Baru sepuluh hari saya di London. Seminggu lamanya beradaptasi dengan perbedaan waktu tujuh jam, dan sekarang sudah mendingan:siang tidak lagi ngantuk, dan tengah malam tidak melek.
Dari Lewisham, tempat tinggal kami yang mungil, Greenwich tak seberapa jauh, setengah jam perjalanan dengan bis. Greenwich, sebuah kawasan di London yang jadi patokan waktu dunia. Sebuah toko menulis slogan di singkap depan bangunannya: the first shop in the world.
Udara di sini mulai dingin, sampai-sampai harus memakai baju berlapis-lapis.
Kian hari, saya kian menyadari, London adalah kota seperti kota dalam cerita dongeng: luas, ramai, tapi sangat tertib. Tidak kelihatan polisi lalu lintas, tapi warga kota begitu tertib di jalan. Jalan-jalan sempit, bukan empat jalur seperti di Jakarta, tapi tidak pernah macet. Ke mana-mana, tinggal pakai satu tiket saja, yang berlaku sehari, seminggu, sebulan atau setahun.
Sedikit lebih mahal, naik kereta atau tube (kereta bawah tanah). Kereta bawah tanahnya benar-benar di bawah tanah: 100 meter dari permukaan. Melihat semua yang terasa baru ini, memori saya selalu berputar ke belakang, wahai, jauh amat engkau mengitari kulit bumi ini.
Pekan lalu, saya ke Central London, langsung ke Trafalgar Square -- akan saya ceritakan kemudian --sebuah tempat lapang yang berhadapan dengan museum nasional. Di museum ini ada lukisan dari tahun 1200 sampai awal abad 20.
Saya masuk bersama Karin. Gratis. Saya sempat menanyakan kepada penjaga: yang manakah gerangan lukisan tertua di sini. Lelaki penjaga itu pun ternyata tak begitu pasti: "masuk ke ruangan depan itu, dan belok ke kiri," katanya.
Lukisan itu bertahun 1260-an, tapi keterangannya tak begitu lengkap. Berupa goresan cat tanah liat yang tak lagi utuh di atas lempeng kayu, lukisan itu tampaknya sisa dekorasi dalam gereja entah di mana.
Betapa Inggris begitu menghargai tradisi dan kebudayaannya yang berjalan di atas rel waktu yang begitu panjang. Dan kini, saya ikut menikmatinya.
Keluar dari sana, dengan bis kota, kami melintasi London Bridge, jembatan London yang terkenal membelah Sungai Thames itu. Airnya memang tidak kali di Mambi, tapi ia tak sungguh kotor.
Minggu 9 November, saya ke Istana Buckingham, tempat tinggal ratu yang sangat megah itu. Di sekelilingnya ada taman-taman tempat berkuda, dan saya ke taman itu. Ada juga taman besar yang menjadi tempat berdemo. Melintasi St James Park, kami berjalan menuju Hyde Park yang sudutnya terkenal sebagai Speaks Corner. Guguran bunga marbel berwarna kuning tua cerah di taman luas itu mengingatkan saya pada salah satu hiasan wallpaper di Microsoft Wondows XP.
Hari Minggu, ada demo di sana. Ada yang sekadar teriak-teriak, sendirian, ada yang bahasa Arab. Ada juga yang datang hanya untuk membantah.
Saya pulang, kembali naik bis kota. Tentu di lantai atas, memandang gedung-gedung tua yang apik dan terpelihara. London kembali berselimut gelap dengan lampu-lampunya yang terang seperti mutiara.
Friday, November 14, 2003
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment