Saturday, July 03, 2004

Lelaki di Val de Fontenay

Ia telah menunggu di bangku tengah Stasiun Val de Fontenay ketika kereta kami tiba. Saya segera mengenalnya, wajah lelaki 70 tahun yang saya kenal pertama kali di Jakarta, setahun silam. "Baru 20 menit kok," katanya ramah. Sobron Aidit, lelaki tua ini tak berubah banyak meski pada wajahnya ada gurat letih. Ia agak gemuk, tapi masih menyisakan kegagahan masa lalu. Ia masih mengingat pertemuan kami -- bersama Karin dan Jajang Pamuncak -- di Jamz Pub, Jakarta.

Sobron AiditDan kini, di sebuah stasiun di timur kota Paris, kami bertemu lagi. Dari London saya menyeberang ke Eropa daratan ini dengan kereta Eurostar yang melewati terowongan bawah laut yang terkenal itu: Euro Tunnel. "Sehat Om?" dia tertawa, ramah sekali. Saya memanggilnya Om, seperti panggilan Karin yang pernah mengunjunginya di Paris, beberapa tahun silam.

Kami berjalan keluar stasiun, menuju halte bis. Udara Paris musim panas sedikit menggerahkan. Sobron membuka jaket. Tak lama kemudian, bis bernomor 124 pun datang. Kami berebut dengan sejumlah orang Afrika yang berjubah warna-warni. Hanya dua kelokan, dan apartemen Sobron di kaki bukit itu telah tampak.

Ia sendirian di apartemen ini, 15 Rue Guynemer, Fontenay Sous Bois. "Ini rumah pembagian untuk pensiunan," katanya. Dua anaknya, tinggal di Amsterdam. Maka dalam sebulan, ia selalu bepergian di antara dua negara itu: Belanda dan Perancis. Apartemen Sobron terbilang sederhana. Di ruang tamu, ada rak buku dengan novel-novel lama berderet di atasnya: Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, Umar Kayyam, Seno Gumira Ajidarma, juga buku-buku berhuruf Mandarin. Sekilas saya menangkap kerinduan Sobron pada tanah airnya, Indonesia. Saya menarik sebuah novel tipis. Penulisnya Paula Gomes, warga negara Belanda beribu Jawa. Sudahlah, Biarkan Saja, begitu judul novel ini, yang bercerita tentang kerinduan Paula pada Indonesia, tempat lahirnya.

Saya mengabarkan meninggalnya sastrawan Mochtar Lubis dan bekas Perdana Menteri Soebandrio, Jumat 2 Juli lalu. Kabar yang juga saya baca di media online tanah air. "O ya?" hanya itu reaksinya. Tak kelihatan ia merenung-renung. Ia tidak terkejut. "Mereka sudah tua ya."

Tapi ia bercerita juga tentang Soebandrio. Alkisah, saat pengadilan militer menjatuhkan hukuman mati atas gembong G30S/PKI, Letnan Kolonel Untung, Soebandrio sempat mengucapkan salam padanya. "Sampai ketemu di sana ya," kata Soebandrio kepada Untung. Ia juga dihukum mati. Beruntung bagi Soebandrio, Presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter dan Ratu Belanda, Elizabeth berkirim surat ke Suharto, meminta tokoh ini tidak dihukum mati.

Menjelang makan siang ia juga bercerita tentang kakak kandungnya, DN Aidit. "Usia kami terpaut 11 tahun. Ahmad itu anak didik Bung Hatta yang paling disayang," kata Sobron. Ia menyebut DN Aidit sebagai Ahmad. "Itu nama aslinya, Ahmad Aidit. Nama Dipa Nusantara Aidit itu baru muncul setelah ia mengirim proposal ke ayah. Itu alasan politik saja," katanya seraya tertawa.

Menjelang sore di apartemen Val de Fontanay. Di ruang tamu, lagi-lagi saya menatap foto hitam putih berbingkai kayu di atas lemari, foto Sobron muda bersama mendiang istri dan dua anaknya. "Itu foto di Peking tahun 1964. Sudah 40 tahun," katanya.

Sobron berada di Peking (sekarang Beijing) ketika pecah peristiwa 11 September 1965. Ia menjadi profesor ilmu-ilmu tentang Indonesia di sana. Kakaknya, DN Aidit, tewas tertembak di Boyolali. "Untung saya di Peking, kalau tidak, saya tertembak atau dibuang juga ke Pulau Buru," katanya. Sejak itu, ia tak pulang lagi. Ia kemudian pindah ke Perancis 23 tahun silam. beruntung, ia segera mendapat hak kewarganegaraan, juga membuka restoran Indonesia yang laris di kawasan Luxembourg, pusat kota Paris.

Di masa orde Baru, ia tetap menulis ke media-media di Indonesia dan di mana-mana dengan nama samaran. "Saya punya 25 nama samaran selama 32 tahun," katanya tertawa. Dengan paspor Perancis ia juga sudah beberapa kali berkunjung ke Jakarta. Sobron kerap menerima tamu orang Indonesia, wajah-wajah yang memuaskan kerinduannya ke tanah airnya itu. Juga saya yang datang dari kota London.

Sore itu, ia melepas kami yang hendak berpesiar ke pusat kota Paris. benar kata Sobron, tidak sulit menjelajah kota ini bagi mereka yang telah terbiasa bepergian di kota London. Kereta bawah tanah Paris, Metro mirip dengan Tube di kota London. Bedanya, Metro juga adalah kereta api permukaan yang di banyak jalur menyelam ke kedalaman bumi.


Arc de Triomphe di ujung Champs ElyseesSaya menikmati matahari senja kota Paris dengan menyusuri Champs Elysees dari ujung ke ujung, berjalan kaki perlahan-lahan dari arah Musee du Louvre ke ujungnya yang lain di tempat Arc de Triomphe kokoh berdiri menantang angkasa. Permukaan bata Champs Elysees mengingatkan saya pada cerita Alexander Dumas tentang Count of Monte Cristo. Di atas jalan inilah, berabad silam, roda kereta berkuda sang pelaut berderak menjemput Mercedes, sang kekasih, juga mencari lawan-lawan lamanya.

Malam telah turun ketika kami tiba di stasiun Invalides, berkereta bawah tanah menuju Chatelet Les Halles dan berganti kereta menuju Val de Fontenay. Di sana, Sobron Aidit telah menunggu kami dengan ramah, bercerita panjang dan melanjutkan mimpi tentang Indonesia.

2 comments:

Anonymous said...

Koreksi:
1. Elizabeth - Ratu Inggris bukan Belanda
2. Peristiwa 30 September 1965, bukan 11 September.

Anonymous said...

Adakah benar PKI betul betul memaksa rayat marhain memijak Quran di kampung umat Islam?
bagaimana ucapan dan dokongan Tan Malaka yang mahukan PKI menjadikan Pan Islamism sebahagian dari teras gerakan PKI?
Adakah Sobron seorang atheist atau hanya pendokong gerakan sosialism yang menetang sistem kasta dalam masyarakat di Nusantara?
Adakah Sobron berkesempatan berjumpa dengan pimpinan Parti Komunis Malaya seperti Musa Ahmad dan Shamsiah Pakeh semasa di Beijing dan apabila mereka ini dibuang diusir diera Cultural Revolution?