Tongkat itu entah di mana kini. Di masa hidupnya, ayahku merautnya dengan ketelitian seorang empu. Batangnya ia pilih dari kayu hitam --benar-benar hitam-- dengan bilur coklat berlekuk yang menambah perbawanya. Pada pangkal atas, ia tambahkan gagang dari bahan yang istimewa: tanduk rusa jantan hasil buruannya sendiri. Pada ujung tongkat yang mengecil, pada bagian yang menjejak tanah, ada lingkar putih seperti cincin, juga dari tanduk rusa.
Mendiang ayahku meraut tongkat itu untuknya sendiri, dengan cita rasanya sendiri, di usianya yang senja dan mulai tersengal-sengal bila berjalan kaki. Ia bahkan tak kuat lagi mendaki. Saya tak tahu benar, kekuatan apa gerangan yang membuatnya masih mampu membuat tongkatnya sendiri, yang ia buat begitu indah. Sebagai orang Toraja, ia memang terampil mengukir --ia punya pisau ukir-- kegiatan yang konon ditekuni semua anak kecil pada masanya di Madandan, kampung halaman ayahku.
Kenangan itu masih tertanam di benakku, meski lamat-lamat. Usiaku saat itu baru tujuh tahun, setahun menjelang kepergian ayahku dalam sunyi di Malabo, dalam perjalanan antara Mambi ke Polewali. Sepeninggalnya, tongkat dengan lingkar cincin tanduk rusa itu diserahkan ibuku ke seorang kerabat ayahku di Madandan, dalam sebuah kunjungan ke Toraja.
Sejak itu, saya tak pernah lagi melihatnya. Tongkat itu hanya tegak dalam kenanganku, dengan bayangan tubuh besar ayahku bertelekan pada gagangnya.
Hari-hari ini, tongkat itu kerap melintas lagi di benakku. Di London ada banyak manusia tua yang mengenakan tongkat berkelayapan di mana-mana. Tongkat bahkan seperti jadi penanda usia yang kian senja. Orang-orang dengan tubuh kian melengkung itu tak kuatir sedikit pun berjalan sendiri menembus dinginnya udara di akhir musim gugur yang membekukan. Berdesakan di halte, beriringan naik ke bis, atau sekadar berkeliling toko serba ada Marks and Spencer.
Selain dengan tongkat, orang-orang tua --juga mereka yang cacat-- juga kerap bepergian dengan kursi roda elektrik yang digerakkan hanya dengan colekan pada tuas kontrolnya di ujung jari. London benar-benar tempat yang ramah bagi para gaek dan penyandang cacat tubuh.
Bisa jadi karena di negeri ini, orang-orang tua dan orang cacat (disabled) mendapat penghormatan dan pelayanan yang tidak biasa. Untuk mereka tiket kereta dan bis disediakan gratis seumur hidup, hanya dengan melapor ke pemerintah lokal.
Di Inggris, ada 8,6 juta orang cacat aneka tuna. Pemerintah membelanjakan 50 juta pounds (sekitar Rp 750 miliar) setiap tahun untuk kenyamanan mereka. Pada setiap ujung trotoar jalan, ada undakan khusus untuk kursi roda. Seluruh bis dalam kota dilengkapi ruang untuk dua kursi roda, kursi rendah untuk orang-orang tua bertongkat, dan juga kemudahan yang tak kutemukan di tempat lain: ketinggian pintu bis bisa dinaik-turunkan sampai sejajar dengan pinggir trotoar agar kursi roda --berlistrik atau tidak-- bisa dengan mudah meluncur ke dalamnya, agar pak tua bertongkat mudah melangkah. Seluruh fasilitas umum senantiasa dibangun dengan kemudahan akses untuk mereka.
Kemarin, seusai menonton film Love Actually di Bioskop UIC di Surray Quays, saya terhenyak melintasi deretan depan layar. Ada dua kursi roda dengan tubuh besar di atasnya masih menatap ke layar. Keduanya pria, menempati lekukan kecil di deretan paling depan yang memang dibuat khusus untuk mereka yang cacat.
Saya bersyukur dilahirkan dengan tubuh yang lengkap. Tapi melihat pemandangan itu, saya begitu mengagumi pemerintah negeri beribu mil dari tanah leluhur saya ini. Mereka begitu beradab: memberi ruang besar bagi kegembiraan orang-orang penyandang tuna itu.
Inggris dan seluruh daratan Eropa, menjadikan tahun 2003 sebagai European Year of the Disabled. Di benua inilah, orang cacat selalu punya penopang untuk setiap kekurangannya. Di bawah Disability Discrimination Act (DDA), negeri ini juga memberlakukan aturan yang ketat untuk menyenangkan mereka. Misalnya, sejak 1 Oktober 1999, semua perusahaan di negeri ini harus menyediakan fasilitas pelayanan khusus untuk mereka. Juga kelonggaran untuk bekerja.
Tidak sekadar membuat aturan yang memaksa, Inggris juga berkampanye untuk merebut hati orang-orang normal agar tak memandang mereka sebagai orang yang kurang. "Is a disabled person only half a person?" Begitu pertanyaan yang tercantum di banyak halte, pada poster dalam ukuran besar di seantero negeri.
Tidak siang, tidak malam, saya melihat orang-orang berkursi roda menyeberang jalan dengan riang, atau orang-orang tua bertongkat kayu oak berpindah bis tanpa tersengal-sengal. Seperti ayah saya.
Ah, ingatan saya kembali menukik ke masa silam. Pada mendiang ayahku, juga pada tongkat dengan lingkar cincin tanduk rusa pada pangkalnya.
arungtasik@any-mail.co.uk
No comments:
Post a Comment