Wednesday, July 07, 2004

Ke Jerman, Berkereta di Ladang Gandum

Kereta ini sembilan gerbong, dan kami ada di gerbong kelima. Di tengah gerimis yang membasahi Paris kereta ini meninggalkan Stasiun Gare de L'est menuju ke timur.
 

LouvreKereta berderak, tak ada pemeriksaan apa-apa. Inilah salah satu perjalanan terindah yang kami jalani. Enam jam berkereta menuju  Stuttgart adalah enam jam perjalanan tanpa memejamkan mata. Saya duduk dekat jendela, Karin di tengah.
 
Kereta berderak melewati desa-desa kecil, membelah ladang-ladang gandum yang terserak di sela-sela hutan lindung, peternakan sapi, domba juga danau-danau kecil. Di pertengahan musim panas ini, gandum-gandum tengah siap panen, sebagian bahkan sudah dipetik. Peladangan itu membentang luas hingga ke kaki bukit di kejauhan. Warnanya kuning emas tertimpa terik matahari. Seperti ladang kencana dalam dongeng-dongeng masa kecil.
 
Satu dua rumah penduduk dengan kastil menjulang di tengahnya, tampak seperti terselip di tengah ladang-ladang gandum ini. Kian ke timur, kian matang gandum-gandum ini. Di sebagian tempat malah sudah dipanen. Merangnya digulung, seperti roda pedati raksasa yang berwarna keemasan.
 
Ketika tiga jam kemudian kereta berhenti di Nancy, saya baru sadar, ini masih kawasan Perancis. Sekilas saya memandang kota ini, kota yang seperti karib di telinga saya, tapi tak kunjung saya jejaki. Nancy berada di areal pemukiman tidak rata dari bukit ke lembah.
 
Lalu kereta berjalan lagi. Ladang-ladang gandum telah jarang. Tapi kini, kereta meliuk-liuk di daerah pegunungan. Setelah kota Saverne, yang tampak adalah hutan dan pegunungan. Kereta keluar masuk terowongan menembus perut gunung.
 
Pada sebuah stasiun kecil, saya membaca nama desa kecil itu: Mommenheim. Kereta ini telah masuk ke wilayah Jerman. Dan benar, 15 menit kemudian, kereta ini berhenti di kota Strasbourg. Dan setelah itu, kota-kota Kohl, Baden-Baden, Karlsruhe, Bruchsal. Menjelang petang, meski matahari musim panas masih bersinar dengan teriknya, kami tiba di stasiun Stuttgart. Ya, tepatnya: Stuttgart Hauptbahnhof.
 
Tulisan-tulisan berbahasa Jerman sungguh tak kumengerti sama sekali. Dan bahkan lelaki di bagian informasi stasiun pun tak bisa berbahasa Inggris. Jadilah bahasa purba -- bahasa isyarat dengan satu dua kata -- jadi pengantar. Tapi kota Mercedes ini sungguh menggoda. Maka sejak detik itu, kunikmati saja kota ini. Esok hari, akan kuceritakan tentang Stuttgart dengan segenap pesonanya.
 
(terima kasih untuk Mas Kalis dan Mbak Iin sekeluarga atas tumpangan apartemennya yang asri di Esslingen)

No comments: