Sunday, July 04, 2004

Rintik di Kaki Eiffel

Hujan mengguyur Paris sepanjang hari ini. Puncak menara Eiffel samar dalam awan dan cahaya redup matahari. Saya tidak tahu ini masih disebut pagi, sepanjang musim panas matahari telah bersinar terang sejak sebelum pukul lima dinihari. Malam juga datang telat, baru gelap di atas pukul 10 malam.


EiffelKutempuh juga hujan-hujan kecil itu, rinai yang membasahi bahu bajuku. Kami turun di Stasiun Champ de Mars, stasiun terdekat ke Eiffel. Warga Paris mengenalnya sebagai Stasiun Tour Eiffel karena letaknya yang hanya 100 meter dari kaki menara landmark ibukota Perancis itu.

Di sana, di kaki menara, barisan manusia sudah berkelok-kelok. Hujan yang mengguyur kota tak menghalangi mereka, demi menjenguk pelataran atas dan memandang seluruh kota.

Setiap kaki menara seperti tungkai besi yang kukuh menginjak sebuah gedung. Di setiap kakinya ada elevator bersusun. Elevator itu membawa pengunjung ke puncak. Di kaki lainnya, ada tangga untuk mereka yang hendak menjejak pelataran pertama saja.

Tapi kami urung bergerombol dalam antrian. Bagaimana menikmati puncak Eiffel di tengah hujan seperti ini? Kami ke pelataran depan saja, sejauh 500 meter bersama orang-orang yang hendak berfoto berlatar menara. Ada tukang-tukang foto langsung jadi yang menawarkan jasa.

Dari Eiffel, kami kembali ke Champs Elysees Avenue, masuk satu dua toko busana, pameran mobil Perancis Peugeot yang menampilkan si garang Hoggart yang baru dijajal di gurun Afrika, lalu mengayun langkah ke arah Arc de Triomphe. Sungguh kunikmati berjalan di trotoar lebar ini, bergerak bersama ribuan pengunjung Paris yang tiada henti. Di seberang Arc de Triomphe, lagi-lagi saya takjub memandang tugu besar ini: sebuah bangunan raksasa yang mengangkangi jalan.

Saya selalu ingat bayangan tugu ini yang berpendar di malam hari. Televisi-televisi Indonesia menayangkannya berkali-kali ketika Perancis memenangkan Piala Dunia Sepakbola 1998. Sebuah spanduk raksasa dibentangkan di atasnya, menyambut Zinedine Zidane dan kawan-kawan. Saya kini berdiri di bawahnya. Bayangan sekelompok manusia dan kilat lampu kamera terlihat jauh di puncaknya.

Arc de Triomphe berdiri di tengah lingkaran jalan berbatu, seperti jalan kereta di zaman Romawi. Ia juga jadi titik pusat simpang 13 jalan ke seluruh penjuru Paris. Terutama kendaraan yang datang dari arah Champs Elysees yang hendak menuju Avenue de La Grande Armee dan terus Charles de Gaulle Avenue dengan menyeberangi Sungai Seine, akan mengitari tugu ini. Ada banyak tempat di Paris seperti ini. Entah mengapa kota Paris seperti kumpulan rumah-rumah di jalan-jalan yang bertemu di satu persimpangan. Ada persimpangan 10 jalan, 11, 12 dan ini yang terbanyak: 13 jalan.

Kami tak meneruskan langkah ke seberang. Berbalik, naik bis sembarang nomor menuju ujung Champs Elysees yang lain. Di sana ada Musee de Louvre, museum yang jadi rumah bagi Monalisa, lukisan terkenal Leonardo da Vinci. Senyum Monalisa telah memikat jutaan orang dari seluruh dunia dan datang ke Louvre.

>LouvreGerbang museum ini berupa bangunan kaca segitiga tepat di pelataran. Di bawah rintik hujan, ratusan orang juga tampak masih setia mengantri, berkelok-kelok. Paviliun-paviliun bangunan museum berdiri megah mengitari pelataran dalam kemegahan yang menyilaukan. Lagi-lagi, kami memutuskan untuk menikmati Louvre dari luar saja, seperti ratusan orang lain yang duduk-duduk saja di pelataran.

Menjelang sore, kami kembali menyusuri jalur kereta itu, ke Val de Fontanay. Hari ini final Euro 2004. Teramat sayang untuk dilewatkan.

No comments: