Saturday, July 10, 2004

Musim Panas di Kota Mercedes

Bintang perak bersudut tiga itu tak henti berputar di puncak menara stasiun kereta api utama Stuttgart. Lambang Mercedes Benz itu jadi lambaian selamat datang bagi setiap orang yang datang ke sana lewat darat.

the New PalaceSemula saya bayangkan, Stuttgart adalah gemerlap kota modern dengan bangunan-bangunan kaca dan baja, lampu merkuri, dan jalan-jalan bersusun bersilangan. Maklum ibukota negara bagian Baden Wuerttemberg di Jerman selatan ini begitu lekat dengan nama-nama besar industri dunia: Mercedes Benz, Porsche, atau Bosch.

Dan setiba di sana, semua bayangan tentang gemerlap kota modern itu sirna belaka. Kota berpenduduk hampir 600.000 jiwa tepat di jantung Eropa ini bisa disebut desa besar berpagar pebukitan. Perumahan terserak dari lembah Neckar sampai bukit-bukit.

Kami melangkah keluar dari Stuttgart Hauptbahnhof dan langsung berhadapan dengan jalan dua lajur serta mal yang tidak lebih gemerlap dari Mal Ratu Indah di kota Makassar, nun di Sulawesi Selatan. Jalan ini menuju kawasan perumahan khas Eropa yang tua dan kokoh di kiri-kanannya. Di pelataran stasiun, puluhan taksi sedan berwarna beige mengantri rapi menanti pengunjung. Yang menyilaukan saya adalah: taksi-taksi itu kebanyakan sedan bermerek Mercedes Benz seri E keluaran terbaru.

Tepat di sudut mal, ada pusat informasi wisata. Tapi bagi yang tidak berbahasa Jerman, tak perlu berharap banyak. Informasi wisata kota Stuttgart sangat minim dalam bahasa Inggris. Hanya ada satu dua selebaran berbahasa Inggris tentang pertunjukan kabaret atau teater musim panas. Selebihnya bahasa Jerman belaka.

Dari sana, melewati sisi kanan mal, adalah kawasan pejalan kaki dan juga para pebelanja, Konigstrasse. Jalan lebar dengan pertokoan yang ramai berujung di titik kota Stuttgart, dengan istananya yang megah: Neues Schloss dan pelatarannya yang luas, Schlossplatz. Di tengah-tengah pelataran menjulang tugu Jubilee. Di pelataran ini, pandangan ke pebukitan yang mengelilingi Stuttgart terasa leluasa.

Puluhan wisatawan tampak menikmati sinar matahari musim panas dengan berbaring di rerumputan, berfoto dengan latar istana, atau sekadar mondar-mandir memandangi istana. Di samping kanan istana juga ada pelataran bunga dengan danau kecil yang asri.

Istana dengan 365 kamar ini dibangun pada 1746. Karena itulah ia disebut Istana Baru. Istana Tua sendiri terletak di sisi kiri, di seberang jalan raya. Istana itu kini dijadikan museum. Bagi kota Stuttgart, Old Palace merupakan monumen sejarah kota itu sendiri. Maklum ia dibangun oleh bangsawan Duke Liudolf seribu tahun silam untuk melindungi peternakan kudanya. Dari Stutengarten (peternakan kuda) inilah, nama kota Stuttgart diambil seperti tampak pada lambang kota ini: kuda jantan yang tengah melonjak. Di istana ini pula, para penguasa Wuerttemberg pernah tinggal, sampai berpindah ke istana baru.

Kami mencoba mengitari kota ini dengan cara yang paling mudah. Naik bis kota yang asri sembarang nomer yang membawa saya berputar-putar, naik turun pebukitan dan kemudian di perhentian terakhir berpindah ke bis lain untuk kembali ke tempat semula. Bis bernomer 42 bahkan membawa kami ke sebuah pelataran puncak, tempat saya bisa memandang seluruh kota Stuttgart. Tempat tinggi yang paling terkenal di kota ini adalah Hoher Bopser, sebuah puncak bukit di ketinggian 500 meter di selatan kota, tempat menara televisi setinggi 217 meter berdiri. Menara televisi Stuttgart dari beton dan besi ini dibangun pada 1954 dan menjadi model acuan menara-menara televisi di seluruh dunia. Tidak heran jika melihat menara ini, saya langsung teringat pada menara Televisi Republik Indonesia (TVRI) di Senayan. Modelnya nyaris sama.

Jika melihat bangunan-bangunannya yang tidak terlihat kusam, kota Stuttgart terasa seperti kota baru. Tentu ada benarnya, karena pada Perang Dunia II, Stuttgart yang sebenarnya telah menjadi kota sejak seribu tahun silam, mengalami kehancuran oleh bom-bom tentara sekutu. Keterlibatan Jerman dalam perang membawa dampak yang sangat buruk. Pusat kota Stuttgart dihancurleburkan dalam 53 kali serangan udara besar-besaran oleh tentara Prancis dan Amerika sepanjang tahun 1939 sampai 1945.

the New Palace

Stuttgart dijadikan sasaran serbuan udara sekutu mengingat kota ini menjadi salah satu basis industri Jerman, tentu juga memasok mesin perang. Semenjak 1885 misalnya, di Stuttgart telah berdiri pabrik mesin Daimler, yang jadi cikal bakal Mercedes Benz. Pabrik itu telah berkembang pesat dan menjadi salah satu industri otomotif terbesar di dunia.

Letaknya di Unterturkheim, sebuah desa pinggiran Stuttgart. Kami ke desa ini beberapa hari setiba di Stuttgart. Dari pusat kota, dengan menumpang kereta lokal S-Bahn, Unterturkheim dicapai hanya dalam 20 menit. Tidak sulit menemukannya karena S-Bahn berhenti pula di Stasiun Gottlieb Daimler. Dari stasiun cukup berjalan kaki sekitar 200 meter sampai ke sebuah persimpangan tempat serombongan wisatawan juga telah menunggu bis penjemput yang akan membawa mereka ke Museum Mercedes Benz.

Seraya menunggu bis gratis ini, saya memandang takjub kendaraan-kendaraan mewah yang hilir mudik. Hampir seluruhnya bermerek Mercedes Benz. Beberapa di antaranya rupanya adalah kendaraan uji coba yang belum lagi dijual ke pasaran, depan dan belakangnya masih bertempelan lembaran plastik hitam. Di atas saya, terpampang dalam ukuran besar tulisan Daimler Chrysler Werk Unterturkheim. Di seberang persimpangan ini, sebuah gedung megah tengah dibangun. Itulah bakal kantor pusat baru Mercedes Benz yang akan rampung akhir tahun ini.

Di sekeliling museum adalah kantor sekaligus pabrik. Dari Unterturkheim inilah sebagian besar mesin dan komponen kendaraan Mercedes Benz dibuat kemudian dikirim untuk kemudian dirakit di pusat-pusat perakitan Mercedes di seluruh dunia.

Tak sampai satu kilometer dari kantor Mercedes, berdiri pula dengan megah Stadion Sepakbola Gottlieb Daimler milik Mercedes yang menjadi stadiun klub sepakbola Bundesliga, Stuttgart VfB. Bisa dipastikan, pada Piala Dunia 2006 nanti, Unterturkheim akan kebanjiran para penggila bola. Sejumlah pertandingan Piala Dunia 2006 akan dilangsungkan di sini.

Pabrik dan stadion menjadikan Mercedes jadi identik pula dengan kota Stuttgart. Mungkin itu sebabnya, Stuttgart menempatkan Gottlieb Daimler (1834-1900) sebagai satu dari empat warga terbaiknya. Tiga lainnya adalah industriawan Robert Bosch, penyair Friedrigh Schiller dan sang filsuf terkenal, Georg Friedrich Wilhelm Hegel (1770-1831). Nama-nama mereka diabadikan di berbagai tempat penting. Rumah kelahiran Hegel di tikungan Jalan Eber Hardstrasse nomer 53 bahkan kini dijadikan museum. Di dalamnya dipamerkan barang-barang asli sang filsuf, karya-karya dan tulisan tangannya.

Begitulah. Beberapa hari menikmati kota Stuttgart, tampak benar kota ini telah bangkit dari luluh-lantak Perang Dunia II. Bahkan bekas-bekas reruntuhannya pun nyaris tak bersisa lagi. Sejauh ini, selain di museum, saya hanya sempat melihat sebuah rumah warga di keheningan desa kecil Esslingen di pinggiran Stuttgart yang pada singkap depannya bertuliskan keterangan: bekas kamar gas.

Selebihnya, Stuttgart adalah kota dengan pesona yang mengikat. Dalam catatan resmi pemerintah setempat, pengunjung yang datang lewat bandar udara Stuttgart sekitar delapan juta orang setiap tahun. Tentu lebih banyak lagi yang datang lewat darat, dari arah Perancis, Belgia atau kota-kota lain Jerman.

Puncak kunjungan wisatawan ke kota ini adalah di musim panas. Apalagi, di bulan Agustus setiap tahunnya, Stuttgart menggelar Festival Anggur yang menghadirkan 250 ragam anggur terbaik produksi lokal. Sayang sekali, kami tak bisa tinggal lebih lama untuk menyaksikan acara ini.

Sebelum meninggalkan Stuttgart siang itu, saya masih sempat melempar pandang ke arah bintang perak bersudut tiga di puncak menara stasiun. Kali ini, bintang Mercedes itu terasa seperti lambaian selamat jalan.

Wednesday, July 07, 2004

Ke Jerman, Berkereta di Ladang Gandum

Kereta ini sembilan gerbong, dan kami ada di gerbong kelima. Di tengah gerimis yang membasahi Paris kereta ini meninggalkan Stasiun Gare de L'est menuju ke timur.
 

LouvreKereta berderak, tak ada pemeriksaan apa-apa. Inilah salah satu perjalanan terindah yang kami jalani. Enam jam berkereta menuju  Stuttgart adalah enam jam perjalanan tanpa memejamkan mata. Saya duduk dekat jendela, Karin di tengah.
 
Kereta berderak melewati desa-desa kecil, membelah ladang-ladang gandum yang terserak di sela-sela hutan lindung, peternakan sapi, domba juga danau-danau kecil. Di pertengahan musim panas ini, gandum-gandum tengah siap panen, sebagian bahkan sudah dipetik. Peladangan itu membentang luas hingga ke kaki bukit di kejauhan. Warnanya kuning emas tertimpa terik matahari. Seperti ladang kencana dalam dongeng-dongeng masa kecil.
 
Satu dua rumah penduduk dengan kastil menjulang di tengahnya, tampak seperti terselip di tengah ladang-ladang gandum ini. Kian ke timur, kian matang gandum-gandum ini. Di sebagian tempat malah sudah dipanen. Merangnya digulung, seperti roda pedati raksasa yang berwarna keemasan.
 
Ketika tiga jam kemudian kereta berhenti di Nancy, saya baru sadar, ini masih kawasan Perancis. Sekilas saya memandang kota ini, kota yang seperti karib di telinga saya, tapi tak kunjung saya jejaki. Nancy berada di areal pemukiman tidak rata dari bukit ke lembah.
 
Lalu kereta berjalan lagi. Ladang-ladang gandum telah jarang. Tapi kini, kereta meliuk-liuk di daerah pegunungan. Setelah kota Saverne, yang tampak adalah hutan dan pegunungan. Kereta keluar masuk terowongan menembus perut gunung.
 
Pada sebuah stasiun kecil, saya membaca nama desa kecil itu: Mommenheim. Kereta ini telah masuk ke wilayah Jerman. Dan benar, 15 menit kemudian, kereta ini berhenti di kota Strasbourg. Dan setelah itu, kota-kota Kohl, Baden-Baden, Karlsruhe, Bruchsal. Menjelang petang, meski matahari musim panas masih bersinar dengan teriknya, kami tiba di stasiun Stuttgart. Ya, tepatnya: Stuttgart Hauptbahnhof.
 
Tulisan-tulisan berbahasa Jerman sungguh tak kumengerti sama sekali. Dan bahkan lelaki di bagian informasi stasiun pun tak bisa berbahasa Inggris. Jadilah bahasa purba -- bahasa isyarat dengan satu dua kata -- jadi pengantar. Tapi kota Mercedes ini sungguh menggoda. Maka sejak detik itu, kunikmati saja kota ini. Esok hari, akan kuceritakan tentang Stuttgart dengan segenap pesonanya.
 
(terima kasih untuk Mas Kalis dan Mbak Iin sekeluarga atas tumpangan apartemennya yang asri di Esslingen)

Sunday, July 04, 2004

Rintik di Kaki Eiffel

Hujan mengguyur Paris sepanjang hari ini. Puncak menara Eiffel samar dalam awan dan cahaya redup matahari. Saya tidak tahu ini masih disebut pagi, sepanjang musim panas matahari telah bersinar terang sejak sebelum pukul lima dinihari. Malam juga datang telat, baru gelap di atas pukul 10 malam.


EiffelKutempuh juga hujan-hujan kecil itu, rinai yang membasahi bahu bajuku. Kami turun di Stasiun Champ de Mars, stasiun terdekat ke Eiffel. Warga Paris mengenalnya sebagai Stasiun Tour Eiffel karena letaknya yang hanya 100 meter dari kaki menara landmark ibukota Perancis itu.

Di sana, di kaki menara, barisan manusia sudah berkelok-kelok. Hujan yang mengguyur kota tak menghalangi mereka, demi menjenguk pelataran atas dan memandang seluruh kota.

Setiap kaki menara seperti tungkai besi yang kukuh menginjak sebuah gedung. Di setiap kakinya ada elevator bersusun. Elevator itu membawa pengunjung ke puncak. Di kaki lainnya, ada tangga untuk mereka yang hendak menjejak pelataran pertama saja.

Tapi kami urung bergerombol dalam antrian. Bagaimana menikmati puncak Eiffel di tengah hujan seperti ini? Kami ke pelataran depan saja, sejauh 500 meter bersama orang-orang yang hendak berfoto berlatar menara. Ada tukang-tukang foto langsung jadi yang menawarkan jasa.

Dari Eiffel, kami kembali ke Champs Elysees Avenue, masuk satu dua toko busana, pameran mobil Perancis Peugeot yang menampilkan si garang Hoggart yang baru dijajal di gurun Afrika, lalu mengayun langkah ke arah Arc de Triomphe. Sungguh kunikmati berjalan di trotoar lebar ini, bergerak bersama ribuan pengunjung Paris yang tiada henti. Di seberang Arc de Triomphe, lagi-lagi saya takjub memandang tugu besar ini: sebuah bangunan raksasa yang mengangkangi jalan.

Saya selalu ingat bayangan tugu ini yang berpendar di malam hari. Televisi-televisi Indonesia menayangkannya berkali-kali ketika Perancis memenangkan Piala Dunia Sepakbola 1998. Sebuah spanduk raksasa dibentangkan di atasnya, menyambut Zinedine Zidane dan kawan-kawan. Saya kini berdiri di bawahnya. Bayangan sekelompok manusia dan kilat lampu kamera terlihat jauh di puncaknya.

Arc de Triomphe berdiri di tengah lingkaran jalan berbatu, seperti jalan kereta di zaman Romawi. Ia juga jadi titik pusat simpang 13 jalan ke seluruh penjuru Paris. Terutama kendaraan yang datang dari arah Champs Elysees yang hendak menuju Avenue de La Grande Armee dan terus Charles de Gaulle Avenue dengan menyeberangi Sungai Seine, akan mengitari tugu ini. Ada banyak tempat di Paris seperti ini. Entah mengapa kota Paris seperti kumpulan rumah-rumah di jalan-jalan yang bertemu di satu persimpangan. Ada persimpangan 10 jalan, 11, 12 dan ini yang terbanyak: 13 jalan.

Kami tak meneruskan langkah ke seberang. Berbalik, naik bis sembarang nomor menuju ujung Champs Elysees yang lain. Di sana ada Musee de Louvre, museum yang jadi rumah bagi Monalisa, lukisan terkenal Leonardo da Vinci. Senyum Monalisa telah memikat jutaan orang dari seluruh dunia dan datang ke Louvre.

>LouvreGerbang museum ini berupa bangunan kaca segitiga tepat di pelataran. Di bawah rintik hujan, ratusan orang juga tampak masih setia mengantri, berkelok-kelok. Paviliun-paviliun bangunan museum berdiri megah mengitari pelataran dalam kemegahan yang menyilaukan. Lagi-lagi, kami memutuskan untuk menikmati Louvre dari luar saja, seperti ratusan orang lain yang duduk-duduk saja di pelataran.

Menjelang sore, kami kembali menyusuri jalur kereta itu, ke Val de Fontanay. Hari ini final Euro 2004. Teramat sayang untuk dilewatkan.

Saturday, July 03, 2004

Lelaki di Val de Fontenay

Ia telah menunggu di bangku tengah Stasiun Val de Fontenay ketika kereta kami tiba. Saya segera mengenalnya, wajah lelaki 70 tahun yang saya kenal pertama kali di Jakarta, setahun silam. "Baru 20 menit kok," katanya ramah. Sobron Aidit, lelaki tua ini tak berubah banyak meski pada wajahnya ada gurat letih. Ia agak gemuk, tapi masih menyisakan kegagahan masa lalu. Ia masih mengingat pertemuan kami -- bersama Karin dan Jajang Pamuncak -- di Jamz Pub, Jakarta.

Sobron AiditDan kini, di sebuah stasiun di timur kota Paris, kami bertemu lagi. Dari London saya menyeberang ke Eropa daratan ini dengan kereta Eurostar yang melewati terowongan bawah laut yang terkenal itu: Euro Tunnel. "Sehat Om?" dia tertawa, ramah sekali. Saya memanggilnya Om, seperti panggilan Karin yang pernah mengunjunginya di Paris, beberapa tahun silam.

Kami berjalan keluar stasiun, menuju halte bis. Udara Paris musim panas sedikit menggerahkan. Sobron membuka jaket. Tak lama kemudian, bis bernomor 124 pun datang. Kami berebut dengan sejumlah orang Afrika yang berjubah warna-warni. Hanya dua kelokan, dan apartemen Sobron di kaki bukit itu telah tampak.

Ia sendirian di apartemen ini, 15 Rue Guynemer, Fontenay Sous Bois. "Ini rumah pembagian untuk pensiunan," katanya. Dua anaknya, tinggal di Amsterdam. Maka dalam sebulan, ia selalu bepergian di antara dua negara itu: Belanda dan Perancis. Apartemen Sobron terbilang sederhana. Di ruang tamu, ada rak buku dengan novel-novel lama berderet di atasnya: Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, Umar Kayyam, Seno Gumira Ajidarma, juga buku-buku berhuruf Mandarin. Sekilas saya menangkap kerinduan Sobron pada tanah airnya, Indonesia. Saya menarik sebuah novel tipis. Penulisnya Paula Gomes, warga negara Belanda beribu Jawa. Sudahlah, Biarkan Saja, begitu judul novel ini, yang bercerita tentang kerinduan Paula pada Indonesia, tempat lahirnya.

Saya mengabarkan meninggalnya sastrawan Mochtar Lubis dan bekas Perdana Menteri Soebandrio, Jumat 2 Juli lalu. Kabar yang juga saya baca di media online tanah air. "O ya?" hanya itu reaksinya. Tak kelihatan ia merenung-renung. Ia tidak terkejut. "Mereka sudah tua ya."

Tapi ia bercerita juga tentang Soebandrio. Alkisah, saat pengadilan militer menjatuhkan hukuman mati atas gembong G30S/PKI, Letnan Kolonel Untung, Soebandrio sempat mengucapkan salam padanya. "Sampai ketemu di sana ya," kata Soebandrio kepada Untung. Ia juga dihukum mati. Beruntung bagi Soebandrio, Presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter dan Ratu Belanda, Elizabeth berkirim surat ke Suharto, meminta tokoh ini tidak dihukum mati.

Menjelang makan siang ia juga bercerita tentang kakak kandungnya, DN Aidit. "Usia kami terpaut 11 tahun. Ahmad itu anak didik Bung Hatta yang paling disayang," kata Sobron. Ia menyebut DN Aidit sebagai Ahmad. "Itu nama aslinya, Ahmad Aidit. Nama Dipa Nusantara Aidit itu baru muncul setelah ia mengirim proposal ke ayah. Itu alasan politik saja," katanya seraya tertawa.

Menjelang sore di apartemen Val de Fontanay. Di ruang tamu, lagi-lagi saya menatap foto hitam putih berbingkai kayu di atas lemari, foto Sobron muda bersama mendiang istri dan dua anaknya. "Itu foto di Peking tahun 1964. Sudah 40 tahun," katanya.

Sobron berada di Peking (sekarang Beijing) ketika pecah peristiwa 11 September 1965. Ia menjadi profesor ilmu-ilmu tentang Indonesia di sana. Kakaknya, DN Aidit, tewas tertembak di Boyolali. "Untung saya di Peking, kalau tidak, saya tertembak atau dibuang juga ke Pulau Buru," katanya. Sejak itu, ia tak pulang lagi. Ia kemudian pindah ke Perancis 23 tahun silam. beruntung, ia segera mendapat hak kewarganegaraan, juga membuka restoran Indonesia yang laris di kawasan Luxembourg, pusat kota Paris.

Di masa orde Baru, ia tetap menulis ke media-media di Indonesia dan di mana-mana dengan nama samaran. "Saya punya 25 nama samaran selama 32 tahun," katanya tertawa. Dengan paspor Perancis ia juga sudah beberapa kali berkunjung ke Jakarta. Sobron kerap menerima tamu orang Indonesia, wajah-wajah yang memuaskan kerinduannya ke tanah airnya itu. Juga saya yang datang dari kota London.

Sore itu, ia melepas kami yang hendak berpesiar ke pusat kota Paris. benar kata Sobron, tidak sulit menjelajah kota ini bagi mereka yang telah terbiasa bepergian di kota London. Kereta bawah tanah Paris, Metro mirip dengan Tube di kota London. Bedanya, Metro juga adalah kereta api permukaan yang di banyak jalur menyelam ke kedalaman bumi.


Arc de Triomphe di ujung Champs ElyseesSaya menikmati matahari senja kota Paris dengan menyusuri Champs Elysees dari ujung ke ujung, berjalan kaki perlahan-lahan dari arah Musee du Louvre ke ujungnya yang lain di tempat Arc de Triomphe kokoh berdiri menantang angkasa. Permukaan bata Champs Elysees mengingatkan saya pada cerita Alexander Dumas tentang Count of Monte Cristo. Di atas jalan inilah, berabad silam, roda kereta berkuda sang pelaut berderak menjemput Mercedes, sang kekasih, juga mencari lawan-lawan lamanya.

Malam telah turun ketika kami tiba di stasiun Invalides, berkereta bawah tanah menuju Chatelet Les Halles dan berganti kereta menuju Val de Fontenay. Di sana, Sobron Aidit telah menunggu kami dengan ramah, bercerita panjang dan melanjutkan mimpi tentang Indonesia.