Sunday, August 15, 2004

Ke Puncak Eiffel

(catatan tersisa dari kota Paris)

Tak lega rasanya jika tak menjejak atap kota Paris ketika berada di kota ini. Menara ini sungguh menggoda. Di malam hari ratusan proyektor meneranginya dengan 20.000 bola lampu yang berkedip setengah jam sekali seperti undangan yang melambai hati.

Kaki EiffelTapi saya tak ingin terjebak berjam-jam dalam antrian di kakinya seperti sebelumnya. Pada musim liburan seperti ini, sedikitnya 30.000 pengunjung naik ke Eiffel setiap hari. Maka sebelum para wisatawan itu melimpah ruah, saya telah keluar dari Stasiun Champ de Mars.

Baru pukul sembilan pagi. Rerumputan di kakinya masih berembun. Masih sempat kupandangi keseluruhan sosok menara ini. Ah, betapa tingginya. Padahal oleh Gustave Eiffel, sang arsitek yang juga ikut membangun Patung Liberty di New York, menara ini didirikan sekadar menyambut Pameran Dunia dan peringatan Revolusi Prancis di tahun 1889.

Seusai pameran menara ini mestinya hendak dirubuhkan kembali. Tapi percobaan transmisi radio yang berhasil di puncaknya akhirnya menyelamatkan Eiffel dari keruntuhan. Sejak itu, 40 tahun lamanya Eiffel jadi gedung tertinggi di dunia. Ia jadi satu dari tujuh keajaiban dunia modern.

Itulah mengapa saat ini saya bisa berdiri di depannya, memandang si jangkung setinggi 320 meter yang dibangun dari 15.000 balok baja. Balok-balok baja ini dipertautkan dengan sedikitnya 2,5 juta sekrup dan mur. Berat keseluruhannya 7.300 ton.

Sungai SeineAntrian baru 10 meter, kebanyakan adalah turis Jepang. Hanya sekilas saya memperhatikan patung dada emas Gustave Eiffel di kaki menara ketika saya telah tiba di depan loket. Ada tiga jenis tiket yang ditawarkan di loket ini: ke pelataran pertama yang bisa ditempuh lewat tangga, pelataran kedua, dan puncak menara. Saya memilih yang terakhir.

Setelah melewati pemeriksaan bawaan oleh petugas yang ramah, saya kemudian melewati ruang di salah satu tungkai menara menuju elevator. Di mana-mana ada pengumuman: hati-hati, banyak pencopet. Di atas pintu dan di dalam bilik elevator. Turis-turis Jepang terlihat memeluk bawaan mereka dengan ketat.

Tak lama kemudian, elevator bergerak lambat, mula-mula merambat miring mengikuti lekuk menara lalu lurus menerobos rangka. Deraknya terasa.

Keluar dari elevator ini, di depan saya adalah pelataran kedua. Ada toko cindera mata yang menjual pernak-pernik berbau Menara Eiffel serta restoran Jules Verne yang mahal. Dari sini, seluruh penjuru kota Paris sudah terlihat. Tapi saya hendak ke puncak.

Saya kemudian menuju elevator lain yang hendak ke puncak. Dekat pintu elevator puluhan orang sudah berbaris dalam antrian. Saya ikut di belakang sembari menekuri balok demi balok besi yang melintang di sekitarnya. Dulu, elevator ini belum ada. Mereka yang hendak ke puncak harus berlelah-lelah mendaki 1.789 anak tangga. Tak henti kudecapkan kekaguman dalam hati pada mereka yang memikirkan rancangan menara ini.

Di sebuah belokan antrian, sepasang kekasih di depan saya berpelukan. Di ketinggian 115 meter itu mereka berciuman, saling membelitkan lidah. Dengus napas mereka mengatasi angin yang menerobos rangka menara. Orang-orang di sekitar mereka, termasuk serombongan turis Jepang hanya senyam-senyum belaka. O, betapa romantis, betapa TAK BERMALU. Ingin kurenggutkan kepala mereka dan kulemparkan ke arah Sungai Seine yang mengalir nun di kaki menara di bawah.

Beberapa menit kemudian, saya tiba di depan elevator. Lalu, bersama 12 orang pengunjung dan seorang operator, saya meluncur menuju puncak. Elevator berdinding kaca ini membuat pandangan leluasa keluar, saat tali-tali besi mengejang menarik kami ke atas. Perjalanan sepanjang 200 meter menuju puncak sungguh menegangkan. Bilik kaca ini meluncur di tengah rangka yang kian ke atas kian mengerucut. Hanya beberapa menit tapi rasanya seperti mengendarai kereta halilintar di dunia fantasi.

Saya melangkah keluar dari bilik elevator dan masuk ke ruangan berdinding kaca: puncak Eiffel. Di sekeliling ruangan ini ada foto kota Paris berikut petunjuk-petunjuk nama-nama tempat yang terlihat dari atas. Saya memandang lewat jendela kaca, dan Paris seperti kota liliput. Di dinding atas ada gambar bendera dan nama-nama ibukota sedunia dengan jarak masing-masing dari Eiffel. Kota Jakarta terdapat di sisi bendera merah putih. Saya rupanya berdiri 11.584 kilometer dari negeri leluhur.

di puncak EiffelDi pojok ruangan, ada tangga menuju ke pelataran terbuka. Saya akhirnya menjejaknya. Angin musim panas Eropa langsung menerpa dan memainkan anak rambutku. Pelataran ini terbilang luas, bisa menampung seratusan orang, hampir seluas pelataran puncak Monumen Nasional di Jakarta. Sekelilingnya juga berpagar jeruji besi. Dari sini saya memandang dengan leluasa delapan penjuru angin kota Paris. Kota ini terlihat begitu padat dan rapi, jalan-jalan seperti sekumpulan anak panah yang memusat pada bujurnya: bundaran-bundaran jalan yang tersebar di setiap titik kota.

Indah nian Sungai Seine yang berkelok-kelok dengan kapal-kapal terlihat kecil melintasinya, melewati jembatan pejalan kaki Debilly dengan tiangnya yang putih melengkung. Sungai ini terlihat mengitari Eiffel separuh lingkaran. Kapal-kapal tampak bersandar di tebing-tebingnya.

TrocaderoDi utara, tak jauh dari kaki Eiffel adalah Taman Trocadero yang luas. Lebih jauh lagi, terlihat kawasan modern kota ini, yang ditandai dengan kotak-kotak gedung pencakar langit di sekitar La Defense dan Grand Arch. Nun di timur sana, tugu besar Arc de Triomphe di ujung Avenue de Champs Elysees terlihat samar dalam balutan udara yang beranjak tengah hari. Ke arah selatan, pandangan saya menekuri taman besar Champ de Mars yang berujung di Ecole Militaire dan kantor pusat Unesco yang megah. Keindahan jembatan Bir-Hakeim, Grenelle dan Mirabeau serta delta kecil Alees des Cygnes yang membelah Sungai Seine terlihat di sebelah barat.

Selebihnya adalah deru angin kota Paris.

Di puncak Eiffel, di tengah-tengah pelataran yang sesak pengunjung ini, ada sebuah kamar ukuran kecil dan toilet pengunjung. Kamar itu adalah ruang kerja pribadi sang arsitek, Gustave Eiffel. Semasa hidupnya, ia menerima tamu-tamu istimewa di tempat itu. Saya mengintip lewat kaca jendela, ada tiga patung lilin di dalamnya. Dua lelaki tengah duduk di atas bangku kayu sedang menghadapi sebuah mesin sederhana, dan seorang perempuan muda bergaun abad pertengahan. Mudah ditebak, pria berjanggut pirang di tengah adalah Gustave Eiffel yang tengah menerima tamunya, pria yang tak kurang terkenalnya, Thomas Alva Edison pada malam 11 September 1889. Edison, ilmuwan serba bisa dari Ohio, Amerika Serikat ini tengah memamerkan phonograph, salah satu temuannya -- selain lampu listrik, tentunya -- kepada Eiffel. Perempuan yang berdiri melayani mereka adalah Claire Eiffel, adik Gustave Eiffel.

Gustave Eiffel dan Thomas Alva EdisonDua jam lamanya saya berdiam di sana, berfoto, mengira-ngira arah, juga menikmati terpaan angin musim panas. Saya sempat menjulurkan tangan dengan kamera sejauh-jauhnya keluar jeruji dan memotret kaki menara. Beberapa turis mengikutinya. Kami saling tertawa menengok hasil foto itu.

Menjelang tengah hari, saya kembali turun, melewati elevator berbilik kaca ini hingga di pelataran kedua. Dari sini saya memutuskan untuk turun lewat tangga di tungkai menara yang lain. Perlahan-lahan saya menjejak satu demi satu anak tangga, sesekali berhenti memperhatikan balok-balok baja yang malang-melintang. Aroma catnya masih terasa.

Agar ia tak berkarat mengarung zaman, maka setiap tujuh tahun sekali, para atlet panjat tebing dikerahkan untuk mengecat setiap jengkal bajanya. Tak kurang dari 50 ton cat berwarna kecoklatan dihabiskan untuk pekerjaan besar ini.

Hampir sejam lamanya saya berjalan menuruni anak tangga. Saya kemudian tiba di pelataran pertama yang amat luas. Di pelataran setinggi 57 meter ini ada restoran Altitude 95 yang besar. Juga ada sebuah kantor pos yang terkenal dengan perangko khusus "Paris Eiffel Tower" tempat pengunjung singgah untuk mengirim kartu pos ke kampung halaman. Saya sempat menengok ke kaki menara. Di siang terik itu, antrian manusia telah membentuk barisan yang panjang dan berkelok-kelok.

Saya kemudian meneruskan perjalanan ke tanah. Saat berjalan menuju Stasiun Champ de Mars, saya sempat mengerling kembali memandang sosok menara. Ada enam juta orang yang berkunjung ke sana setiap tahunnya. Tahun ini, saya bagian dari mereka.

Wednesday, August 04, 2004

Bertemu Ronald dan Amanda di Friendster

Ronald dan Amanda adalah dua anggota Friendster. Keduanya saling memuji. Lalu Ronald membunuh Amanda

AmandaSecara pribadi saya tidak mengenal Amanda dan Ronald, dua nama yang kini menempati halaman depan koran-koran Indonesia. Amanda Devina, perempuan 22 tahun ini tewas dibunuh Ronald Johanes P Aroean (23) pada hari Rabu 28 Juli lalu.

Saya membaca beritanya sekilas, tapi kemudian iseng-iseng menelisik Friendster, jaringan perkawanan global lewat internet. Dan, saya menemukan keduanya: Amanda dan Ronald. Jarak saya dan keduanya jauh, pada tiga dan empat perantara.

Keduanya rupanya aktif di Friendster. Semenjak menjadi anggota Maret 2004, Amanda sudah punya 40 kawan, di antaranya ya, Ronald. Ia juga memajang empat buah foto warna close-up, dengan gaya yang nyaris sama: wajah manis yang menyunggingkan senyum. Ia terakhir menengok halamannya pada 23 Juli lalu, lima hari menjelang kematiannya yang mengenaskan itu.

Pada bagian profil, Amanda menyatakan status dirinya yang sedang menjalin hubungan dengan seseorang (in a relationship). Ia juga menyebut dirinya sebagai Terrano rally driver (Bintaro-Grogol) pada setiap pukul 05.30. Tentu yang ia maksudkan adalah perjalanan rutinnya mengemudi Terrano silver B 1167 QU dari rumahnya di Villa Bintaro Regency, Tangerang, ke kampus Universitas Trisakti di Grogol, Jakarta Barat. Seorang kawan prianya dalam halaman testimonial menyebut Amanda sebagai "tebengan sejati".

Amanda juga pecinta buku, kucing, dan film kartun, musik slow dan rock, hiphop, punk, tapi tidak suka musik indie. Film-film yang ia sukai terutama Shrek, Lion King, dan Finding Nemo.

Yang sedikit menyentak adalah buku-buku yang ia sukai: buku-buku tentang pembunuhan (about murder!) dan chick-literature.

Ada tiga kawan yang menuliskan kesannya tentang Amanda di halaman testimonial, salah satunya adalah Ronald sendiri. Kekasihnya ini menuliskan komentar pada 28 Maret 2004, dengan nada datar. "Amanda... rumah jauh. (kalo dari rumah gua sih) ato rumah gua yang jauh yah? Baik. Makan lumayan banyak. Kalo jalan ama dia, gak usah bawa jam. Mau tau kenapa. Tanya aja ama orangnya. Mirip Becky Tumewu atau Ivy Batuta yah? Baek. Baek. Baek. dan Baek."

Itulah komentar Ronald tentang Amanda. Komentar yang mengesankan keakraban mereka sejak awal.

RonaldRonald mendaftar di Friendster sejak Maret 2004. Bahkan, ia masih mengunjungi halamannya pada hari Kamis 29 Juli atau sehari setelah ia membunuh Amanda. Ia memang lebih aktif dari Amanda. Sejauh ini, Ronald telah memiliki 173 kawan, termasuk sang kekasih sekaligus korbannya, Amanda.

Ronald yang berkacamata memajang lima buah foto. Foto utama berupa foto hitam putih separuh badan, memegang gitar seperti tertidur sembari menoleh ke kanan. Juga ada fotonya yang tengah tersenyum gembira, berada di atas pohon mengenakan celana bermotif macan tutul, serta sebuah foto tengah memegang papan selancar di sebuah pantai.

Anehnya, Ronald menyebut statusnya masih terbuka. Ia menyukai segala jenis musik, termasuk yang disebutnya musik gondang dan tagading. Ia juga senang membaca komik, cerita Tarombo si Raja Batak, buku sejarah bergambar 30 Tahun Indonesia Merdeka, dan Alkitab. Film-film yang disenanginya adalah Titanic, The Passion of The Christ, The Bodyguard serta film-film dokumenter. Ia menyukai program televisi "yang tidak mengganggu kesehatan jiwa dan raga".

Dari 33 kawan yang menuliskan kesan tentang Ronald, salah satunya adalah Amanda. Dan, inilah testimonial Amanda tentang Ronald yang ia tuliskan pada 2 April 2004: "Kesan pertama baru kenal dia sih serem. Pas udah kenal ternyata serem banget! Apalagi kalo 1 (satu -Red) mobil bareng dia, trus di depan ada metromini ngetem. Tanpa malu-malu dia langsung buka kaca mobil terus ngegedor-gedor mobil sambil teriak-teriak dengan bahasa leluhurnya "Hei, minggir kau!" langsung jiper gua... Tapi kalo gak ketemu metromini ngetem dia sih orangnya baik. Mau nolongin orang. Diajak serius bisa, diajak gokil bisa. Cuma satu jeleknya: biang telat! Haram hukumnya buat Ronald berangkat ke kampus sebelum matahari nongol. Bukan begitu bukan."

Membaca kesan Amanda ini, lagi-lagi saya menangkap nuansa betapa dekatnya mereka. Nasib berkata lain. Amanda ditemukan telah tewas dalam mobil Nissan Terrano miliknya di pinggir jalan di Bandung. Ia tewas dicekik. Tersangka pembunuhnya adalah Ronald.

.: catatan: artikel ini dimuat di Harian KOMPAS, 5 Agustus 2004