: sebuah bangunan raksasa yang mengangkangi jalan.

Saya selalu ingat bayangan tugu ini yang berpendar di malam hari. Televisi-televisi Indonesia menayangkannya berkali-kali ketika Perancis memenangkan Piala Dunia Sepakbola 1998. Sebuah spanduk raksasa dibentangkan di atasnya, menyambut Zinedine Zidane dan kawan-kawan. Saya kini berdiri di bawahnya. Bayangan sekelompok manusia dan kilat lampu kamera terlihat jauh di puncaknya.

Arc de Triomphe berdiri di tengah lingkaran jalan berbatu, seperti jalan kereta di zaman Romawi. Ia juga jadi titik pusat simpang 13 jalan ke seluruh penjuru Paris. Terutama kendaraan yang datang dari arah Champs Elysees yang hendak menuju Avenue de La Grande Armee dan terus Charles de Gaulle Avenue dengan menyeberangi Sungai Seine, akan mengitari tugu ini. Ada banyak tempat di Paris seperti ini. Entah mengapa kota Paris seperti kumpulan rumah-rumah di jalan-jalan yang bertemu di satu persimpangan. Ada persimpangan 10 jalan, 11, 12 dan ini yang terbanyak: 13 jalan.

Kami tak meneruskan langkah ke seberang. Berbalik, naik bis sembarang nomor menuju ujung Champs Elysees yang lain. Di sana ada Musee de Louvre, museum yang jadi rumah bagi Monalisa, lukisan terkenal Leonardo da Vinci. Senyum Monalisa telah memikat jutaan orang dari seluruh dunia dan datang ke Louvre.

>LouvreGerbang museum ini berupa bangunan kaca segitiga tepat di pelataran. Di bawah rintik hujan, ratusan orang juga tampak masih setia mengantri, berkelok-kelok. Paviliun-paviliun bangunan museum berdiri megah mengitari pelataran dalam kemegahan yang menyilaukan. Lagi-lagi, kami memutuskan untuk menikmati Louvre dari luar saja, seperti ratusan orang lain yang duduk-duduk saja di pelataran.

Menjelang sore, kami kembali menyusuri jalur kereta itu, ke Val de Fontanay. Hari ini final Euro 2004. Teramat sayang untuk dilewatkan.

Saturday, July 03, 2004

Lelaki di Val de Fontenay

Ia telah menunggu di bangku tengah Stasiun Val de Fontenay ketika kereta kami tiba. Saya segera mengenalnya, wajah lelaki 70 tahun yang saya kenal pertama kali di Jakarta, setahun silam. "Baru 20 menit kok," katanya ramah. Sobron Aidit, lelaki tua ini tak berubah banyak meski pada wajahnya ada gurat letih. Ia agak gemuk, tapi masih menyisakan kegagahan masa lalu. Ia masih mengingat pertemuan kami -- bersama Karin dan Jajang Pamuncak -- di Jamz Pub, Jakarta.

Sobron AiditDan kini, di sebuah stasiun di timur kota Paris, kami bertemu lagi. Dari London saya menyeberang ke Eropa daratan ini dengan kereta Eurostar yang melewati terowongan bawah laut yang terkenal itu: Euro Tunnel. "Sehat Om?" dia tertawa, ramah sekali. Saya memanggilnya Om, seperti panggilan Karin yang pernah mengunjunginya di Paris, beberapa tahun silam.

Kami berjalan keluar stasiun, menuju halte bis. Udara Paris musim panas sedikit menggerahkan. Sobron membuka jaket. Tak lama kemudian, bis bernomor 124 pun datang. Kami berebut dengan sejumlah orang Afrika yang berjubah warna-warni. Hanya dua kelokan, dan apartemen Sobron di kaki bukit itu telah tampak.

Ia sendirian di apartemen ini, 15 Rue Guynemer, Fontenay Sous Bois. "Ini rumah pembagian untuk pensiunan," katanya. Dua anaknya, tinggal di Amsterdam. Maka dalam sebulan, ia selalu bepergian di antara dua negara itu: Belanda dan Perancis. Apartemen Sobron terbilang sederhana. Di ruang tamu, ada rak buku dengan novel-novel lama berderet di atasnya: Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, Umar Kayyam, Seno Gumira Ajidarma, juga buku-buku berhuruf Mandarin. Sekilas saya menangkap kerinduan Sobron pada tanah airnya, Indonesia. Saya menarik sebuah novel tipis. Penulisnya Paula Gomes, warga negara Belanda beribu Jawa. Sudahlah, Biarkan Saja, begitu judul novel ini, yang bercerita tentang kerinduan Paula pada Indonesia, tempat lahirnya.

Saya mengabarkan meninggalnya sastrawan Mochtar Lubis dan bekas Perdana Menteri Soebandrio, Jumat 2 Juli lalu. Kabar yang juga saya baca di media online tanah air. "O ya?" hanya itu reaksinya. Tak kelihatan ia merenung-renung. Ia tidak terkejut. "Mereka sudah tua ya."

Tapi ia bercerita juga tentang Soebandrio. Alkisah, saat pengadilan militer menjatuhkan hukuman mati atas gembong G30S/PKI, Letnan Kolonel Untung, Soebandrio sempat mengucapkan salam padanya. "Sampai ketemu di sana ya," kata Soebandrio kepada Untung. Ia juga dihukum mati. Beruntung bagi Soebandrio, Presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter dan Ratu Belanda, Elizabeth berkirim surat ke Suharto, meminta tokoh ini tidak dihukum mati.

Menjelang makan siang ia juga bercerita tentang kakak kandungnya, DN Aidit. "Usia kami terpaut 11 tahun. Ahmad itu anak didik Bung Hatta yang paling disayang," kata Sobron. Ia menyebut DN Aidit sebagai Ahmad. "Itu nama aslinya, Ahmad Aidit. Nama Dipa Nusantara Aidit itu baru muncul setelah ia mengirim proposal ke ayah. Itu alasan politik saja," katanya seraya tertawa.

Menjelang sore di apartemen Val de Fontanay. Di ruang tamu, lagi-lagi saya menatap foto hitam putih berbingkai kayu di atas lemari, foto Sobron muda bersama mendiang istri dan dua anaknya. "Itu foto di Peking tahun 1964. Sudah 40 tahun," katanya.

Sobron berada di Peking (sekarang Beijing) ketika pecah peristiwa 11 September 1965. Ia menjadi profesor ilmu-ilmu tentang Indonesia di sana. Kakaknya, DN Aidit, tewas tertembak di Boyolali. "Untung saya di Peking, kalau tidak, saya tertembak atau dibuang juga ke Pulau Buru," katanya. Sejak itu, ia tak pulang lagi. Ia kemudian pindah ke Perancis 23 tahun silam. beruntung, ia segera mendapat hak kewarganegaraan, juga membuka restoran Indonesia yang laris di kawasan Luxembourg, pusat kota Paris.

Di masa orde Baru, ia tetap menulis ke media-media di Indonesia dan di mana-mana dengan nama samaran. "Saya punya 25 nama samaran selama 32 tahun," katanya tertawa. Dengan paspor Perancis ia juga sudah beberapa kali berkunjung ke Jakarta. Sobron kerap menerima tamu orang Indonesia, wajah-wajah yang memuaskan kerinduannya ke tanah airnya itu. Juga saya yang datang dari kota London.

Sore itu, ia melepas kami yang hendak berpesiar ke pusat kota Paris. benar kata Sobron, tidak sulit menjelajah kota ini bagi mereka yang telah terbiasa bepergian di kota London. Kereta bawah tanah Paris, Metro mirip dengan Tube di kota London. Bedanya, Metro juga adalah kereta api permukaan yang di banyak jalur menyelam ke kedalaman bumi.


Arc de Triomphe di ujung Champs ElyseesSaya menikmati matahari senja kota Paris dengan menyusuri Champs Elysees dari ujung ke ujung, berjalan kaki perlahan-lahan dari arah Musee du Louvre ke ujungnya yang lain di tempat Arc de Triomphe kokoh berdiri menantang angkasa. Permukaan bata Champs Elysees mengingatkan saya pada cerita Alexander Dumas tentang Count of Monte Cristo. Di atas jalan inilah, berabad silam, roda kereta berkuda sang pelaut berderak menjemput Mercedes, sang kekasih, juga mencari lawan-lawan lamanya.

Malam telah turun ketika kami tiba di stasiun Invalides, berkereta bawah tanah menuju Chatelet Les Halles dan berganti kereta menuju Val de Fontenay. Di sana, Sobron Aidit telah menunggu kami dengan ramah, bercerita panjang dan melanjutkan mimpi tentang Indonesia.

Sunday, June 27, 2004

Keseleo Kaki Bintang

Hingar bingar Euro 2004 berhenti di seluruh Inggris ketika David Beckham dan kawan-kawan mengepak koper untuk pulang. Segenap gegap gempita itu hanya sampai detik terakhir drama adu pinalti Inggris lawan tuan rumah Portugal di perempat final Kamis lalu. Setelah itu, segenap rutinitas kembali seperti biasa.

Padahal, baru beberapa hari sebelumnya segenap toko busana seperti menggelar bazaar pakaian bertuliskan England dengan gambar bendera putih bersilang merah. Juga dua macam kaos resmi tim nasional Inggris yang tak murah, laris bak kentang goreng, terutama untuk nomor punggung 7 milik sang kapten, David Beckham dan nomor 9 punya si bongsor Rooney. Petak-petak depan koran Inggris seperti iklan bagi busana-busana resmi itu.

Tapi turnamen itu telah berhenti kini. Tak terlihat lagi orang-orang bergegas ke bar atau pulang ke rumah menjelang kick-off pukul 5 atau 7.45 sore menyaksikan bal-balan British berlaga di layar televisi. Berita terakhir yang saya baca hanya menyebutkan, tulang jari kaki Rooney keseleo dan membutuhkan masa istirahat selama sebulan. Kaos putih tim Inggris yang saya beli di Lilywhites belum lagi terpercik peluh karena tim ini keburu terjungkal.

Membaca koran-koran Inggris, terasa benar betapa di negeri ini media begitu mudah memuja seorang bintang, tapi dalam sekejap juga bisa membantingnya ke dasar lumpur. Tak usahlah bercerita tentang Beckham yang dianggap biang kegagalan tim. Sebuah media pernah menyebutnya "wajah paling dikenal di dunia setelah Yesus". Tapi wajahnya kini jadi bahan olok-olok para kartunis dengan aneka ekspresi.

Lalu Rooney, ia sempat mengecap puja-puji. Tiga hari wajah dan ekspresi girangnya menyita sampul depan seluruh koran Inggris ketika tampil gemilang mencetak empat gol ke gawang Swiss dan Latvia di babak awal. Media-media Inggris sepakat menyebutnya "the new Pele", julukan yang mengundang tawa pelatih Portugal asal Brazil, Luis Felipe Scolari. "Pele itu tidak dilahirkan lagi dalam 1000 tahun. Bahkan tidak akan ditemui dalam game komputer sekali pun," kata Scolari sinis.

Benar, setelah kekalahan Inggris, nama Rooney tak kerap lagi disebut. Pemain Everton di kota Liverpool ini hanya dikabarkan harus istirahat sebulan.

Dan turnamen Euro 2004 pun berhenti di Inggris, kendati siaran langsung seluruh partai di kejuaraan besar ini tetap ditayangkan. Saya yang bukan penggila bola mulai menikmatinya. Setiap pukul 7.45, ketika matahari masih sedang terik-teriknya, saya sudah anteng di depan televisi. Saya menikmati saja semuanya, dan lebih banyak menggumamkan dukungan untuk tim-tim underdog, karena saya mungkin hanya bisa histeris jika Indonesia juga berlaga di tingkat dunia. Kenikmatan itu terasa lengkap tatkala Susilo, wartawan BBC London yang meliput babak awal Euro 2004 pulang dari Portugal dengan buah tangan dua kaos: Euro 2004 dan Hard Rock Cafe Lisbon.

Pada final Euro 2004, 4 Juli besok, saya akan berada di Paris. Tentu kaos Euro 2004 itu akan saya kenakan seraya mendukung tim kecil yang berlaga di final.

Wednesday, June 09, 2004

Harry Beck: Peta Tanpa Skala

Tak dapat saya bayangkan bepergian di kota London tanpa peta. Tentu terlewat-di-sana-bablas-di-sini. Tapi jangan bayangkan jarak geografis jika membaca peta transportasi kota ini. Peta ini tanpa skala dengan arah yang tidak sesuai lekuk liku permukaan bumi. Satu yang pasti: peta jalur transportasi telah menjadi salah satu ikon kota London!

Peta asli Harry BeckIa adalah pemandu yang sangat mudah dimengerti dan kini jadi acuan bagi kota-kota padat lalu-lintas seperti Paris, New York, Sydney bahkan Leningrad. Begitu sederhana, sampai terlihat hanya berupa garis aneka warna yang bersilangan di sana-sini. Setiap titik stasiun ditandai dengan lingkaran hitam. Tulisan di atasnya hanya berupa nama stasiun dengan nama jaringan pada catatan kakinya.

Pada mulanya, hanya kereta bawah tanah yang menggunakan peta ini. Adalah Harry Beck, seorang pekerja biasa di jawatan kereta bawah tanah yang gelisah melihat peta yang digunakan dari 1860 sampai 1930-an. Peta yang sesuai lokasi sebenarnya ini, di mata awam begitu rumit.

Padahal, Harry Beck tahu benar: jika sedang berkereta di bawah tanah, siapa gerangan yang sadar akan jarak? Orang hanya peduli pada lokasi stasiun dan persilangannya.

Maka di tahun 1933, di sela-sela waktunya sebagai tukang gambar paruh waktu, ia mendesain peta yang sekilas seperti pasta warna-warni. Setiap jalur ditandai warna tertentu. Jalur Bakerloo berwarna merah (kini jadi coklat), jalur Piccadilly berwarna biru tua, Metropolitan berwarna ungu, dan lain-lain.

Ia menciptakan peta dengan desain yang unik: meniru papan sirkuit elektronik atau dikenal sebagai PCB (Printed Circuit Board) itu, meski Beck sendiri tak pernah menyatakannya. Garis-garisnya bersilangan, tegak, lurus atau miring 45 derajat. Jawatan kereta bawah tanah tertarik dan mencobanya. Dicetaklah sejumlah peta dengan kolom komentar pemakai pada sampulnya.

Tak dinyana, peta ini sukses. Bahkan di kemudian hari, peta jalur kereta bawah tanah ini juga dibuat untuk jalur kereta listrik dan bis kota. Semua buku panduan wisata juga melampirkannya, dan di stasiun-stasiun serta tempat-tempat penjualan tiket, peta Harry Beck kini disediakan dengan cuma-cuma. Juga di semua dinding halte.

Kerap juga ada yang tak puas, bahkan di tahun 1960-an jawatan kereta api Inggris sendiri pernah mencoba menggantinya dengan model peta lain yang "skalanya lebih terpercaya". Tapi ternyata peta Beck tak tergantikan dan akhirnya dijadikan peta resmi transportasi kota ini.

Harry BeckHarry Beck meninggal di tahun 1974, tapi peta sirkuit bawah tanah yang ditinggalkannya tetap abadi. Karyanya itu juga diadopsi untuk jaringan transportasi lain seperti kereta dan bus kota di seluruh negara modern di dunia.

Sebuah laporan menyebutkan, diagram tak berskala itu dicetak 60 juta lembar setiap tahunnya. Tidak untuk jadi pedoman semata-mata, tapi diterakan di atas cenderamata, porselen, kartu pos atau kaus oblong bagi jutaan pengunjung London setiap hari. Bahkan seorang warga London merajah punggungnya dengan tattoo peta berwarna lengkap dengan nama stasiunnya!

Lebih dari itu, peta Harry Beck kini jadi salah satu ikon kota London. Bill Bryson, penulis petualang dalam buku reportasenya yang laris, Notes from a Small Island, menyebut peta transportasi London sebagai temuan peradaban paling menakjubkan.

Sayangnya, untuk pekerjaan membuat peta itu, Harry Beck hanya menerima bayaran 5 guineas (mata uang lama Inggris) atau senilai 5,25 poundsterling! Di luar itu, ia dihargai dengan sebuah plakat tentang pekerjaannya -- plakat yang kini terpasang di sebuah pojok Stasiun Finchley.

Saturday, June 05, 2004

Cleopatra

Di sayap barat British Museum sore itu saya menemukan perempuan ini -- perempuan yang telah berbaring dua milenium lamanya. Hanya lukisan wajah ayu pada dinding keranda di balik kaca yang memandu bayangan saya tentang wajah dan lekuk tubuhnya.

CleopatraPada Cleopatra, wanita yang jazadnya berlilitkan kafan kuno di British Museum ini, kecantikan itu seperti abadi – paling tidak dalam benak para pengunjung. Dialah nama yang kejelitaannya mengarungi zaman.

Tapi benarkah dia cantik?

Mumi Cleopatra di British Museum tiba di London sejak 1823. Ia digali dari sebuah komplek pemakaman kuno di Mesir. Ia adalah putri Candace, keturunan keluarga Soter di masa kekuasaan Romawi di bawah Raja Ramses II pada sekitar abad II Masehi. Jika dirujuk ke leluhurnya, ia masih berdarah Yunani. Muminya ditemukan utuh dalam peti mayat yang berlukiskan wajah dirinya. Sementara jazadnya berlilitkan kain kuno dari katun berwarna khaki. Bersamanya juga ditemukan seuntai kalung bermanik-manik dan sisir. Di dasar peti, ada lukisan dewi berkabung Mesir bersama seekor serigala yang memegang kunci pintu nirwana.

Tulisan kuno di dinding peti menyebut usia Cleopatra saat meninggal: 17 tahun, 1 bulan dan 25 hari, usia mekar perempuan pada zamannya. Tanpa membuka kafan, Princess Grace Hospital London kemudian menyingkap jazadnya lewat sinar-X. Perempuan ini masih memiliki kerangka yang utuh, sendi-sendinya masih saling bertautan dan mulutnya dalam keadaan setengah membuka. Beratnya, bersama lumpur yang membalsem tubuh, menjadi 75 kilogram.

Memandang mumi perempuan ayu ini, serta-merta pameo bijak yang tak lekang oleh zaman melintas di benak saya: bahwa kecantikan hanya sebatas kulit.

Jauh sebelum masa hidupnya, ada Cleopatra lain yang menjadi simbol kecantikan abadi. Dialah Cleopatra VII, putri Firaun yang lahir 69 tahun sebelum Masehi. Cleopatra yang ini berdarah Macedonia, Eropa tenggara. Di usia 17 tahun ia telah menjadi Ratu Mesir. Perempuan ini cerdas, bicara dalam sembilan bahasa, bersuara merdu dan lagaknya amat menggoda.

Tapi benarkah dia cantik?

Apapun faktanya, setelah menikahi saudaranya sendiri sesuai tradisi Mesir kuno, Ptolemy XIII yang masih berusia 12 tahun, Cleopatra kemudian jadi simbol kecantikan dunia sampai sekarang.

Setelah bercerai dengan suami yang mengkhianatinya, ia kemudian sempat menikah dengan dua lelaki legendaris sepanjang sejarah peradaban dunia. Pertama, dengan Kaisar Romawi, Julius Caesar yang menaklukkan Mesir. Saking gembiranya menaklukkan hati Cleopatra, sebuah kisah menyebutkan, mereka berbulan madu dengan berperahu di atas Sungai Nil selama dua bulan! Lalu Cleopatra hamil dan melahirkan Ptolemy XV yang berjuluk Little Caesar. Cleopatra juga sempat berkunjung ke Roma, pusat kekuasaan suaminya dan disambut penuh kebesaran. Ia tinggal di sana selama dua tahun.

Lalu kemudian ia menundukkan hati penguasa Romawi berikutnya yang tak kalah besarnya, Marcus Antonius. Dari pernikahan mereka lahir tiga anak, sepasang anak kembar Cleopatra Selene dan Alexander Helios, dan Ptolemy Philadelphus. Tiga anaknya di tahun 34 SM kemudian jadi penguasa di tiga tempat: Alexander Helios raja di Armenia, Cleopatra Selene jadi ratu Cyrenaica dan Crete, dan Ptolemy Philadelphus jadi raja Syria. Jadilah Cleopatra Queen of Kings.

Tapi benarkah mereka cantik?

Di atas koin kuno Mesir, wajah Cleopatra VII tercetak sebagai perempuan dengan hidung bengkok, kulit gelap dan garis wajah yang cenderung maskulin.

Zaman berganti, pandangan terhadap kecantikan tampaknya berubah pula. Tapi nama Cleopatra telanjur jadi simbol. Entah kalau mereka hidup di zaman kini, mungkin hanya seperti gadis tetangga yang berjalan menyusuri koridor sebuah pusat perbelanjaan di tengah gemerlap produk kecantikan modern. Hanya sesekali mereka mengundang lirikan.

Sunday, April 04, 2004

Raungan di Dinding Terowongan

Perempuan itu bergaun panjang dengan rambut pirang sebahu yang mengibas malam. Ia berdiri kesepian dan diam di pelataran Stasiun Aldwych, menanti kereta bawah tanah yang tak kan pernah berhenti. Para pekerja pembersih jaringan rel London Underground pun gempar. Mereka percaya, perempuan bergaun panjang dan jelita itu adalah roh gentayangan salah satu aktris teater Royal Strand.

TubeTeater ini memang hanya tinggal nama. Seratus tahun silam, gedungnya dijadikan Stasiun Aldwych, salah satu stasiun bawah tanah di jaringan Piccadilly Line, di antara Stasiun Holborn dan Covent Garden. Tapi kemudian, di tahun 1994, Stasiun Aldwych juga ditutup. Kereta-kereta bawah tanah hanya melintasinya -- penumpang sekilas menampaknya sebagai pelataran gelap di bawah tanah. Seiring dengan itu, cerita tentang hantu pirang bergaun panjang ini menyebar di kota London.

Tak jauh dari situ di antara Tottenham Court Road dan Holborn di jaringan Central Line, juga kerap muncul seorang lelaki bertopi tinggi dengan sebatang cerutu pada bibirnya. Ia terlihat sejak tahun 50-an. Warga sekitarnya percaya, ia adalah William Terriss yang tewas ditikam di tempat itu di bulan Desember 1897. Pelataran tempatnya itu adalah bekas Stasiun British Museum yang telah ditutup di tahun 1932.

Di bekas Stasiun Farringdon di Metropolitan Line juga sering terdengar suara tangisan perempuan yang menyayat hati dan menggema ke dinding-dinding terowongan. Suara itu dipercaya sebagai raungan Anne Naylor, remaja penjual topi yang terbunuh di usia 13 tahun pada 1758 di tempat itu. Penumpang kereta yang rutin melewati jalur ini kemudian menjulukinya the Screaming Spectre.

Ada banyak cerita tentang kemunculan atau suara-suara misterius di bawah tanah kota London. Pada umumnya terlihat di bekas-bekas stasiun yang ditutup dalam berbagai periode pembangunan jaringan rel kereta bawah tanah. Bekas-bekas stasiun ini pun, secara resmi disebut the Ghost Station.

Mereka yang kerap bepergian dengan Tube di kota ini pasti pernah melihat pelataran gelap tanpa manusia di balik terowongan di banyak tempat. Pelataran-pelataran itulah Stasiun Hantu, bekas stasiun yang tak lagi difungsikan. Di sepanjang 408 kilometer rel kereta bawah tanah di kota London terdapat 40 Stasiun Hantu, masing-masing dengan cerita di baliknya.

Entah benar, entah tidak. Yang jelas Stasiun Hantu memang sarat cerita: yang seram dan berbau dongeng, yang nyata dan misterius, juga kisah-kisah kolosal. Yang benar-benar terjadi adalah bahwa Tube menjadi lokasi paling favorit bagi mereka yang hendak bunuh diri. Jawatan kereta api London mencatat, paling tidak satu orang setiap pekan memilih Tube sebagai tempat untuk mengakhiri hidup. Ada yang dengan melompat ke rel begitu kereta lewat, menenggak racun, dan aneka cara untuk mati. Kecelakaan yang berakhir mengenaskan juga kerap terjadi nun di kedalaman tanah ini. Yang terburuk adalah kebakaran di Stasiun Kingís Cross pada 18 November 1987 yang menewaskan 31 orang.

Aneka kisah yang nyata maupun misterius ini juga memperkaya London Underground sebagai jaringan kereta bawah tanah tertua serta paling rumit di dunia. Ia tetap menjadi primadona bagi mereka yang hendak bepergian dengan cepat, ketimbang di permukaan bumi yang kian sesak oleh kendaraan.

Maka bisa dikatakan, di kota berpenduduk tujuh juta orang ini, geliat kehidupan terbentang di tiga lapisan bumi: di udara, di permukaan dan di bawah tanah. Ya, di balik kerak bumi kota ini ada kereta bawah tanah yang berjulur-bersilangan ke seluruh penjuru kota seperti labirin jalan tikus. London Underground atau Tube senantiasa memukau pengunjung kota ini -- tentu juga saya yang datang dari kota yang baru memulai tradisi berkendaraan tertib di busway.

London memiliki jaringan kereta bawah tanah sepanjang 408 kilometer dengan 275 stasiun. Setiap harinya, setidaknya ada 3 juta penumpang yang bepergian melewati labirin ini. Dalam waktu bersamaan pada jam-jam sibuk, di seluruh jaringan di kedalaman 20 sampai 50 meter ini, bisa terdapat 300.000 manusia -- jumlah yang kurang lebih sama dengan penduduk sebuah kabupaten di Indonesia.

Mereka yang datang lewat Bandar Udara Heathrow dan hendak menuju pusat kota London dengan kereta bawah tanah akan melalui Piccadilly Line. Jaringan ini melewati stasiun-stasiun seperti Leicester Square di sekitar pusat kehidupan malam London, Stasiun Knightsbridge tepat di sisi megatoko Harrods, atau Stasiun Covent Garden di kawasan primadona wisata yang paling dituju para pengunjung kota ini.

Di dalam kota, para pebelanja akan bepergian lewat Central Line, jaringan yang melewati stasiun-stasiun di pusat perbelanjaan kota London seperti Stasiun Oxford Circus di Oxford Street, Bond Street, atau Marble Arch. Wisatawan yang hendak ke Buckingham Palace atau Tower Bridge yang terkenal serta akan mengambil jaringan District & Circle Lines. Adapun Jubilee Line membawa mereka yang hendak ke Museum Madame Tussaud, atau ke London Eye dan London Bridge.

TubeTidak sulit menemukan stasiun-stasiun kereta bawah tanah London. Ikuti saja arah yang ditunjuk logo lingkaran merah dengan balok birunya yang khas dengan tulisan Underground di setiap pojok jalan, mengantri di loket tiket dan jangan lupa: cermati stasiun tujuan dan juga jaringan dengan seksama. Masuk ke stasiun, menuruni eskalator yang bisa bertingkat-tingkat sampai ke kedalaman tanah. Setiap stasiun memiliki kekhasan dan suasana sendiri. Satu yang seragam: seluruh stasiun sejuk, bersih dan resik, sebagian besar di antaranya dengan mosaik dan lukisan di dinding dengan citarasa estetika yang tinggi.

Pada kenyataannya, mereka yang tidak berasal dari kota-kota Moskow, Paris, Tokyo, atau New York ñ kota-kota yang juga memiliki jaringan kereta bawah tanah yang rumit -- perlu banyak bertanya atau dipandu ketika pertama kali bepergian lewat Tube.

Jaringan bawah tanah sudah ada di kota ini sejak 141 tahun silam, ketika jawatan kereta api Inggris meresmikan jaringan kereta bawah tanah antara Paddington dan Farringdon Street pada 10 Januari 1863. Sejak itu, seiring dengan perkembangan kota London, pemerintah Inggris tak henti-hentinya membangun jaringan baru. Eskalator juga dihadirkan pada 1911.

Karena letaknya yang berada di kedalaman tanah dan tidak mempan bom misalnya, di masa Perang Dunia II, Perdana Menteri Inggris yang legendaris, Winston Churchill menggunakan salah satu ruang di Stasiun Down Street -- yang kini telah tertutup -- sebagai tempat rapat bersama kabinetnya. Sebuah tempat di sepanjang Central Line juga dimanfaatkan sebagai pabrik pesawat. Bekas Stasiun Brompton Road juga pernah menjadi pusat kontrol anti serangan udara.

Tube yang mempesona toh tak membuat saya setiap hari berkelayapan di kedalaman bumi. Tentu bukan semata-mata karena harga tiketnya yang termahal di antara jenis angkutan umum lainnya. Tapi saya belum lagi menikmati keseluruhan pesona kota ini. Dengan bis kota nan resik, tak puas-puasnya saya memandangi bangunan-bangunan tua kota yang masih terpelihara, taman-taman luas yang asri, dan hilir mudik kapal di sepanjang Sungai Thames.

Dan juga, saya tak harus kuatir bertemu hantu bertopi tinggi atau mendengar raungan menyayat hati yang bergema di perut bumi.

Wednesday, March 03, 2004

Menjadi Raksasa di Bekonscot

Saya menjadi makhluk menjulang tinggi di Bekonscot. Di sana, saya bisa berdiri mengangkangi rumah, melompati sebuah bandar udara dengan hanggar dan pesawat-pesawatnya, juga mengayun tungkai melintasi danau. Ini bukan impian, karena saya berada di Bekonscot Model Village, sebuah miniatur desa di Beaconsfield.

bekonscotLetaknya di Warwick Road, di balik deretan rumah-rumah warga kota Beaconsfield. Kota ini masuk dalam kawasan Buckinghamshire, sekitar satu jam perjalanan darat dari London. Ke sanalah lebih dari 200.000 wisatawan dari berbagai penjuru dunia berkunjung setiap tahunnya. Mereka datang untuk menjadi raksasa.

Juga saya yang datang bersama istri, dan kerabat yang baik: Miya dan Mimi.

Sebuah gerbong kereta bekas menjadi pos pengambilan tiket dan toko cinderamata di depan gerbang masuk Bekonscot. Begitu melangkahi gerbang, kawasan seluas 3.715 meter persegi itu pun terpampang menakjubkam. Semuanya dalam ukuran mini, rumah-rumah hanya setinggi paha orang dewasa.

Menyusuri jalan setapak selebar satu meter, yang tampak pertama kali adalah kebun binatang dengan bebatuan, hutan buatan, telaga dan binatang tiruan dalam aneka gaya. Ada unta, gajah, zebra, burung-burung pinguin, beruang kutub, juga buaya. Anak-anak kecil tampak menyandarkan dada di pagar pembatas sembari menunjuk-nunjuk aneka satwa mini di hamparan rumput di dalamnya.

Dari kebun binatang, jalan akan membelah perkampungan dengan rumah-rumah tua berderet, model rumah zaman Tudor dengan menara asapnya yang khas, atau deretan toko zaman dulu. Sesekali, tampak kereta melintas di rel ganda yang terentang di belakang deretan rumah ini.

Selewat perumahan, jalan menyusuri kaki pebukitan, melintasi stasiun kereta listrik dan kemudian gardu kontrol. Gardu ini adalah satu-satunya bangunan berukuran besar di Bekonscot, karena di dalamnya tersimpan segenap perangkat elektronik yang mengatur gerak laju kereta, lampu, asap pemadam kebakaran dan juga aliran air. Seorang petugas Bekonscot tampak mengamati diagram perjalanan kereta-kereta yang tengah mengelilingi desa liliput ini.

Jalan kecil beraspal akan membawa pengunjung melintasi bandara dan danau tiruan dengan jembatan besi Alexandra Bridge terentang di atasnya yang menjadi jalur rel ganda kereta. Alexandra Bridge ini konon tiruan atas sebuah jembatan besi nun di Australia.

Di sebuah pojok taman, ada bangunan beratap merah yang merupakan miniatur rumah Enid Blyton. Pengarang cerita anak terkenal ini rupanya pernah tinggal di Beaconsfield dan di masa hidupnya (1897-1968) kerap datang ke Bekonscot demi mencari ilham untuk bukunya The Enchanted Village. Untuk mengenangnya, bertepatan dengan peringatan seabad kelahiran Enid Blyton, di tahun 1997, pengelola Bekonscot membangun replika rumahnya.

Di luar bentuknya yang mini, Bekonscot nyaris sebuah kampung yang normal. Ada replika Wichwood Castle, salah satu benteng tertua di Inggris, gereja, kincir angin, taman fantasi anak, stadion dan lapangan sepakbola dan kriket, bahkan tambang batu-bara. Juga ada atraksi "kebakaran" di sebuah rumah beratap ilalang dengan petugas pemadam yang tengah memanjat tangga untuk memadamkan amukan api. Sekitar 3.000 pohon bonsai yang tumbuh dengan terawat dan rapi ditempatkan persis seperti layaknya pohon-pohon besar di sebuah desa.

Melihat aneka bangunan dan obyek di dalamnya, Bekonscot adalah gambaran sebuah desa di Inggris di tahun 1930-an yang terdiri atas kampung-kampung. Ada kampung Greenhaily dengan kebun binatang, kincir angin, puri dan lapangan kriket. Bekonscot sendiri sebagai pusat kota memiliki sebuah bioskop, pasar, kincir air dan pelabuhan. Di selatan ada kampung Southpool yang memiliki kolam pemancingan lengkap dengan pelabuhan dan pengisian bahan bakar. Agak di pinggir ada Hanton dengan lapangan terbang perintis, lahan pertanian, pasar malam, dan rumah model Enid Blyton. Lalu Splashynge yang menjadi lokasi pasar, pantai dan jembatan Sydney. Terakhir, ada kampung Evenlode yang memiliki stadion sepakbola, kanal, pacuan kuda dan tambang batubara.

Bekonscot adalah taman mini tertua di antara 16 taman serupa di seluruh dunia. Ia dimulai dari kegemaran Roland Callingham akan model-model mini. Roland, seorang akuntan, pindah ke Beaconsfield dari Ascot di tahun 1910. Pada mulanya, ia membeli sepetak tanah dekat rumahnya untuk taman tempat ia menjamu tamu dan di sudutnya ia membuat lapangan tenis serta kolam renang kecil.

Untuk memperindah taman ini, ia membangun tiruan rumah-rumah di zaman itu di pinggirnya. Ternyata, ia menikmati rumah-rumah skala kecil ini. Diubahnya kolam renang tadi menjadi danau tiruan dan ditambahkannya jalan di sana-sini. Jadilah sebuah desa liliput. Ia memberi nama taman itu Bekonscot yang ia ambil dari nama Beaconsfield dan Ascot, dua kota yang pernah ia tinggali.

Belakangan, Roland kemudian mengerjakannya dengan serius. Seorang kawannya, James Shilcock kemudian menambahkan tiruan jalur kereta api mengelilingi taman. Pekerjaan itu memakan waktu sepanjang musim panas. Panjang rel ganda mengelilingi Bekonscot tidak tanggung-tanggung: 455 meter dengan tujuh stasiun. Semuanya bekerja seperti aslinya, di sana-sini ada persilangan seperti rel yang sebenarnya, ada terowongan menembus perut gunung, juga ada rel yang melayang di atas jembatan yang melintasi danau. Setiap kereta digerakkan dengan tenaga listrik 28 volts. Ada tujuh sampai 10 kereta yang bisa berjalan bersamaan berkeliling desa. Kereta-kereta di Bekonscot setiap tahunnya menempuh jarak 25.000 kilometer mengelilingi taman -- jarak yang jika diluruskan melebihi satu putaran permukaan bumi.

Roland mulai membuka tamannya untuk umum di tahun 1929. Pengunjung tak dipungut bayaran sama sekali. Ia hanya meletakkan sebuah kotak derma yang hasilnya untuk disumbangkan ke yayasan amal. Tapi pengelolaan Bekonscot yang profesional membutuhkan biaya juga. Maka tiga tahun kemudian, pengunjung taman mini ini pun dipungut bayaran.

Tak dinyana, pengunjung Bekonscot membludak dari seluruh penjuru Inggris. Termasuk keluarga kerajaan. Di tahun 1934, Putri Elizabeth (kini Ratu Elizabeth II) diantar ibunya merayakan ulang tahun yang kedelapan di Bekonscot. Dua tahun kemudian, Raja George VI berkenan datang pula ke taman ini, dipandu Roland Callingham.

Tahun ini adalah perayaan 75 tahun dibukanya Bekonscot. Dalam catatan pengelola taman, semenjak dibukanya pada tiga perempat abad silam, Bekonscot sudah dikunjungi lebih dari 13 juta pengunjung dari seluruh penjuru dunia.

Daya tarik Bekonscot rupanya membuat banyak negara lain membangun taman mini pula. Saat ini, di luar Bekonscot, sudah berdiri pula 15 taman mini lain di berbagai negara. Salah satu yang terkenal adalah Madurodam di Scheveningen, negeri Belanda.

Terima kasih untuk Miya dan Mimi yang telah berkenan mengantar kami menikmati Bekonscot, menjadi raksasa di negeri liliput ini.

Friday, February 27, 2004

Makanan Penjudi

Lidah Melayu saya tak biasa mengecap sandwich. Tapi tinggal di Eropa memaksa saya untuk sesekali melahap roti tawar berlapiskan daging, keju dan aneka sayuran itu. Ia banyak dijajakan di rak-rak makanan dalam jangkauan tangan dan saku. Maka bila perut melilit, kucicip juga makanan ini dengan mata setengah terpicing.

Ada yang menyebut jenis makanan ini sudah muncul sejak abad pertama sebagai makanan para rabbi Yahudi. Tapi belakangan saya tahu, sandwich memang dari Inggris. Ia diambil dari nama sebuah kota kecil bernama Sandwich di daerah Kent, tak jauh dari London. Dulunya, kota kecil ini adalah sebuah kerajaan. Nama Sandwich sendiri, kata para sejarawan, berasal dari bahasa Saxon berarti sandy place, karena kota ini berada di bibir pantai berpasir.

Di sana ada Restoran Londonís Beef Steak Club, rumah makan dan tempat berjudi yang pertama kalinya menyajikan menu roti berlapis daging, keju dan aneka pilihan sayuran di dalamnya. Sandwich adalah kreasi seorang koki restoran ini untuk John Montague, bangsawan yang hidup di tahun 1718-1792.

Montague seorang penjudi kelas kakap. Ia bisa menghabiskan berjam-jam bertaruh di meja judi di restoran ini -- lupa pulang, lupa segalanya, bahkan ia enggan bangkit untuk sekadar bersantap malam. Akhirnya, pada suatu hari di tahun 1762, Montague yang tak mau meninggalkan kursi panasnya minta dibuatkan makanan berupa roti berlapiskan daging yang bisa ia kunyah sembari melempar kartu. Esoknya, ia memesan makanan yang sama. Akhirnya koki restoran menjadikan makanan ini menu khusus buat sang bangsawan.

Para penjudi kakap lain yang sama parahnya juga memesan makanan yang dengan sikap takzim mereka sebut: "seperti makanan yang dikunyah penguasa Sandwich". Lama kelamaan, berjudi sampai lupa waktu dan makan daging dalam lapisan roti dengan bangga mereka sebut Sandwich Style. Lalu seiring dengan perjalanan waktu, jenis makanan ini hanya disingkat sandwich saja.

Tujuh puluh tahun kemudian, Elizabeth Leslie, seorang penulis buku kuliner di Amerika, menerbitkan buku menu masakan, salah satunya tentang sandwich. Makanan ini kemudian popular di Amerika terutama di kalangan pekerja dan anak-anak sekolah karena kemudahan meraciknya. Apalagi kemudian di awal abad 20, roti iris tawar untuk sandwich sudah banyak dijual, membawa jenis makanan ini pada puncak popularitasnya.

Kini, sandwich jadi makanan umum dengan banyak varian dan rasa. Salah satu turunannya yang terkenal adalah hamburger. Satu yang pasti, ia tak kunjung bersahabat dengan lidahku -- lidah yang biasa berpedas-pedas dengan sambal, berasin-asin dengan ikan kering, dan berdecap-decap oleh kuah berlemak.

Friday, February 13, 2004

Bocah Lelaki di Taman Kensington

Sudah hampir seabad lamanya ia berdiri beralaskan perunggu, dengan tubuh sedikit memilin ke kiri dan sebelah tangan memegang tongkat kecil bercabang. Sekujur tubuh dan busananya berwarna legam. Anak-anak bermain di kakinya sembari merenda angan-angan tentang sebuah negeri antah-berantah bernama Neverland.

Peter PanDi pinggir danau The Serpentine yang membelah Kensington Garden, Minggu sore itu, saya bertemu dengannya: Peter Pan, jiwa lelaki yang selamanya bersemayam di tubuh anak-anak. Dalam kisah J.M. Barrie (1860-1937), dialah bocah kecil yang tak kunjung dewasa. Ia tinggal di Neverland. Ia tak sendiri di sana, ada sahabat-sahabatnya Wendy, John, Michael dan juga peri baik hati Tinkerbell. Tapi ia punya musuh abadi, si bajak laut serakah Kapten Hook.

Peter Pan di taman Kensington memang hanya sebuah patung pahat perunggu, tapi tentu semua anak di dunia mengenalnya dalam cerita J.M. Barrie tadi, The Adventures of Peter Pan. Maka ribuan anak berkunjung ke sana setiap tahun.

Patung pahatan Sir George Frampton ini, disumbangkan Barrie sendiri pada awal Mei 1912. Barrie sendiri ikut menyaksikan peletakan patung yang dikebut dalam semalam, agar esok harinya, anak-anak yang berkunjung ke Kensington Garden mengira Peter Pan sendiri yang muncul dengan ajaib dan membatu di situ.

Patung Peter Pan ditempatkan di tengah taman, tak jauh dari Kensington Palace karena di sinilah cerita itu bermula. Syahdan, suatu hari di tahun 1904, Barrie yang tengah berjalan-jalan, bertemu lima bersaudara keluarga Llewellyn Davies. Mereka tampak muram, maka Barrie berdongeng tentang seorang anak yang tak pernah dewasa. Keluarga Davies itulah yang pertama mendengar cerita tentang Peter Pan.

Cerita itu tak datang begitu saja, tapi dari sebuah kisah pedih Barrie sendiri. Seorang saudaranya meninggal di usia 14 tahun. Ia mengabadikan kenangan itu dan menjadikannya nyata dalam cerita tentang bocah yang tak kunjung dewasa.

Kisah ini amat disukai anak-anak, bahkan juga orang dewasa. Megabintang pop Michael Jackson salah satu di antaranya. Ia membangun istana megah dengan taman bermain untuk anak-anak di rumahnya di Beverly Hills, istana yang dengan bangga dinamainya Neverland Ranch. Sang bintang kerap mengandaikan dirinya sebagai Peter Pan yang bisa tidur berdempetan dengan bocah-bocah lain dalam sebuah kamar kecil di negeri impian Neverland. Boleh jadi, itulah yang terjadi di balik tuduhan pelecehan anak-anak bagi Jackson, hari-hari ini.

Kisah Peter Pan juga tampil dalam banyak film sejak 1924. Salah satunya adalah karya Steven Spielberg tentang Hook di tahun 1991. Film yang dibintangi Robin William, Dustin Hoffman, Julia Robert dan Bob Hoskins ini mendapat nominasi 5 Academy Award. Film terakhir tentang Peter Pan adalah animasi Walt Disney bertajuk Return to Neverland yang dibuat tahun 2002.

Selama tiga bulan sejak Desember 2003 lalu, Savoy Theater London juga menampilkan kisah Peter Pan. Saya tak berencana untuk menonton pertunjukan ini. Cukuplah ke tepi danau di tengah Kensington Garden, duduk di undakan batu di bawah Peter Pan seraya menikmati semilir angin danau, cerucut tupai, dan kepak sayap aneka burung.

Thursday, February 05, 2004

Karena Senyummu Sampai ke Victoria

Setiap kali engkau melangkahi ambang rumahmu, tersenyumlah dan jangan pernah berkerut muka. Dengan begitu, hanya senyummu --dan bukan kerut mukamu-- yang sampai ke Victoria.

Ruang Kontrol CCTVItu nasehatku untuk mereka yang bermukim di kota London. Di kota ini, di setiap jengkal kaki melangkah, ada kamera sirkuit (closed circuit television). Di balik kerimbunan pohon, di ujung kelok jalan, di atas bis, kereta dan tube, di depan kasir-kasir toko dan rumah makan.

Di seluruh Inggris, ada 4,3 juta kamera tersembunyi, sebagian besar di antaranya di kota London. Satu kamera untuk setiap 14 penduduk. Segenap gambar yang dihasilkan mata-mata elektronik ini, terekam, dan bisa terlihat di ruang kontrol besar -- salah satunya di sebuah pojok Stasiun Victoria di Central London.

Bisa dibayangkan adegan ini sehari penuh: saya, melangkah menyusuri Ronver Road, berdiri di halte Baring Road menunggu bis ke New Cross. Mungkin saya singgah di perpustakaan, menggesek kartu di pintu depan, lalu keluar lagi. Hari masih siang, belum saatnya untuk pulang. Saya akan berdiri di halte New Cross Road menunggu bis gandeng yang resik untuk menuju Central London. Berputar-putar, keluar masuk museum dan toko serba ada, singgah di China Town, lalu hari beranjak petang. Agar tak terlalu menyita waktu, saya menuju Stasiun Charing Cross, dan berkereta sampai ke Stasiun Lee, 500 meter dari rumah. Saya pun berjalan pulang.

Seluruh adegan itu adalah sebuah film tak resmi. Di ujung Ronver Road, di halte, di perpustakaan, di atas bis gandeng, di museum dan toko serba ada, di China Town, di stasiun --ada kamera mengintai dan merekam jejak saya. Ada yang memperkirakan bahwa untuk sebuah kegiatan penuh dalam sehari, seorang yang tinggal di London akan terekam dalam 300 kamera berbeda di berbagai tempat yang didatanginya. Jika setiap kamera merekam gambar dalam durasi satu menit, maka setiap hari, ada film dengan aktor Melayu seperti saya dalam film sepanjang 5 jam!

Karena itulah, di sepanjang hari, saya harus menjaga senyum tetap tersungging --karena senyuman saya akan sampai ke Victoria.

Mengapa begitu banyak kamera? Ya, keamanan. Kota ini sungguh memendam ketakutan berlebihan pada teror, pada kejahatan jalanan. Professor Clive Norris, wakil direktur Pusat Riset Kriminologi di Sheffield University menyebut Inggris sebagai "negara paling terawasi di dunia". Tak sejengkal tanah lepas dari mata-mata elektronik itu.

Kamera sirkuit sebenarnya sudah ada di Inggris pada 1950. Tapi selama puluhan tahun pemakaiannya masih terbatas untuk mengawasi lalu-lintas di kota-kota di Inggris, dan dalam jumlah kecil dipasang di tempat-tempat penting seperti instansi militer dan bank. Pada bulan Agustus 1993, sebuah bom diledakkan di Bishopgate London oleh pemberontak Irlandia Utara, memaksa pemerintah Inggris membentuk Lingkaran Baja di sekitar kota London. Lingkaran Baja ini termasuk di dalamnya penerapan penuh kamera pengintai.

Setahun kemudian, di bawah Perdana Menteri John Major, 1994 pemerintah Inggris meluncurkan program CCTV: Looking Out for You. Selama tiga tahun, Inggris membelanjakan 38 juta pounds untuk program pengadaan kamera ini. Kendati, sejak awal, sang perdana menteri sadar,"Akan ada yang menyatakan keberatan dengan alasan ancaman pada kebebasan sipil. Tapi saya tidak simpati pada kebebasan yang begitu." Dan benar, di tahun 1997, serangkaian unjuk rasa digelar warga Inggris menentang pemasangan sedemikian banyak kamera sirkuit.

Tapi seusai peristiwa 11 September, ketakutan akan teror menimbulkan ledakan besar pemakaian kamera sirkuit. Toko kelontong dan banyak rumah pun memakainya, berpadu dengan alarm darurat. Polisi Transportasi Inggris bahkan mengontrol 1.400 kamera di kereta bawah tanah dan 1.800 kamera di atas kereta biasa.

Dalam banyak kasus, kamera ini menolong aparat keamanan untuk mengungkap kejahatan, menemukan jejak orang hilang, atau sekadar menandai kendaraan pelanggar lalu-lintas. Tapi tidak sedikit pula adegan intim di jalan dan taman-taman yang terekam --entah dinikmati para penjaga ruang kontrol di Victoria atau tidak.

Untunglah, ada Data Protection Act yang melindungi hasil rekaman untuk diakses orang lain di luar kepentingan penyelidikan untuk kejahatan. Kendati begitu, kamera-kamera ini tetap saja terasa seperti mata-mata yang menempel di kuduk.

Karena itulah, setiap kali melangkah keluar dari ambang rumah, jangan pernah lupa menyisakan sesungging senyuman di bibir --agar senyumanmu itu, dan bukan kerut mukamu, semenarik mungkin sampai ke Victoria.

Teringat kata-kata Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia: "Ilmu pengetahuan semakin banyak melahirkan keajaiban. Dongengan leluhur sampai malu tersipu. Tak perlu lagi orang bertapa bertahun untuk dapat bicara dengan seseorang di seberang lautan. Orang Jerman telah memasang kawat laut dari Inggris sampai India! Dan kawat semacam itu membiak berjuluran ke seluruh permukaan bumi. Seluruh dunia kini dapat mengawasi tingkah-laku seseorang. Dan orang dapat mengawasi tingkah-laku seluruh dunia."

Wednesday, February 04, 2004

Catatan Harian Seorang Politikus

" ÖÖ. Has anyone else got ideas/recommendations for what I should do? The landlord wants me out in the next couple of weeks so it's fairly urgent." Tulisan bertanggal 3 Februari 2004 ini saya kutip dari blog Tom Watson, anggota parlemen Inggris dari Partai Buruh yang mewakili daerah West Bromwich. Posting ketiga hari itu. Di baris terakhir, ada fasilitas bagi pengunjung blog ini untuk berkomentar, memberi saran, sekadar memberi dukungan atau bahkan menghujatnya.

Blog atau catatan harian di internet, kini menjadi media komunikasi yang laris bagi para politikus Inggris. Dan Tom Watson adalah pionirnya. Ia membuat blog sendiri pada bulan Maret 2003, dan berjanji akan menyediakan waktunya setiap pagi untuk menyampaikan kabar terbaru lewat blog di internet, memeriksa komentar para pengunjung dan menjawabnya sebisa mungkin.

Langkah Tom Watson diikuti para anggota parlemen lain di Inggris. Richard Allan, anggota parlemen dari Partai Demokrat yang mewakili daerah Sheffield Hallam membangun blognya pada bulan Juni 2003. Ia memperbaruinya beberapa kali sehari.

Kini, hampir seluruh anggota parlemen Inggris memiliki blog sendiri. Ruang-ruang kerja mereka tak perlu lagi dipadati mereka yang datang berkeluh-kesah tentang pajak, uang kuliah, pembangunan, dan lain-lain. Katakan lewat blog.

Pekan-pekan ini, isi blog mereka ramai oleh dua topik: kenaikan uang kuliah di Inggris dan perseteruan pemerintah Tony Blair dengan BBC. Ke sana pulalah segala aspirasi penduduk melek internet diarahkan. Tidak heran jika the Guardian kemudian menggelar Political Weblog Awards. Dan blog Tom Watson menjadi salah satu nominasinya.

Bukan di Inggris saja, rupanya. Di Amerika Serikat, calon presiden dari Partai Demokrat, Howard Dean, bahkan membuat blog untuk kampanye. Blog for America diluncurkan Howard Dean pada 15 Maret 2003. Setelah Howard Dean, juga disusul kandidat presiden Partai Demokrat lainnya seperti Wesley Clark. Dan, tentu tak ketinggalan sang kandidat terkuat John Kerry. Sebuah jajak pendapat nasional pekan ini menempatkan sang sahibul blog di urutan teratas calon presiden Amerika dalam pemilu mendatang.

Dari Partai Republik, blog kandidat yang terkenal adalah milik Presiden George W. Bush. Bush meluncurkan blog bertajuk Bush-Cheney '04 pada 6 Oktober 2003. Blog ini juga diperbarui setiap pagi, termasuk catatan mengenai rencana perjalanannya hari itu, dan perasaan-perasaannya.

Begitulah -- blog, catatan harian di internet yang banyak dimiliki para remaja itu, kini menjadi media politisi.

Padahal, meski model blog sudah ada sejak tahun 1993, istilah ini baru digunakan pertama kali pada bulan Desember 1997 oleh Jorn Barger, seorang Amerika lewat blognya Robot Wisdom Weblog. Jorn Barger menyebut weblog untuk situs yang dimiliki dan dikelola secara pribadi, diisi dengan pengalaman berkelana di internet, dan disertai komentar-komentar singkat. "Weblog adalah percakapan warung kopi dalam bentuk teks dengan sejumlah referensi," tulis kolomnis yang tinggal di San Fransisko, Rebecca Blood.

Blog boleh jadi merupakan kelanjutan dari situs pribadi. Bedanya, situs pribadi lebih banyak diisi dengan profil, foto-foto dan isinya cenderung tidak diperbarui dalam waktu lama.

Mudah dan cuma-cuma membuat blog dengan cepat populer terutama di kalangan remaja. Mereka menutup buku catatan harian dan menggantinya dengan blog. Isinya: dari kejengkelan pada teman, jatuh cinta, sampai impian-impian.

Peristiwa 11 September 2001 menandai babak baru pertumbuhan blog. Amerika Serikat kalang kabut dan menyerang Afganistan, lalu Irak. Oleh mereka yang menentang perang, blog beralih menjadi media untuk menyuarakan kemarahan yang tak tersalurkan kepada George Bush dan Amerika.

Tidak heran jika blog bertumbuh paling cepat pasca tragedi World Trade Center. Blogger yang terkenal saat itu adalah Salam Pax, seorang pemuda Irak berusia 29 tahun. Ia berada di Baghdad ketika Amerika menyerang Irak pada bulan Maret 2003. Ketakutan-ketakutannya ia tuliskan di blog yang semula ia tujukan untuk berkabar kepada sahabatnya, Raed, 25 tahun, yang tengah berada di Jordania. Blog berjudul Where is Raed itu tak dinyana menuai pengunjung yang sangat banyak: lebih dari 200.000 hit setiap hari pada awal Perang Irak. Blog Salam Pax mengingatkan orang pada catatan harian Anne Frank pada zaman Perang Dunia I.

Koran terbesar Inggris, the Guardian, kemudian mengundangnya menjadi penulis kolom tetap. Isi blog Salam Pax juga diterbitkan dalam bentuk buku, Salam Pax: the Baghdad Blog, salah satu buku laris di situs Amazon.

Kini, blog dianggap sebagai gambaran masa depan umat manusia, ketika semua orang memiliki pekarangan di dunia maya yang terhubung ke manusia lain di muka bumi.

Lembaga survei dari Amerika Serikat, Perseus, menyebutkan, saat ini terdapat lebih dari lima juta blog di internet, 4,12 juta di antaranya ada di delapan situs penyedia layanan blog: Blog-City, BlogSpot, Diaryland, LiveJournal, Pitas, TypePad, Weblogger dan Xanga. Sekitar 92 persen pemiliknya berusia di bawah 30 tahun, dan lebih dari setengahnya adalah perempuan. Perseus meramalkan, pada tahun 2004 ini, jumlah blog akan tumbuh dua kali lipat, menjadi 10 juta blog.

Bagaimana dengan Indonesia? Indo Blog, kumpulan para blogger Indonesia mencatat alamat 75 anggota. Axis Mediatama, perusahaan di Jakarta yang mengelola situs Doneeh.Com yang menyediakan secara gratis aksesori untuk blog seperti fasilitas untuk berkomentar memiliki 5.278 anggota. Di luar itu tentu masih banyak, tapi setidaknya begitulah gambaran perkembangan media ini.

Hanya saja, tampaknya politisi kita belum menganggap blog sebagai media yang efektif untuk berkomunikasi. Sejauh ini, saya belum menemukan adanya blog seorang anggota DPR. Begitu juga para calon presiden yang kini tengah menggalang dukungan. Amien Rais, Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid memang sudah memiliki situs pribadi, tapi belum masuk kategori blog.

Situs mereka belum memberi ruang bagi pengunjung untuk bersahut-sahutan dengan sahibul situs dan tak menuliskan perasaan-perasaan pribadi sang empunya -- yang membuat rakyat tahu benar hari-hari calon pemimpinnya.

Monday, February 02, 2004

Penumpang Gelap Google

Sekilas, tampilan mesin pencari ini mirip Google. Hurufnya warna-warni, latarnya putih. Yang istimewa, tandem huruf "o" pada situs ini didesain seperti -- maaf -- payudara. Bila hasil pencarian panjang, ia akan mulur memanjang -- lagi-lagi seperti "o" pada Google.

Situs ini adalah Booble, mesin pencari segala situs dan kandungan porno di internet. Booble diluncurkan 20 Januari lalu oleh seorang bekas petinggi perusahaan internet di New York. Ia hanya memperkenalkan diri sebagai Bob.

Dan itulah yang membuat Google marah besar, ia bukan anak perusahaan sang raja mesin pencari ini. Tim hak cipta Google menganggap Booble mendompleng ketenaran situs mereka dan meminta mesin pemandu porno ini segera ditutup. Dalam surat elektronik yang dikirimnya tim Google menuduh Booble telah meniru tampilan Google, dan -- celakanya -- citarasa Google terasa di dalamnya.

Tak kurang dari Martin Schwimmer, pengacara khusus merek dagang dan nama domain dari New York yang menganggap Booble melanggar hak cipta perusahaan lain. Paling tidak, "Ia mengambil logo, menggunakan tata-letak, meniru warna latar dan huruf-huruf Google untuk usaha mesin pencari," kata Schwimmer kepada Internet News. Kasus ini tampaknya akan berlanjut ke pengadilan.

Reputasi Google yang besar dan pemakaiannya yang luas di internet, rupanya membuat Bob tergiur ikut menumpang. Google memang raja mesin pencari, salah satu imperium di dunia maya yang belum tertandingi oleh Microsoft sekali pun.

Ia dibuat setengah iseng oleh dua anak muda dari Stanford University, California di tahun 1998. Larry Page, kini 31 tahun dan Sergey, kini 30 tahun, semula tak serius benar ketika mencoba melakukan pendekatan baru dalam mesin pencari mereka. Jika mesin pencari yang sudah ada seperti Lycos, AltaVista, bahkan Yahoo masih sekadar menggunakan kata kunci, kedua anak muda ini menambahkan hal baru: pencarian dengan pemeringkatan berdasarkan banyaknya link ke situs tersebut. Ini memungkinkan orang menemukan situs yang ditujunya terpampang di deretan paling atas hasil pencarian.

Larry dan Sergey melihat potensi besar model pencarian itu. Mereka menamai situs mesin pencari itu Google, plesetan dari kata googol, nama yang merujuk pada sebuah bilangan yang teramat besar, berupa "angka 1 diikuti seratus angka 0". Kata ini diperkenalkan pertama kali oleh Milton Sirotta, seorang perempuan Amerika.

Kedua anak muda ini rupanya hendak menjadikannya simbol bagi misi situs mereka yang menelisik ranah internet yang menghampar luas seperti padang tanpa batas. Di sana ilmu tak terhitung, jarak tak terukur, kabar tak tertakar, dan lelucon tak alang kepalang. Dan juga kejutan.

Dengan modal urunan dari keluarga, kerabat dan pinjaman sana-sini, pada 7 September 1998, Larry dan Sergey membuka kantor sewaan mereka di Menlo Park, California. Kantor itu hanya berupa sebuah ruangan kecil yang menempel pada garasi, dengan fasilitas lain berupa mesin cuci, pengering dan bak mandi. Juga ada ruang parkir mobil untuk karyawan pertama mereka, Craig Silverstein. Dengan demikian, Google Inc. dibuka dengan tiga karyawan: Larry, Sergey dan Craig.

Tak dinyana, Google membesar. Di hari-hari awal, Google sudah menjawab 10.000 pencarian setiap harinya. Media mulai meliriknya sebagai debutan yang menawarkan mesin pencari dengan pendekatan baru yang menjanjikan. Bulan Desember 1998, PC Magazine memasukkan Google dalam 100 Situs dan Mesin Pencari Terbaik tahun 1998.

Sejak itu, Google tak tertahankan lagi oleh para pesaingnya. Ia, bersama lisensinya, kini menguasai 70 persen pangsa mesin pencari di internet. Setiap hari Google menjawab lebih dari 200 juta pencarian. Gudang data Google juga telah menjangkau 3 miliar situs dan lebih dari 425 juta gambar. Menurut ACNielsen, setidaknya 73,7 juta pengguna internet masuk ke Google setiap bulan, menjadikannya satu dari 10 situs paling populer di dunia maya. Fasilitas pencarian dalam 88 bahasa dan tawaran hasil dalam 35 bahasa, membuat Google benar-benar mendunia -- lebih dari separuh pengunjungnya dari luar Amerika.

Larry dan Sergey, dua anak muda bertalenta besar itu pun kini menjadi kaya-raya. Mereka kini berkantor di sebuah gedung besar di salah satu pojok Mountain View di San Fransisco, mempekerjakan lebih dari 1.000 karyawan, 60 di antaranya bergelar Ph.D, gelar yang mereka sendiri belum dapatkan.

Google yang kini memiliki 21 kantor di seluruh dunia, bahkan telah membajak Dr. Eric E. Schmidt salah seorang bos Novell dan juga bekas petinggi Sun Microsystem untuk dipekerjakan sebagai Direktur Utama Google. Larry dan Sergey sendiri sekadar duduk sebagai direktur.

Didukung tim manajemen yang kuat, Google kini tak lagi sekadar mesin pencari, ia juga padat fasilitas: dari memeriksa ejaan (spell-checker), menerjemahkan teks-teks dalam situs yang ditemukannya dalam berbagai bahasa, sampai menampilkan berita terbaru di GoogleNews.

Google juga membuka sebuah mesin pencari baru, Froogle, untuk para pembelanja di internet yang hendak berkelana mencari barang di aneka situs dagangan. Selain itu, ia telah menjadi raja situs untuk blog setelah mengakuisisi Blogger dari Pyra Labs, setahun silam ñ situs tempat saya menuliskan artikel ini.

Kendati sudah sedemikian tenar, Google toh tak melupakan keceriaan dua penemunya, Larry dan Sergey. Sebuah situs lucu, Googlism mereka luncurkan pertengahan tahun 2003. Situs ini adalah "mesin pencari dalam mesin pencari" -- ketikkan sebuah nama, ia akan memunculkan segala kata yang disimpulkan Google tentang nama itu.

Tapi kemudian si Booble datang dengan payudara huruf o-nya yang bisa mulur sepanjang situs porno, dan membuat Google murka.

Wednesday, January 28, 2004

Butir-Butir Putih yang Melintas di Jendela

Angin Antartika yang ditunggu-tunggu itu pun tiba di London. Tengah malam, butir-butir putih berluruhan melewati jendela kamar. Pagi tadi, pucuk-pucuk rerumputan di Northbrook Park, taman bermain anak-anak di sudutnya, dan mobil-mobil yang masih terparkir di badan jalan, memutih seperti berselubung kapas. Tipis, tapi inilah pertanda angin dari benua es Antartika telah tiba di London.

Salju di Nortbrook ParkUdara tepat di titik nol, tapi ramalan cuaca menyebutkan, angin membuat udara terasa seperti minus enam di luar rumah. Langit amatlah bersihnya, matahari bersinar seperti tiada perintang. Dan sejak pagi-pagi benar, mobil kebersihan taman berkeliling menaburkan garam coklat agar salju tak melicinkan jalan beraspal.

Saya menyambut hari pertama salju di London dengan segelas cappucino dan semangkuk kecil sereal.

Di luar London tentu jauh lebih dingin. Di daerah Yorkshire dan Lincolnshire, salju bahkan menyebabkan kecelakaan bis. Di Scotland dan Northern Ireland, salju menebal sampai 15 sentimeter.

Dibanding tahun-tahun silam, tahun ini cuaca London relatif bersahabat. Seperti hari ini, salju hanya meluruh tengah malam hingga pagi hari, lalu cahaya matahari kembali menguapkannya. Tapi beranjak siang, butir-butir putih itu kembali meluruh amat lebat -- juga teramat indahnya. Malam hari, salju seperti ditumpahkan dari langit. Ronver Road tertutupi sampai setebal lima buku jari. Tetangga berteriak, maklum, salju tidak setia datang ke London setiap tahun. Puncaknya diperkirakan pada hari Sabtu, tiga hari lagi.

Meski diramalkan tidak akan menjadi badai, pemerintah setempat mengeluarkan peringatan: salju bisa menyebabkan kerugian senilai jutaan pounds akibat membekunya pipa-pipa gas kendati mereka telah menyiapkan ribuan ton garam untuk mencairkan salju di jalan-jalan. Itu bisa dialami satu dari lima rumah tangga. Pekan ini, seperti diberitakan BBC, British Gas meramalkan akan menerima 20.000 panggilan darurat. Tahun lalu, hari terdingin yang terjadi pada 8 Januari 2003, British Gas menerima 15.000 panggilan.

Salju di London memang menyenangkan, meski punya sejarah kelam dan belum dilupakan warga kota ini. Setelah musim dingin yang sangat beku di tahun 1740, musim terdingin di abad 20 di London dan seluruh Inggris adalah di tahun 1962-1963.

Topan salju dan angin dingin datang di tengah kegembiraan berbagi kado di Boxing Day, sehari setelah Natal 1962. Tapi itulah awal hari terpanjang London berselimutkan salju. Tiga bulan lamanya London seperti beku. Hamparan es mengambang di sungai-sungai dan danau. Orang-orang bermain ski di hulu Sungai Thames. Salju juga menyebabkan 400 pertandingan sepakbola ditunda.

Musim dingin dengan salju berat yang juga masih diingat warga kota ini terjadi tahun 1991. Saat itu sekolah-sekolah diliburkan. Pusat belanja Bluewater yang berisi 300 toko dan restoran dan didatangi sampai 80.000 pengunjung setiap hari, ditutup untuk umum.

Akibat terbesarnya tentu saja pada lalu-lintas darat dan udara. Jalan yang melicin menjadi biang kecelakaan, dan kendaraan-kendaraan lebih banyak terperangkap macet. Jalur kereta api lebih kacau lagi gara-gara penundaan dan penutupan jalur. Heathrow, lapangan terbang tersibuk di dunia itu membatalkan ratusan pendaratan dan penerbangan dalam sehari.

Untunglah, tahun ini salju diramalkan tak seberat itu. Dengan begitu, saya tentu bisa menikmatinya dari kamar: luruhan butir-butir putih di jendela, sembari menikmati segelas cappucino di pagi hari.

arungtasik@any-mail.co.uk

Friday, January 23, 2004

Jagat Raya dari Kursi Roda

Cambridge tersentak, dan tentu juga para ilmuwan di seluruh dunia beberapa hari mendatang. Stephen William Hawking, guru besar Cambridge University yang terkenal itu dikabarkan dalam kondisi mengenaskan, penuh memar dan menderita penyakit baru yang mengkhawatirkan. Ia kini terbaring di rumah sakit Addenbrooke, Cambridge. Yang lebih menghentak lagi, parahnya Hawking akibat ulah istrinya sendiri, Elaine.

Hawking dan ElaineSurat kabar Daily Mirror terbitan Kamis 22 Januari memajang berita itu di halaman depan. Seorang anggota tim perawat Stephen Hawking bercerita, ia melihat Elaine menyiksa suaminya dalam banyak kesempatan. Ia, misalnya, menyerang lelaki bertubuh ringkih ini, mencukur misainya dengan kasar sehingga pisau menyayat kulitnya. Bahkan ada dugaan, ia mencecokinya dengan obat yang tidak benar.

Perawat yang tak disebutkan namanya itu menurut Daily Mirror tengah berada di luar negeri, dan polisi sudah memanggilnya. Elaine sendiri belum bersuara, tapi ia tampaknya akan berhadapan dengan tuntutan yang serius. Perempuan 53 tahun ini merupakan istri kedua Hawking yang ia nikahi 1995.

Kejadian ini, bila benar, tentu akan menuai sesal dari seluruh dunia. Stephen Hawking adalah ilmuwan paling penting di muka bumi yang masih hidup. Ia disejajarkan dengan mendiang Sir Isaac Newton dan Albert Einstein. Ada anekdot, jika di ranah ilmu pengetahuan masa kini harus ada seorang nabi, maka Stephen Hawking lah adanya. Mungkin berlebihan, tapi begitulah pria 62 tahun ini dipuja. Kuliah umum guru besar di Cambridge University, Inggris ini, senantiasa dihadiri para mahasiswa dan ilmuwan seperti penonton sepakbola di sebuah stadion: ramai, antre dan amat mempesona.

Lebih 40 tahun lamanya ia duduk di kursi roda setelah menderita kelumpuhan seluruh badan. Hampir seluruh anggota tubuhnya tak lagi bisa lagi dikontrol oleh pikirannya. Beruntung bagi Hawking -- juga dunia ilmu pengetahuan -- bahwa segumpal otak sang ilmuwan masih bekerja penuh, dan dari sanalah renungan-renungan tentang alam semesta mengalir.

Ia begitu terkenal setelah menulis buku laris, A Brief History of Time: From the Big Bang to Black Holes di tahun 1988. Buku ini diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa, terjual 25 juta copy dan menghasilkan tidak kurang dari 10 juta pounds untuk Hawking. Di Indonesia, buku ini sudah terbit pula dengan judul Riwayat Sang Kala.

Hawking lahir di Oxford 8 Januari 1942 dari ayahnya, Dr. F. Hawking seorang dokter dan ibunya Isobel Hawking. Ayahnya pula agaknya yang mewariskan darah ilmuwan kepada putranya. Di masa bocahnya, Hawking kerap berdua ayahnya meneropong bulan di taman rumahnya.

Di usia remaja Hawking masuk Oxford University, dan belajar fisika. Ia merampungkan gelar sarjananya di usia 20 tahun, lalu melanjutkan studi di bidang kosmologi di Cambridge University. Di sanalah, dalam sebuah pesta Tahun Baru 1962, ia bertemu Jane Wilde yang kelak, selama 25 tahun lamanya menjadi istrinya. Mereka menikah 1965.

Baru sebulan setelah pertemuan itu, ia tiba-tiba harus berkubang dengan penyakit aneh: otaknya sulit memerintah tubuhnya sendiri, penyakit yang dikenal sebagai Lou Gehrig Disease. Dokter-dokter bahkan meramalkan hidup Hawking tak kan lebih dari dua tahun. Tapi dokter bukan Tuhan. Dalam keadaan mulai tertatih-tatih, Hawking dan Jane dikaruniai tiga anak, Robert, Lucy dan Tim Hawking.

Sementara, keadaan Stephen Hawking kian memburuk. Perlahan-lahan, ia kehilangan suara, dan akhirnya seluruh tubuhnya lumpuh. Ia harus duduk di kursi roda. Kendati demikian, ia tetap memelihara semangat untuk bekerja sebagai ilmuwan. Di kursi roda, pikiran Hawking yang tetap jernih, malah kian liar mengembara. Ia tetap aktif mengajar di Cambridge, meski mahasiswanya harus lebih cermat menerjemahkan kalimat-kalimatnya.

Hawking, lumpuh tapi tetap punya rasa humor yang tinggiSebuah kursi roda elektrik dibuatkan untuknya, dan berkat ilmu pengetahuan, ketika Hawking benar-benar kehilangan suaranya, seperangkat komputer yang digerakkan dengan ujung jari dan layar tipis di depan kursi rodanya, memungkinkan Hawking bisa berkomunikasi dengan lancar. Pikiran-pikiran cemerlang tentang semesta ia sampaikan lewat suara metalik itu. Sejak tahun 1979, ia menduduki jabatan sebagai Lucasian Professor of Mathematics di Cambridge University, jabatan yang pernah diduduki Sir Isaac Newton.

Lalu lahirlah buku masterpiece itu: A Brief History of Time. Ia menulis sejarah tentang waktu!

Pikiran Hawking yang paling fenomenal adalah tentang Ledakan Besar (Big Bang) dan Lubang Hitam (Black Hole). Hawking bercerita betapa semesta ini pada mulanya berasal dari partikel yang maha padat dan memiliki energi yang tak terkirakan besarnya. Lalu terjadilah ledakan maha dahsyat pada sebuah masa 12 sampai 15 miliar tahun silam, yang menyebabkan super-inti-padat itu mengembang ke sekitarnya. Maka terbentuklah ruang, menjadi dimensi, dan kemudian lahirlah waktu. Efek ledakan itu masih terjadi sampai kini ketika semesta tetap mengembang ke semua sudutnya. Selama ledakan itu terjadi, galaksi kemudian terbentuk, planet-planet menjadi, berikut kehidupan di dalamnya.

Jejak ledakan besar itu masih menyisakan satu tempat yang misterius: Lubang Hitam. Sebuah tempat yang masih memendam energi maha besar, dengan medan gravitasi yang tak terlawankan bahkan oleh cahaya sekali pun. Seluruh materi -- termasuk cahaya -- yang melintasinya akan tertarik oleh Lubang Hitam ini dan kemudian memadat. Di kalangan awam, teori-teori ini masih terdengar seperti dongeng, tapi Hawking bisa menjabarkannya dalam persamaan-persamaan matematika dan fisika yang rumit, yang ia sampaikan lewat suara metaliknya.

Sejak berkutat dengan aneka pertanyaan soal semesta ini, Hawking sadar, ia tengah bermain-main dengan sejarah penciptaan kehidupan. "Sulit memulai pembicaraan tentang bagaimana awal semesta tanpa menyebut nama Tuhan. Saya berada di perbatasan antara sains dan agama, tapi saya mencoba untuk berdiri di sisi sains. Karena Tuhan bekerja dengan cara yang tidak mungkin digambarkan oleh hukum-hukum ilmu pengetahuan," kata Hawking. Pernyataannya ini sekaligus menepis anggapan bahwa ia atheis, sebagaimana ibunya Isobel Hawking yang menjadi anggota Partai Komunis di tahun 1930-an.

Pada akhirnya, Hawking memang berkesimpulan, ada sebuah kekuatan yang Maha-Dahsyat yang mengatur semesta ini, sejak Ledakan Besar hingga detik ini. "Semesta ini punya keteraturan yang maha presisi. Terlambat dalam sepersejuta detik saja, kehidupan yang kita alami sekarang ini mungkin tidak akan terjadi. Ada satu Dzat di balik segenap hukum-hukum fisika ini," kata Hawking.

Ia seperti menemukan Tuhan dalam sains yang rumit.

Sejak meluncurkan buku itu, Hawking benar-benar tampil sebagai selebriti. Ia berceramah di mana-mana di seluruh dunia. Bintang-bintang Hollywood seperti Jim Carrey, Kevin Costner juga Elizabeth Taylor meminta wejangannya. Kehadirannya menyihir.

Ia bisa bercerita tentang semesta dengan suara metaliknya dengan santai dan tak kehilangan rasa humor. Ketika ia harus berbicara tentang buku A Readerís Companion -- buku yang bercerita tentang film A Brief History of Time di tahun 1992, Hawking mengatakan: "Ini buku yang berbicara tentang film dari sebuah buku. Saya tidak tahu apakah juga ada rencana membuat film tentang buku yang berbicara tentang film dari sebuah buku." Kalimat yang mengundang gerrr.

Dia yang gemar musik klasik, juga tampil dalam film sains fiksi Star Trek dan kartun komedi The Simpsons. Kepada Homer Simpson yang menyebutnya orang terpandai di kolong langit, Hawking mengatakan: "Teorimu tentang semesta terbentuk dari donat sungguh menarik. Homer, mungkin saya akan menyontek teorimu itu."

Sedemikian cerdas, Hawking tidak pernah memenangkan Hadiah Nobel -- penghargaan yang menjadi mahkota bagi ilmuwan dan juga membingungkan banyak penggemarnya. Rupanya, Swedish Royal Academy di Stockholm berteguh pada syarat bahwa seorang pemenang Nobel adalah mereka yang percobaan dan temuannya bisa dibuktikan. Sementara, seindah apa pun pemikiran Hawking, tidak bisa dijelajahi manusia secara fisik. Meski percaya, tak seorang pun, juga Hawking sendiri, yang bisa menyebut letak pasti Lubang Hitam.

Tanpa Nobel, toh Hawking tetap menempati tahta sebagai sebagai ilmuwan paling terkenal di dunia, yang ketenarannya melintasi batas-batas akademis. Sayang sekali, ia tak begitu berbahagia dalam kehidupannya. Di tahun 1990, ia bercerai dengan istrinya Jane Wilde, doktor sastra Portugis yang telah 25 tahun mendampinginya. Ia kemudian menikah dengan Elaine, bekas perawat Hawking sendiri.

Kali ini ia salah memilih, Elaine telah menyiksa fisiknya begitu rupa.

arungtasik@any-mail.co.uk