Malam pergantian tahun ini kami rayakan di seberang Sungai Thames. Ini catatan istriku.
Dentang Big Ben dan Indonesiaku
Di kaki Big Ben saya berada. Ketika jam raksasa di pucuk menara Gedung Parlemen itu pertamakali berdentang di 2004, saya dan ratusan ribu pengerumun bersorak. Pada detik-detik itu, massa serentak menghitung mundur, "Nine, Eight, Seven..."Namun di antara gemuruh itu, ada teriakan sumbang yang membuat orang menoleh. Itulah suara saya dan sepuluh sahabat setanah air yang menjerit dalam bahasa Indonesia, "Sembilan, Delapan, Tujuh..."
Histeria bergulir saat dari seberang Sungai Thames, bianglala London Eye memercikkan kembang api dari setiap bola mata kereta gantungnya. Langit di atas Sungai Thames serta merta berpijar oleh warna-warni kembang api.
Sekumpulan turis Spanyol membawa gitar dan memainkan musik flamingo. Wajah-wajah aneka bangsa larut dalam keriaan itu. Tapi yang paling saya perhatikan (dan waspadai!) adalah gerombolan pemuda Inggris dengan anggur, wiski atau sampanye di tangan. Mereka berteriak-teriak kesetanan, menendang botol bekas minuman dan --ini yang berbahaya-- melempar mercon ke kerumunan orang. Saya langsung teringat hooligan yang identik dengan kerusuhan dalam pertandingan sepakbola Inggris.
Kemeriahan merayap dari segenap penjuru London dan memuncak di kawasan Trafalgar Square, Parliament Building hingga Westminster Bridge. Jalan-jalan ditutup. Polisi dengan rompi kuning bertebaran di setiap sudut. Wajah mereka ramah tapi tetap tegas menghalau orang yang mendekat ke Downing Street Nomor 10, rumah dinas Perdana Menteri Tony Blair, 200 meter dari Big Ben. Massa boleh melintas, tapi tak boleh berhenti, apalagi berkerumun di situ.
Saya segera terkenang Jakarta. Dimana ada kerumunan, di situ ada kerusuhan. Dari pertunjukan musik, pertandingan sepakbola, kampanye Pemilu hingga ke gerombolan pelajar pulang sekolah. Semua kerap berbuntut tawuran. Massa Jakarta juga gemar memanfaatkan keramaian sebagai momen untuk melanggar hukum. Dari menerobos aturan lalu lintas hingga tindak kriminal penjarahan.
Tapi tidak di London. Setidaknya yang saya temui tadi malam. Bapak dan ibu polisi di sini --yang tak membawa pistol dan pentungan seperti di Indonesia-- tampil sebagai pelayan publik. Dengan wajah ramah, mereka mengatur jalan, memberi informasi dan, bahkan, berfoto bersama sejumlah turis. Sungguh, tak perlu repot-repot mengusung spanduk Damai itu Indah untuk dicintai rakyat. Apalagi kalau definisi "damai" adalah membebaskan pelanggar lalu lintas yang menyelipkan fulus.
London tadi malam tak cuma ada polisi yang ramah, tapi fasilitas transportasi yang terjamin demi kenyamanan warganya pulang seusai pesta. Pemerintah lokal pada malam tahun baru menyediakan transportasi publik ekstra. Dan gratis! Warga bebas naik kereta, tube (kereta bawah tanah) hingga bis dari jam 1 hingga 5 pagi tanpa perlu membeli tiket. Walikota Ken Livingstone tahu benar bagaimana melayani dan memudahkan kehidupan warganya.
Pikiran saya melayang ke Jakarta. Teringat keluh kesah Bapak saya via telepon, kemarin. Perjalanannya pulang pergi kantor, pekan-pekan ini, kian tersendat oleh kemacetan tiada tara akibat Bus Way dan perpanjangan waktu Three in One.
Ah, Indonesiaku! Selamat Tahun Baru!
Andari Karina Anom
Thursday, January 01, 2004
Selamat Tahun Baru
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment