Wednesday, January 28, 2004

Butir-Butir Putih yang Melintas di Jendela

Angin Antartika yang ditunggu-tunggu itu pun tiba di London. Tengah malam, butir-butir putih berluruhan melewati jendela kamar. Pagi tadi, pucuk-pucuk rerumputan di Northbrook Park, taman bermain anak-anak di sudutnya, dan mobil-mobil yang masih terparkir di badan jalan, memutih seperti berselubung kapas. Tipis, tapi inilah pertanda angin dari benua es Antartika telah tiba di London.

Salju di Nortbrook ParkUdara tepat di titik nol, tapi ramalan cuaca menyebutkan, angin membuat udara terasa seperti minus enam di luar rumah. Langit amatlah bersihnya, matahari bersinar seperti tiada perintang. Dan sejak pagi-pagi benar, mobil kebersihan taman berkeliling menaburkan garam coklat agar salju tak melicinkan jalan beraspal.

Saya menyambut hari pertama salju di London dengan segelas cappucino dan semangkuk kecil sereal.

Di luar London tentu jauh lebih dingin. Di daerah Yorkshire dan Lincolnshire, salju bahkan menyebabkan kecelakaan bis. Di Scotland dan Northern Ireland, salju menebal sampai 15 sentimeter.

Dibanding tahun-tahun silam, tahun ini cuaca London relatif bersahabat. Seperti hari ini, salju hanya meluruh tengah malam hingga pagi hari, lalu cahaya matahari kembali menguapkannya. Tapi beranjak siang, butir-butir putih itu kembali meluruh amat lebat -- juga teramat indahnya. Malam hari, salju seperti ditumpahkan dari langit. Ronver Road tertutupi sampai setebal lima buku jari. Tetangga berteriak, maklum, salju tidak setia datang ke London setiap tahun. Puncaknya diperkirakan pada hari Sabtu, tiga hari lagi.

Meski diramalkan tidak akan menjadi badai, pemerintah setempat mengeluarkan peringatan: salju bisa menyebabkan kerugian senilai jutaan pounds akibat membekunya pipa-pipa gas kendati mereka telah menyiapkan ribuan ton garam untuk mencairkan salju di jalan-jalan. Itu bisa dialami satu dari lima rumah tangga. Pekan ini, seperti diberitakan BBC, British Gas meramalkan akan menerima 20.000 panggilan darurat. Tahun lalu, hari terdingin yang terjadi pada 8 Januari 2003, British Gas menerima 15.000 panggilan.

Salju di London memang menyenangkan, meski punya sejarah kelam dan belum dilupakan warga kota ini. Setelah musim dingin yang sangat beku di tahun 1740, musim terdingin di abad 20 di London dan seluruh Inggris adalah di tahun 1962-1963.

Topan salju dan angin dingin datang di tengah kegembiraan berbagi kado di Boxing Day, sehari setelah Natal 1962. Tapi itulah awal hari terpanjang London berselimutkan salju. Tiga bulan lamanya London seperti beku. Hamparan es mengambang di sungai-sungai dan danau. Orang-orang bermain ski di hulu Sungai Thames. Salju juga menyebabkan 400 pertandingan sepakbola ditunda.

Musim dingin dengan salju berat yang juga masih diingat warga kota ini terjadi tahun 1991. Saat itu sekolah-sekolah diliburkan. Pusat belanja Bluewater yang berisi 300 toko dan restoran dan didatangi sampai 80.000 pengunjung setiap hari, ditutup untuk umum.

Akibat terbesarnya tentu saja pada lalu-lintas darat dan udara. Jalan yang melicin menjadi biang kecelakaan, dan kendaraan-kendaraan lebih banyak terperangkap macet. Jalur kereta api lebih kacau lagi gara-gara penundaan dan penutupan jalur. Heathrow, lapangan terbang tersibuk di dunia itu membatalkan ratusan pendaratan dan penerbangan dalam sehari.

Untunglah, tahun ini salju diramalkan tak seberat itu. Dengan begitu, saya tentu bisa menikmatinya dari kamar: luruhan butir-butir putih di jendela, sembari menikmati segelas cappucino di pagi hari.

arungtasik@any-mail.co.uk

Friday, January 23, 2004

Jagat Raya dari Kursi Roda

Cambridge tersentak, dan tentu juga para ilmuwan di seluruh dunia beberapa hari mendatang. Stephen William Hawking, guru besar Cambridge University yang terkenal itu dikabarkan dalam kondisi mengenaskan, penuh memar dan menderita penyakit baru yang mengkhawatirkan. Ia kini terbaring di rumah sakit Addenbrooke, Cambridge. Yang lebih menghentak lagi, parahnya Hawking akibat ulah istrinya sendiri, Elaine.

Hawking dan ElaineSurat kabar Daily Mirror terbitan Kamis 22 Januari memajang berita itu di halaman depan. Seorang anggota tim perawat Stephen Hawking bercerita, ia melihat Elaine menyiksa suaminya dalam banyak kesempatan. Ia, misalnya, menyerang lelaki bertubuh ringkih ini, mencukur misainya dengan kasar sehingga pisau menyayat kulitnya. Bahkan ada dugaan, ia mencecokinya dengan obat yang tidak benar.

Perawat yang tak disebutkan namanya itu menurut Daily Mirror tengah berada di luar negeri, dan polisi sudah memanggilnya. Elaine sendiri belum bersuara, tapi ia tampaknya akan berhadapan dengan tuntutan yang serius. Perempuan 53 tahun ini merupakan istri kedua Hawking yang ia nikahi 1995.

Kejadian ini, bila benar, tentu akan menuai sesal dari seluruh dunia. Stephen Hawking adalah ilmuwan paling penting di muka bumi yang masih hidup. Ia disejajarkan dengan mendiang Sir Isaac Newton dan Albert Einstein. Ada anekdot, jika di ranah ilmu pengetahuan masa kini harus ada seorang nabi, maka Stephen Hawking lah adanya. Mungkin berlebihan, tapi begitulah pria 62 tahun ini dipuja. Kuliah umum guru besar di Cambridge University, Inggris ini, senantiasa dihadiri para mahasiswa dan ilmuwan seperti penonton sepakbola di sebuah stadion: ramai, antre dan amat mempesona.

Lebih 40 tahun lamanya ia duduk di kursi roda setelah menderita kelumpuhan seluruh badan. Hampir seluruh anggota tubuhnya tak lagi bisa lagi dikontrol oleh pikirannya. Beruntung bagi Hawking -- juga dunia ilmu pengetahuan -- bahwa segumpal otak sang ilmuwan masih bekerja penuh, dan dari sanalah renungan-renungan tentang alam semesta mengalir.

Ia begitu terkenal setelah menulis buku laris, A Brief History of Time: From the Big Bang to Black Holes di tahun 1988. Buku ini diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa, terjual 25 juta copy dan menghasilkan tidak kurang dari 10 juta pounds untuk Hawking. Di Indonesia, buku ini sudah terbit pula dengan judul Riwayat Sang Kala.

Hawking lahir di Oxford 8 Januari 1942 dari ayahnya, Dr. F. Hawking seorang dokter dan ibunya Isobel Hawking. Ayahnya pula agaknya yang mewariskan darah ilmuwan kepada putranya. Di masa bocahnya, Hawking kerap berdua ayahnya meneropong bulan di taman rumahnya.

Di usia remaja Hawking masuk Oxford University, dan belajar fisika. Ia merampungkan gelar sarjananya di usia 20 tahun, lalu melanjutkan studi di bidang kosmologi di Cambridge University. Di sanalah, dalam sebuah pesta Tahun Baru 1962, ia bertemu Jane Wilde yang kelak, selama 25 tahun lamanya menjadi istrinya. Mereka menikah 1965.

Baru sebulan setelah pertemuan itu, ia tiba-tiba harus berkubang dengan penyakit aneh: otaknya sulit memerintah tubuhnya sendiri, penyakit yang dikenal sebagai Lou Gehrig Disease. Dokter-dokter bahkan meramalkan hidup Hawking tak kan lebih dari dua tahun. Tapi dokter bukan Tuhan. Dalam keadaan mulai tertatih-tatih, Hawking dan Jane dikaruniai tiga anak, Robert, Lucy dan Tim Hawking.

Sementara, keadaan Stephen Hawking kian memburuk. Perlahan-lahan, ia kehilangan suara, dan akhirnya seluruh tubuhnya lumpuh. Ia harus duduk di kursi roda. Kendati demikian, ia tetap memelihara semangat untuk bekerja sebagai ilmuwan. Di kursi roda, pikiran Hawking yang tetap jernih, malah kian liar mengembara. Ia tetap aktif mengajar di Cambridge, meski mahasiswanya harus lebih cermat menerjemahkan kalimat-kalimatnya.

Hawking, lumpuh tapi tetap punya rasa humor yang tinggiSebuah kursi roda elektrik dibuatkan untuknya, dan berkat ilmu pengetahuan, ketika Hawking benar-benar kehilangan suaranya, seperangkat komputer yang digerakkan dengan ujung jari dan layar tipis di depan kursi rodanya, memungkinkan Hawking bisa berkomunikasi dengan lancar. Pikiran-pikiran cemerlang tentang semesta ia sampaikan lewat suara metalik itu. Sejak tahun 1979, ia menduduki jabatan sebagai Lucasian Professor of Mathematics di Cambridge University, jabatan yang pernah diduduki Sir Isaac Newton.

Lalu lahirlah buku masterpiece itu: A Brief History of Time. Ia menulis sejarah tentang waktu!

Pikiran Hawking yang paling fenomenal adalah tentang Ledakan Besar (Big Bang) dan Lubang Hitam (Black Hole). Hawking bercerita betapa semesta ini pada mulanya berasal dari partikel yang maha padat dan memiliki energi yang tak terkirakan besarnya. Lalu terjadilah ledakan maha dahsyat pada sebuah masa 12 sampai 15 miliar tahun silam, yang menyebabkan super-inti-padat itu mengembang ke sekitarnya. Maka terbentuklah ruang, menjadi dimensi, dan kemudian lahirlah waktu. Efek ledakan itu masih terjadi sampai kini ketika semesta tetap mengembang ke semua sudutnya. Selama ledakan itu terjadi, galaksi kemudian terbentuk, planet-planet menjadi, berikut kehidupan di dalamnya.

Jejak ledakan besar itu masih menyisakan satu tempat yang misterius: Lubang Hitam. Sebuah tempat yang masih memendam energi maha besar, dengan medan gravitasi yang tak terlawankan bahkan oleh cahaya sekali pun. Seluruh materi -- termasuk cahaya -- yang melintasinya akan tertarik oleh Lubang Hitam ini dan kemudian memadat. Di kalangan awam, teori-teori ini masih terdengar seperti dongeng, tapi Hawking bisa menjabarkannya dalam persamaan-persamaan matematika dan fisika yang rumit, yang ia sampaikan lewat suara metaliknya.

Sejak berkutat dengan aneka pertanyaan soal semesta ini, Hawking sadar, ia tengah bermain-main dengan sejarah penciptaan kehidupan. "Sulit memulai pembicaraan tentang bagaimana awal semesta tanpa menyebut nama Tuhan. Saya berada di perbatasan antara sains dan agama, tapi saya mencoba untuk berdiri di sisi sains. Karena Tuhan bekerja dengan cara yang tidak mungkin digambarkan oleh hukum-hukum ilmu pengetahuan," kata Hawking. Pernyataannya ini sekaligus menepis anggapan bahwa ia atheis, sebagaimana ibunya Isobel Hawking yang menjadi anggota Partai Komunis di tahun 1930-an.

Pada akhirnya, Hawking memang berkesimpulan, ada sebuah kekuatan yang Maha-Dahsyat yang mengatur semesta ini, sejak Ledakan Besar hingga detik ini. "Semesta ini punya keteraturan yang maha presisi. Terlambat dalam sepersejuta detik saja, kehidupan yang kita alami sekarang ini mungkin tidak akan terjadi. Ada satu Dzat di balik segenap hukum-hukum fisika ini," kata Hawking.

Ia seperti menemukan Tuhan dalam sains yang rumit.

Sejak meluncurkan buku itu, Hawking benar-benar tampil sebagai selebriti. Ia berceramah di mana-mana di seluruh dunia. Bintang-bintang Hollywood seperti Jim Carrey, Kevin Costner juga Elizabeth Taylor meminta wejangannya. Kehadirannya menyihir.

Ia bisa bercerita tentang semesta dengan suara metaliknya dengan santai dan tak kehilangan rasa humor. Ketika ia harus berbicara tentang buku A Readerís Companion -- buku yang bercerita tentang film A Brief History of Time di tahun 1992, Hawking mengatakan: "Ini buku yang berbicara tentang film dari sebuah buku. Saya tidak tahu apakah juga ada rencana membuat film tentang buku yang berbicara tentang film dari sebuah buku." Kalimat yang mengundang gerrr.

Dia yang gemar musik klasik, juga tampil dalam film sains fiksi Star Trek dan kartun komedi The Simpsons. Kepada Homer Simpson yang menyebutnya orang terpandai di kolong langit, Hawking mengatakan: "Teorimu tentang semesta terbentuk dari donat sungguh menarik. Homer, mungkin saya akan menyontek teorimu itu."

Sedemikian cerdas, Hawking tidak pernah memenangkan Hadiah Nobel -- penghargaan yang menjadi mahkota bagi ilmuwan dan juga membingungkan banyak penggemarnya. Rupanya, Swedish Royal Academy di Stockholm berteguh pada syarat bahwa seorang pemenang Nobel adalah mereka yang percobaan dan temuannya bisa dibuktikan. Sementara, seindah apa pun pemikiran Hawking, tidak bisa dijelajahi manusia secara fisik. Meski percaya, tak seorang pun, juga Hawking sendiri, yang bisa menyebut letak pasti Lubang Hitam.

Tanpa Nobel, toh Hawking tetap menempati tahta sebagai sebagai ilmuwan paling terkenal di dunia, yang ketenarannya melintasi batas-batas akademis. Sayang sekali, ia tak begitu berbahagia dalam kehidupannya. Di tahun 1990, ia bercerai dengan istrinya Jane Wilde, doktor sastra Portugis yang telah 25 tahun mendampinginya. Ia kemudian menikah dengan Elaine, bekas perawat Hawking sendiri.

Kali ini ia salah memilih, Elaine telah menyiksa fisiknya begitu rupa.

arungtasik@any-mail.co.uk

Monday, January 19, 2004

Mata Hari

Di antara rak-rak koleksi audio-visual di perpustakaan kampus, saya menemukan dua kaset video yang menarik hati. Mata Hari: Unveiling the Myth, sebuah film dokumenter produksi BBC, dan sebuah film Hollywood tahun 1931 dengan judul singkat: Mata Hari.

Mata HariSudah lama saya mendengar nama ini, seorang penari Belanda dengan sedikit darah Jawa yang hidupnya bak legenda. Perempuan jelita ini pernah memainkan peran penting sebagai mata-mata Jerman di Perancis semasa Perang Dunia I (1876-1917). Tapi ia bukan sekadar mata-mata, ia sumber cerita yang tak lekang oleh masa, tentang dunia spionase bawah tanah, intrik politik, dan juga sensualitas.

Seperti judulnya, selama hampir sejam, Mata Hari: Unveiling the Myth berkisah tentang kehidupan seorang legenda perempuan di dalam dan di luar panggung. Nama aslinya Margaretha Geetruida Zelle, dengan panggilan Mígreet. Ia lahir sebagai perempuan berambut legam dan mata coklat di Belanda 7 Agustus 1876. Ia satu-satunya putri dari lima bersaudara pasangan pengusaha pembuat topi Adam Zelle dan istrinya yang --konon-- berdarah Hindia, Antje van der Meulen.

Di usia 18 tahun, Mígreet yang kemayu menikah dengan seorang serdadu Belanda, Rudolph MacLeod yang usianya terpaut 20 tahun dengannya. Awal 1897, Mígreet melahirkan seorang putra, Norman John. Tahun itu juga, mereka bertiga berlayar ke Hindia, negeri jajahan Belanda. MacLeod ditugaskan di sana.

Mereka menetap di kampung Ambarawa, dekat Semarang. Yang ia jumpai tak meleset dari keindahan yang ia sudah bayangkan. Mígreet betah. Sehari-harinya ia mengenakan kebaya dan sarung batik seperti orang-orang pribumi yang ramah. Di Ambarawa, Mígreet kemudian melahirkan lagi, kali ini perempuan yang ia beri nama Jeanne Louise. Ia memanggilnya Non.

Ketika MacLeod ditempatkan di Medan, Pulau Sumatra, dunia berbinar di depan ibu muda ini, dan ia tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia bergaul, menggelar pesta, mengenakan gaun terindah miliknya. Ia terampil bermain piano dan menari dengan gemulai. Di kalangan tentara dan pemerintah kolonial ia juga segera gemerlap sebagai perempuan yang berbicara dalam bahasa Jerman, Inggris dan Prancis sebaik bahasa ibunya, dan kini, ia juga fasih berbahasa Melayu.

Tapi kebahagiaan Mígreet cuil oleh meninggalnya Norman, putranya dengan mendadak, Juni 1899. Sejak itu, keluarga MacLeod seperti bertulah: Mígreet tenggelam dalam duka, dan suaminya yang pulang, terkubur dalam minuman keras. MacLeod menuduh istrinya sebagai biang kematian sang putra.

Mígreet yang tengah bermuram-durja beruntung bisa mengalihkan perhatiannya dengan membaca kitab-kitab Hindu, ia kerap membayangkan dirinya sebagai dewi. Di tengah perang yang masih berkecamuk di berbagai daerah di Hindia, mereka pulang ke Belanda, dan bercerai.

Mígreet kemudian mengirim Non ke panti asuhan, dan berangkat ke Paris, kota yang juga ia mimpi-mimpikan. Mígreet, yang seperti tengah berjalan menapak tubir kehidupannya, kemudian menempuh cara baru: ia menanggalkan segenap masa lalu, termasuk namanya sendiri.

Ia menjumput sebuah nama baru bagi dirinya: Mata Hari ñ nama yang kelak menjagat.

Nama Mata Hari ternyata amat bertuah, ia tak butuh waktu lama di Paris untuk menjadi penari idola. Ia mengawali pementasannya yang bersejarah di panggung gedung pertunjukan Musee Guimet, pada 13 Maret 1905. Tariannya memikat karena tidak biasa. Di panggung, Mata Hari menari dengan latar patung dewa bertangan enam dengan api yang menjilat-jilat dari pijakan kakinya. Mata Hari sendiri mengenakan busana tak lazim: sabuk dan anting-anting penuh manik dari Hindia, kain sarung panjang yang melilit pinggangnya yang semampai dan memperlihatkan pusar. "Saya menari untukmu, Siwa, seperti saya menari di ruang yang sempit dalam sebuah candi di tanah Jawa," kata Mata Hari dalam sebuah pentas, yang ditirukan Greta Garbo dalam film Hollywood berjudul Mata Hari di tahun 1931.

Dengan segera, nama Mata Hari tenar di Paris, lalu seperti gelombang dikenal publik Eropa daratan. Ia kemudian dengan mudah bepergian atas undangan ke kota-kota lain di Spanyol, Monte-Carlo, bahkan Jerman. Ia menari dengan latar musik tradisional India dengan satu dua tetabuhan gamelan. Mata Hari pun amat sadar pada pesona dirinya yang kerap ia bumbui dengan mengaku sebagai putri penari India yang melahirkannya saat tengah menyembah sang dewa. "Tarianku adalah kidung persembahan dan setiap geraknya adalah kata," kata Mata Hari.

Sayang, ia menuai ketenarannya di usia menjelang 30, usia kritis bagi seorang penari. Hanya setahun, ia kemudian dihadapkan pada kenyataan: gemulainya kian berkurang. Sampai tahun 1912 ia memang masih menari, tapi di belakang panggung, seluruh penggemarnya di kalangan elit Eropa tahu benar Mata Hari adalah seorang pelacur kelas tinggi. Ia berkencan dengan para jenderal, bangsawan, hartawan, dan juga perwira-perwira muda. Di Jerman, ia juga menjalin cinta dengan seorang pangeran.

Dalam sebuah pementasan di Berlin di tahun 1914, ia berkencan dengan seorang intel Jerman, Traugott von Jagow. Pria inilah yang kemudian membawa Mata Hari ke dunia spionase. Ia merekrut Mata Hari ñ dengan tawaran gaji ñ untuk menjadi mata-mata di Paris. Kabarnya, secara tersamar, selama 15 pekan Mata Hari belajar di akademi intelijen milik pemerintah Jerman di Antwerp, Belgia. Nama panggilannya "Si Mata Macan" dengan kode H-21.

Dan kemudian, perang pecah antara Prancis dan German. Mata Hari dikirim ke Prancis pada 4 Agustus 1914.

Di Paris inilah, dalam usia 40 tahun, Mata Hari baru menemukan lelaki yang ia cintai sepanjang hayatnya, seorang Rusia bernama Vladmir Masloff, pria tampan 21 tahun yang lebih layak menjadi putranya. Kendati Masloff kemudian buta sebelah dalam pertempuran, mereka tetap hidup dalam romantika yang membuai di Paris. Toh, Mata Hari tetap menjalani hidupnya sebagai mata-mata dan sekaligus pelacur kelas tinggi.

Dalam sebuah perjalanan mengantar Masloff ke rumah sakit di kawasan perang, Mata Hari bertemu Kapten Georges Ladoux, tentara penjaga perbatasan. Ladoux inilah, entah dengan cara apa, mengendus status Mata Hari sebagai mata-mata bagi musuh. Toh ia tetap menawarkan kepada Mata Hari untuk menjadi mata-mata bagi Prancis di Jerman.

Kini, Mata Hari menjadi agen ganda di antara dua kekuatan Eropa daratan. Tapi, seperti ia ceritakan dalam banyak kisah, ia butuh uang demi kehidupan yang damai bersama Masloff. Suatu saat, ia bermimpi menetap di sebuah tempat yang jauh dari centang-perenang politik dan peperangan.

Pada 13 Februari 1917, Mata Hari ditangkap polisi rahasia Prancis sebagai mata-mata musuh. Ia ditahan, diinterogasi dengan azab: ia diancam dengan cabut-kuku dalam sel di penjara Saint-Lazare. Perempuan yang pernah bergelimang permata dari teman kencannya itu kini terpuruk di ruang kecil yang tak dilengkapi kamar mandi, tak boleh mengganti busana, dan hanya dibolehkan berturas selama 15 menit setiap harinya di luar sel. Ia juga dijauhkan dari tahanan lain. Yang lebih menyiksa dirinya, ia tak diperkenankan menulis surat untuk kekasihnya, Masloff. Khalayak penggemar Mata Hari juga tak tahu sang idola tengah dalam tahanan.

Hanya seorang yang setia berkunjung untuknya, Edouard Clunet, pengacara 74 tahun yang di masa gemerlap panggung Mata Hari, pernah bercinta dengannya. Ia masih memendam rasa itu.

Penahanan Mata Hari baru diumumkan setelah lima bulan ia meringkuk di sel yang menyengsarakan itu. Pengadilan dimulai 24 Juli 1917. Massa merangsek pelataran Palace of Justice Paris untuk melihat dari dekat bekas simbol seks panggung tari Eropa ini.

Mata Hari muncul dengan gaun biru dan setangkup topi. Ia masih tak meninggalkan kejelitaan seorang bekas primadona. Sebagai jaksa penuntut adalah Andre Mornet, seorang perwira Prancis dan enam hakim.

Bukti-bukti pesan radio dari militer Jerman yang jatuh ke tangan agen Prancis untuk agen H-21 dan keterangan lima saksi, tak terelakkan lagi oleh Mata Hari. Salah satu saksinya, pejabat Departemen Luar Negeri Perancis, Henry de MarguÈrie yang pernah merangkak di ketiak Mata Hari seusai pementasan di Paris.

Dan akhirnya, palu nasib Mata Hari pun diketukkan. Ia dihukum mati. "Zelle alias Marguerite alias Gertrude alias Mata Hari terbukti bersalah dan dihukum mati." Dunia seperti berkisar di ubun-ubun Mata Hari.

