Saya ingat kalimat pertama sebuah novel Pramoedya (Anak Semua Bangsa, Tetralogi Pulau Buru), yang kuucapkan kembali di dalam hati: London kini terhampar di bawah kakiku. Pesawat Thai Air yang membawaku terbang 18 jam dari Jakarta berputar di atas London. Ibukota peradaban Eropa itu masih lelap di dinihari, pukul 6.20, masih subuh di musim gugur. Agak lama, seakan hendak memberiku waktu menikmati serakan lampu yang meriah.
Lalu roda pesawat berdecit di landasan Heathrow, mendarat, penumpang turun menyusuri lorong belalai. Dan, wusssh, embusan dingin angin darat. Ini angin London di ambang musim dingin.
Antre panjang di imigrasi, pemeriksaan kesehatan, lalu bergerak ke meeting-point terminal tiga. Tak ada juga degup di jantung.
Lalu Karin datang dengan pelukan. Pulang ke rumah, di Ronver Road, dengan tube, kereta bawah tanah yang menembus labirin bumi.
London dengan rumah-rumah tuanya seperti pesawahan tanpa hembusan angin: tenang, pelan, dan damai.
Tuesday, November 04, 2003
Selamat Datang
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment