Indonesia diguyur hujan lebat di hari-hari ini. Berita-berita dari tanah air seperti basah oleh genangan. Ada sebuah kabupaten di Sumatera Selatan yang seluruh desanya tergenang air. Guntur dan hujan berselang-seling tak henti.
Tapi di tengah musim genangan itu, tak kurang pula berita tentang kebakaran. Darmawan Supratisto, 36 tahun, bahkan tewas bersama istri, dua anak, dan dua pembantunya di rumah mereka di Kramatjati, Jakarta Timur, Kamis 12 Desember tengah malam. Kematian yang meninggalkan jejak maya, karena Darmawan tengah bersiap meluncurkan situs pribadinya di internet, esok harinya.
Lalu, hari ini, terdengar berita terbakarnya Hotel Cemara di Jakarta Pusat. Eh, tengah mengetik cerita ini, detik.com datang dengan berita mutakhir kebakaran di Bondowoso.
Ah, berita buruk apa lagikah gerangan yang datang dari Indonesia?
Sejak setahun terakhir, perilaku alam yang aneh memang seperti menyelubungi Indonesia. Sejak di Sekolah Dasar saya diajar tentang dua musim di khatulistiwa: kemarau April-Oktober dan musim hujan Oktober-April. Begitu setiap tahunnya, sepanjang masa, karena Indonesia berada di pertemuan lintang bumi.
Tapi semua pelajaran itu kini tak pernah tepat. Hujan dan terik tak lagi setia pada musim. Bulan Mei lalu, misalnya, banjir menggenangi sebagian Jakarta. Sungguh aneh karena seharusnya ibukota, dan kawasan sekitarnya sudah memasuki kemarau. Dan banjir kembali menggenangi beberapa bagian kota ini. Ada pula banjir kiriman di siang terik di awal Mei. Ini banjir di musim kemarau.
Sebelumnya, ketika hujan tak henti-hentinya turun beberapa bulan lalu, beberapa bagian kota Jakarta malah dilanda kebakaran hebat. Pasar Tanah Abang dan sejumlah pasar lain, musnah dilalap api. Perumahan warga di banyak tempat juga hangus. Lalu kini, kebakaran datang di bawah siraman hujan. Ini kebakaran di musim hujan.
Jika petuah para leluhur masih bisa dipegang, perilaku alam yang terbolak-balik adalah pertanda kemurkaan semesta pada perilaku manusia. Dalam kisah para nabi pun petaka alam datang pada kaum yang biadabnya tak alang kepalang. Bahkan salah satu pertanda kiamat dalam kitab suci adalah datangnya perubahan dahsyat pada semesta, setidaknya terlihat dari bumi: terbitnya matahari dari barat.
Banjir di musim kemarau, dan kebakaran di musim hujan. Tanda-tanda apatah gerangan?
Tahun ini Indonesia menapak tahun kelima reformasi. Pemilihan umum tinggal beberapa bulan. Mahasiswa tentu akan kembali turun ke jalan-jalan. Tapi teriakan mereka hanya akan tersisa di tenggorokan, tak bergema ke ruang-ruang pengelola negara.
Lima tahun reformasi. Lima tahun ketidakpastian. Adakah banjir di musim kemarau dan kebakaran di musim hujan jadi pertanda kemurkaan alam pada manusia di negeri ini?
Mungkin semesta memang punya keanehan sendiri. Tapi jangan-jangan Orde Baru yang dicaci itu malah lebih baik -- sebuah prasangka yang mulai tumbuh di benak banyak orang. Tutut, putri Pak Harto sudah maju sebagai kandidat presiden. Dan reformasi yang kian kehilangan daya juangnya itu sudah jauh di jalan surut.
Jadi, jangan salahkan alam bila Indonesia kembali menuai perilaku semesta yang tak lazim: banjir di musim kemarau dan kebakaran di musim hujan.
arungtasik@any-mail.co.uk
No comments:
Post a Comment