Tiga bulan kemudian, di sebuah pagi yang cerah, 15 Oktober 1917, Mata Hari dibangunkan dari tidurnya yang lelap dalam sel --tidurnya di dunia untuk terakhir kali. Begitu membuka mata dan melihat seregu prajurit di depan kamarnya, Mata Hari segera tersadar, hidupnya tengah berjalan menuju maut. Ia sempat bergumam,"Tidak mungkin. Tidak mungkin."

Tapi Mata Hari tak lama meragu, ia tiba-tiba seperti memutuskan untuk menghadapi kematiannya dengan cara terhormat. Setiba di lokasi eksekusi, di sebuah hutan dekat penjara, ia menolak penutup mata. Ia berjalan tegak dengan kepala ditinggikan menuju tiang sandaran. Sesaat, ia bahkan masih meniupkan ciuman untuk seregu prajurit di depannya itu.

Dan kemudian, burung-burung beterbangan oleh suara senapan.

Mata Hari tewas pagi itu meninggalkan legenda tentang perempuan muda yang mewarnai intrik Perang Dunia I dengan pesonanya. Ia mati dalam sunyi, bahkan tak seorang pun mengakui jazadnya sebagai keluarga. Tubuh beku Mata Hari kemudian dijadikan mayat percobaan di sebuah sekolah kedokteran di pinggiran Paris.

Adegan eksekusi mati Mata Hari itu, 14 tahun kemudian, menjadi pembuka film Hollywood dengan tajuk seperti namanya: Mata Hari. Film hitam putih yang dibintangi Greta Garbo inilah yang hari ini saya temukan terselip di antara ribuan koleksi perpustakaan University of London, film tentang legenda seorang jelita yang menyampirkan banyak predikat di atas pundaknya: penari, pelacur, agen ganda, juga seorang pencinta.

arungtasik@any-mail.co.uk

Sunday, January 18, 2004

Tintin di London (2)

Toko cinderamata Tintin memperingati ulang tahun sang tokoh dengan diskon Tintinabilia.

The Tintin Shop

Sudah sebulan terakhir rangkaian kembang terentang menutupi tulisan pada singkap depan toko di pusat kota London itu. Hanya papan persegi yang terpasang di dindingnya yang menjadi penanda sebagai toko cinderamata. Tapi dari jauh, wajah pria berjambul dan seekor anjing lucu menggigit tulang di papan itu akrab benar di mata pengunjung: Tintin dan Snowy.

Ya, itu memang plang nama khas The Tintin Shop, kedai cinderamata sang wartawan di komik idola jutaan orang di dunia. Toko ini menyediakan Tintinabilia -- begitu para penggemar menyebut segala pernak-pernik tentang Tintin.

The Tintin Shop terletak di Floral Street, jalan kecil berbata di Covent Garden, kawasan turis terkenal di London. Ia menempati lantai dasar sebuah bangunan berlantai empat, diapit butik-butik busana di kiri-kanannya. Toko ini tak seberapa besar, bagian depannya hanya selebar tiga meter. Toh, ia menonjol dengan nuansa biru gelap pada dinding luarnya.

Sejak pekan lalu, kaca depannya juga tampak lebih semarak oleh tulisan warna-warni merah-kuning-biru: 1929-2004. Tintin, 75 Years of Adventure. Begitu cara The Tintin Shop merayakan ulang tahun sang tokoh. Dan semarak toko ini juga mengundang turis yang lalu-lalang. Apalagi, memperingati 75 tahun petualangan Tintin, sepanjang Januari 2004, toko ini menawarkan harga diskon 20 persen untuk seluruh barang.

Ketika saya melangkah ke dalam toko itu, Jumat 16 Januari siang, suasana ulang tahun mendominasi ruang kecil yang hanya seluas tiga kali tujuh meter. Lemari kayu yang menempel ke seluruh dindingnya penuh dengan poster Tintin berbingkai dalam aneka pose yang dijual dengan harga rata-rata 20 pounds. Di antara rak-rak itulah, aneka Tintinabilia terpajang: boneka-boneka Tintin dan Snowy yang menyerupai gambar-gambar di komik petualangannya, kalender, video, gantungan kunci, jaket dan kaos, gambar tempel, dan tentu saja buku-buku tentang Tintin dan kelahirannya di tangan komikus Belgia, George Remi alias Herge.

Di salah satu rak, Tintin dan Snowy tampak menjulurkan kepalanya dari balik bejana keramik Cina, pose yang menyerupai gaya Tintin di petualangannya dalam cerita Lotus Biru. Juga ada boneka kawan-kawan Tintin: Snowy, detektif kocak Thomson dan Thompson, Kapten Haddock, dan tentu saja, tokoh jenius yang pikun sahabat Tintin, Profesor Cuthbert Calculus.

Di tengah toko, hanya ada sebuah etalase sekaligus meja kasir setinggi pinggang. Dua wanita ñ pelayan dan kasir -- berdiri di baliknya. "Hanya sekecil ini ruangannya. Kami lebih banyak melayani penjualan online di internet," kata Sarah, kasir toko Tintin.

Jumat siang kemarin, belasan orang tengah bersempit-sempit di dalam toko ini. Sembari antre membayar, para pengunjung yang tentu saja penggemar Tintin ini tampak mengamati dua boneka putih Snowy serta tiga replika roket berwarna merah putih di atas etalase. Dalam cerita Penjelajahan di Bulan, Tintin dan Snowy berkelana ke angkasa dan mendarat di bulan dengan roket buatan Profesor Calculus ini di tahun 1954.

The Tintin Shop di London adalah toko cinderamata pertama Tintin di dunia. Toko milik Moulinsart, penerbit Tintin ini berdiri di tahun 1984. Ia mendompleng ketenaran komik-komik Herge yang telah terjual lebih dari 200 juta di seluruh dunia dan telah diterjemahkan ke 60 bahasa.

Agak aneh, karena dalam 24 seri petualangannya di lima benua dan angkasa luar, Tintin tak pernah datang ke London (lihat Tintin di London) Toh, ia punya banyak penggemar di kota ini.

Setelah mendirikan The Tintin Shop di London yang ternyata laris, Moulinsart kemudian membangun enam toko serupa di Brussel, Taipei dan Tokyo. Di luar itu, masih ada 260 kios kecil yang tersebar di banyak kota di dunia, 177 di antaranya di Perancis dan 51 di Belgia. Seluruh toko dan kios cinderamata Tintin ini dikelola dalam manajemen waralaba yang disebut Espace Tintin. Entah apa alasannya, Moulinsart tak membuka tokonya di Jakarta, kota yang juga memiliki banyak penggemar Tintin.

Toko-toko ini sekaligus menjual secara lengkap komik-komik petualangan Tintin. Termasuk, tentu saja, dua yang tak pernah beredar di Indonesia, seri pertama The Adventures of Tintin in the Land of the Soviets yang terbit 1929, Tintin in the Congo yang terbit 1931, dan seri terakhirnya, Tintin and the Alpha-Art. Seri Tintin terakhir hanya berupa sketsa yang tak selesai oleh Herge yang meninggal di tahun 1983. Toh, ia tetap diterbitkan dalam bahasa Perancis di tahun 1986.

Seri terakhir ini baru saja diluncurkan dalam bahasa Inggris pada 9 Januari lalu dan telah dipajang di salah satu rak The Tintin Shop di Covent Garden.

Jika tak mau bersusah-susah membaca, The Tintin Shop juga menjual kisah petualangan Tintin dalam kemasan compact disk dan kaset video. Dan jika enggan berbelanja, memandangi Tintinabilia -- pernak-pernik Tintin, Snowy dan kawan-kawannya di rak-rak dan etalase The Tintin Shop -- cukuplah membawa ingatan ke wartawan muda berjambul yang jenaka, cerdik dan pemberani itu.

arungtasik@any-mail.co.uk

Saturday, January 10, 2004

Tintin di London

Tintin datang ke London setelah tiga-per-empat-abad lamanya ia berkelana. Tidak hanya ke seluruh pelosok bumi, ia juga ke angkasa raya.

Tintin and the gankNational Maritime Museum di Greenwich akan menggelar pameran besar dan lama tentang Tintin pada 31 Maret sampai 4 September mendatang. Temanya: The Adventures of Tintin at Sea. Dan ini kedatangannya yang pertama di kota London, kota yang tak pernah ia singgahi dalam pelbagai petualangan menguak misteri bersama Snowy.

Tintin, wartawan muda petualang dari Belgia itu memang pernah ke Inggris di tahun 1938 dalam seri Rahasia Pulau Hitam. Tapi ia hanya menjejak Skotlandia saat hendak mengungkap percetakan uang palsu di sebuah pulau mercusuar. Toh, penggemarnya begitu banyak di London. ìIni kejutan untuk para pecinta Tintin,î kata Roy Clare, Direktur National Maritime Museum kepada koran the Guardian, tentang pameran di Greenwich itu -- pameran yang akan menghadirkan segala pernak-pernik tentang Tintin.

Hari ini, Sabtu 10 Januari 2004, tepat 75 tahun usia Tintin. Usia yang tak tergambarkan pada wajahnya: wartawan muda berjambul yang cerdik, jenaka dan pemberani. Ya, Tintin, tokoh kartun Belgia yang komik-komiknya telah diterjemahkan ke dalam 60 bahasa di dunia itu berulang tahun hari ini.

Tintin lahir dari tangan komikus Belgia, George Remi yang menggunakan nama Herge dalam karya-karyanya. Petualangan Tintin dimulai pada 10 Januari 1929, ketika ia sebagai reporter koran Le Petit Vingtieme menuju Moskow. Dari Brussel ia berkereta bersama anjing terrier sahabatnya, Snowy. Perjalanan yang menjadi awal petualangan besar Tintin, dan bagi Herge --pengarang, pencipta sekaligus pelukisnya-- adalah awal karir yang sebenarnya. The Adventures of Tintin in the Land of the Soviets, adalah seri Tintin yang pertama, yang sayangnya tak pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Boleh jadi, di zaman Soeharto, penerbit Tintin di Indonesia tak berani mengambil resiko mengingat Tintin ke Moskow hendak menyelidiki ihwal Partai Komunis.

Sejak itu, Tintin kemudian menyapa dunia lewat cerita petualangannya di Kongo, Amerika, Mesir, India, Cina, Bolivia, Paraguay, Skotlandia, Cekoslovakia, Arab Saudi, Peru, Tibet, dan benua Antartika. Ia bahkan pernah ke Jakarta, saat transit dalam sebuah rencana perjalanan ke Australia dalam kisah Penerbangan 714.

Petualangan yang paling mendebarkan tentu saja ketika ia ke bulan dengan roket buatan Profesor Calculus dalam Penjelajahan di Bulan di tahun 1954. Patut dicatat: Tintin ke bulan 15 tahun sebelum Neil Amstrong, manusia pertama menjejakkan kakinya di sana.

Petualangan Tintin juga menghadirkan tokoh-tokoh dengan karakternya yang khas dan dikenang dunia. Snowy, anjing kecil yang begitu setia menemani sang wartawan ke mana pun, ke dasar laut, ke gurun, ke gunung, bahkan ke angkasa luar. Si kembar detektif kocak Thomson dan Thompson --dengan atau tanpa p-- yang bertemu Tintin dalam Cerutu Sang Pharaoh di tahun 1934. Kapten Haddock, pelaut miskin pemabuk yang kelak jadi pewaris harta karun atas bantuan Tintin dan Calculus. Ia bertemu Tintin dalam kisah Kepiting Bercapit Emas yang terbit di tahun 1941. Dan tentu saja, tokoh sahabat Tintin, Profesor Cuthbert Calculus, si jenius ahli fisika nuklir tapi pikun dan pekak yang ia kenal di tahun 1944 dalam seri Harta Karun Rackam Merah.

Tak dinyana, kendati saat menulis komiknya Herge sendiri tak pernah mendatangi negeri-negeri itu, Tintin ternyata amat disukai pembaca dunia. Komik yang pada mulanya terbit hitam putih dalam bahasa Prancis ini kemudian diterbitkan dalam 60 bahasa di dunia, termasuk Indonesia. Nama Tintin pun berubah bersama negara yang mendongengkannya. Di Islandia ia menjadi Tinni, di Jerman ia dikenal sebagai Tim, di Afrika ia diceritakan sebagai Kuife dan dalam bahasa Latin, Tintin dikenal sebagai Tintinus.

Petualangan Tintin berakhir dalam Tintin and the Alpha-Art (1986) -- petualangan ke-24 yang hanya berbentuk sketsa. Petualangan yang tak selesai, karena Herge, sang penulis meninggal dunia di tahun 1983. Belgia berkabung untuk laki-laki yang ditahbiskan sebagai Bapak Komik itu.

Herge berpulang, tapi wartawannya tetap hidup seperti 75 tahun silam. Seri petualangan Tintin telah terjual sebanyak lebih dari 200 juta kopi ke seluruh dunia, dan masih terjual dua juta kopi setiap tahunnya.

Kendati sekadar komik, Tintin juga tak luput dari berbagai pertanyaan. Michael Turner, penerjemah Tintin ke bahasa Inggris sejak 40 tahun silam, misalnya, termasuk yang agak penasaran karena Tintin hanya sekali muncul di Inggris, padahal dua detektif Thomson dan Thompson adalah polisi Scotland Yard. Suatu ketika, membaca nama Haddock yang berbau Inggris, ia bertanya kepada Herge: "Mengapa menggunakan nama Haddock?î Herge menjawab singkat: "Itu nama ikan Inggris yang amat peminum.î Dan Kapten Haddock dalam Tintin memang seorang tokoh pemabuk. Itulah sedikit di antara pertanyaan seputar Tintin yang terjawab oleh Herge.

Masih ada pertanyaan lain yang tak pernah terjawab dan kemudian terkubur bersama jazad Herge. Sebagian bernada iseng, misalnya: apakah Tintin seorang anggota Nazi, fasis Jerman itu? Pertanyaan yang muncul karena Herge tetap bekerja di koran Le Soir setelah Nazi mengambil alih koran itu di masa Perang Dunia II. Ada pula pertanyaan, apakah Tintin seorang kapitalis? Petualangan pertamanya adalah ke Sovyet dalam semangat yang berlawanan dengan kaum Bolshevik.

Pertanyaan yang paling menggelitik tentu saja: apakah Tintin seorang gay? Ia tak pernah punya pacar atau keluarga. Teman terdekatnya hanyalah Snowy dan Kapten Haddock.

Sebagai wartawan yang telah terlibat dalam pelbagai petualangan yang mendebarkan di pelbagai pelosok dunia, Tintin juga tak pernah terlihat menuliskan hasil liputannya. Mungkin di mata Herge, cerita tentang Tintin itulah laporan sang wartawan sendiri.

Lepas dari semua kisah yang tak terjawab tentangnya --termasuk tentang nama Tintin yang tak pernah jelas sebagai nama depan atau keluarga-- Tintin telah menghibur dunia selama 75 tahun. Ia tak pernah lelah, juga tak pernah menua.

Para penggemarnya di seluruh dunia merayakan ulang tahun sang tokoh dengan berbagai cara. Di bekas rumah kelahiran Herge di luar kota Brussel, pemerintah Belgia tengah membangun museum Tintin. Museum itu rencananya dibuka tahun 2007. Sebanyak 50.000 keping koin pecahan 10 Euro dengan gambar wajah Tintin dan Snowy di atasnya diterbitkan otoritas keuangan Eropa. Dan sutradara terkenal Hollywood, Steven Spielberg kini tengah merampungkan trilogi film Tintin.

Saya sendiri bukan pembaca Tintin yang baik. Di masa kecil di desa, saya hanya membaca beberapa seri petualangannya yang tersisa di perpustakaan sekolah. Tak seperti Karina, istri saya yang mengoleksi komik petualangan Tintin berikut pernak-pernik bergambar sang wartawan.

Toh, saya tak pernah melupakan jambulnya yang lucu, seperti model rambut saya saat duduk di bangku sekolah dasar. Model rambut yang dibentuk mendiang ayah saya dengan gunting cukurnya yang kerap macet dan menarik anak rambutku.

Setiap kali usai bercukur, saya akan memandang cermin dan tergelak membayangkan kepala saya seperti Tintin.

arungtasik@any-mail.co.uk

Thursday, January 08, 2004

Bening Mata Bayi Langit Kota

Baru di kota ini saya bisa merasakan betapa langit dan angkasa raya adalah sebuah kanvas dengan keindahan yang tak terperi. Tidak siang, tidak malam, saya kerap menjadi orang udik yang memandangi langit. Dan saya amat menikmati pemandangan ini: pesawat-pesawat yang terbang melintasi kota London dari dan ke bandara-bandara Heathrow, Gatwick atau Stansted. Pesawat-pesawat itu tampak bersilangan di udara, meninggalkan jejak berupa ekor kabut putih.

Langit di atas Greenwich Park

Saya ingat kotaku. Pesawat yang terbang di udara melintas kota hanya menyisakan jejak suara mengguntur. Kabut pekat dan hitam selalu memayungi kota, seperti jelaga yang mengambang di angkasa. Dan tentu amat jarang saya bisa melihat kerlip bintang. Jakarta sungguh berselimutkan asam.

Tak salah bila kukatakan langit kota London sebening mata bayi --mata yang belum dihempas debu dan asap. Tapi langit yang bening itu rupanya belum terlalu lama dinikmati warga kota ini. Baru --atau sudah-- sekitar 30 tahun.

Di awal abad 20, penulis Charles Dickens masih kerap menggambarkan udara kota London yang pekat seperti pekatnya sup kacang polong. Industri berbahan bakar batu-bara dan kendaraan, salah satu penyebabnya. Asap polusi di kota berpenduduk delapan juta ketika itu sampai mematikan binatang dan tanaman, menghitamkan dinding-dinding bangunan, merusak permukaan lukisan-lukisan bersejarah, melusuhkan pakaian, dan tentu saja merusak kesehatan.

Di sebuah musim dingin di masa Dickens, asap pekat membuat penonton-penonton teater kesulitan memandang dengan jelas para aktor pujaan mereka di atas panggung, bahkan para pejalan kaki tak bisa melihat cermat ujung kaki sendiri. Mungkin berlebihan, tapi faktanya: warga London masih mengingat peristiwa kelam di bulan Desember 1952 ketika polusi di kota ini menyebabkan kematian 4.000-an warga karena gangguan pernapasan.

Kini, semua itu telah berlalu. Di tahun 1956, Clean Air Act diundangkan pemerintah Inggris. Undang-undang yang sungguh mengikat. Pembakaran batu-bara dilarang, industri-industri dan rumah tangga diharuskan menggunakan minyak emisi rendah, gas dan listrik untuk pemanas dan penerang.

Peraturan ketat diberlakukan untuk kendaraan bermotor. Aturan Menteri Transportasi Inggris, yang akhirnya identik dengan kelaikan kendaraan sebagai MOT (Ministry of Transport), membuat mobil-mobil di kota London bebas polutan. Knalpot bis-bis tua bertingkat yang sengaja dipelihara di Central London demi daya tarik wisata tak mengeluarkan asap, jauh dari bayangan tentang Metromini yang tak henti menggelapkan jalan raya oleh jelaga yang disemburkan dari buntutnya.

Pemerintah Inggris membelanjakan sekitar 7 juta pounds setiap tahun untuk usaha-usaha memerangi polusi. Berkat usaha keras dan ganjaran yang pasti bagi pelanggarnya, tak pelak, London akhirnya ditahbiskan sebagai kota besar berpenduduk sekitar 10 juta yang paling bersih di dunia, jauh di atas kota-kota Tokyo, New York dan Los Angeles.

Itupun rupanya belum memuaskan benar bagi warga kota. Biangnya apalagi kalau bukan mobil-mobil yang kian banyak melata di jalan-jalan. Macet mulai mengakrabi warga kota ini -- kemacetan yang belum berarti di mata orang Indonesia. Tips berkendara yang jenaka ini jadi gambaran: The best tip for anyone contemplating driving in London is simple: don't.

Sebagai orang yang datang dari Indonesia, semua keluhan itu hanya berbuahkan cibiran di hati saya. Terlalu manja. Orang London di mata saya gemar mengeluh, protes apa saja, dan pemerintahnya mendengarkan. Tapi saya tidak lagi terlalu peduli.

Tidak siang, tidak malam, di kota ini saya masih bisa memandang bening mata bayi langit kota, tempat pesawat-pesawat terbang bersilangan, meninggalkan ekor putih memanjang.

arungtasik@any-mail.co.uk

Thursday, January 01, 2004

Selamat Tahun Baru

Malam pergantian tahun ini kami rayakan di seberang Sungai Thames. Ini catatan istriku.

Dentang Big Ben dan Indonesiaku

Di kaki Big Ben saya berada. Ketika jam raksasa di pucuk menara Gedung Parlemen itu pertamakali berdentang di 2004, saya dan ratusan ribu pengerumun bersorak. Pada detik-detik itu, massa serentak menghitung mundur, "Nine, Eight, Seven..."Namun di antara gemuruh itu, ada teriakan sumbang yang membuat orang menoleh. Itulah suara saya dan sepuluh sahabat setanah air yang menjerit dalam bahasa Indonesia, "Sembilan, Delapan, Tujuh..."

Histeria bergulir saat dari seberang Sungai Thames, bianglala London Eye memercikkan kembang api dari setiap bola mata kereta gantungnya. Langit di atas Sungai Thames serta merta berpijar oleh warna-warni kembang api.

Sekumpulan turis Spanyol membawa gitar dan memainkan musik flamingo. Wajah-wajah aneka bangsa larut dalam keriaan itu. Tapi yang paling saya perhatikan (dan waspadai!) adalah gerombolan pemuda Inggris dengan anggur, wiski atau sampanye di tangan. Mereka berteriak-teriak kesetanan, menendang botol bekas minuman dan --ini yang berbahaya-- melempar mercon ke kerumunan orang. Saya langsung teringat hooligan yang identik dengan kerusuhan dalam pertandingan sepakbola Inggris.

Kemeriahan merayap dari segenap penjuru London dan memuncak di kawasan Trafalgar Square, Parliament Building hingga Westminster Bridge. Jalan-jalan ditutup. Polisi dengan rompi kuning bertebaran di setiap sudut. Wajah mereka ramah tapi tetap tegas menghalau orang yang mendekat ke Downing Street Nomor 10, rumah dinas Perdana Menteri Tony Blair, 200 meter dari Big Ben. Massa boleh melintas, tapi tak boleh berhenti, apalagi berkerumun di situ.

Saya segera terkenang Jakarta. Dimana ada kerumunan, di situ ada kerusuhan. Dari pertunjukan musik, pertandingan sepakbola, kampanye Pemilu hingga ke gerombolan pelajar pulang sekolah. Semua kerap berbuntut tawuran. Massa Jakarta juga gemar memanfaatkan keramaian sebagai momen untuk melanggar hukum. Dari menerobos aturan lalu lintas hingga tindak kriminal penjarahan.

Tapi tidak di London. Setidaknya yang saya temui tadi malam. Bapak dan ibu polisi di sini --yang tak membawa pistol dan pentungan seperti di Indonesia-- tampil sebagai pelayan publik. Dengan wajah ramah, mereka mengatur jalan, memberi informasi dan, bahkan, berfoto bersama sejumlah turis. Sungguh, tak perlu repot-repot mengusung spanduk Damai itu Indah untuk dicintai rakyat. Apalagi kalau definisi "damai" adalah membebaskan pelanggar lalu lintas yang menyelipkan fulus.

London tadi malam tak cuma ada polisi yang ramah, tapi fasilitas transportasi yang terjamin demi kenyamanan warganya pulang seusai pesta. Pemerintah lokal pada malam tahun baru menyediakan transportasi publik ekstra. Dan gratis! Warga bebas naik kereta, tube (kereta bawah tanah) hingga bis dari jam 1 hingga 5 pagi tanpa perlu membeli tiket. Walikota Ken Livingstone tahu benar bagaimana melayani dan memudahkan kehidupan warganya.

Pikiran saya melayang ke Jakarta. Teringat keluh kesah Bapak saya via telepon, kemarin. Perjalanannya pulang pergi kantor, pekan-pekan ini, kian tersendat oleh kemacetan tiada tara akibat Bus Way dan perpanjangan waktu Three in One.

Ah, Indonesiaku! Selamat Tahun Baru!

Andari Karina Anom