Thursday, November 20, 2003

Adzan yang Berkumandang di Trafalgar

Sudah sepekan ini semua sudut kota penuh selebaran dan poster dengan kalimat senada: STOP BU$H (dengan S dalam dolar). Presiden Amerika George W Bush memang berkunjung ke kota London, 17 sampai 21 November 2003. Ia hendak bertemu dengan karibnya yang amat kental -- dalam soal Irak -- Perdana Menteri Inggris Tony Blair. Bush tiba di Bandara Heathrow disambut Pangeran Charles dengan sapaan khas Texas, ''Howdy''.

Dan seperti biasa, kemana Bush pergi di kolong jagat ini, ia akan mengundang perhatian dunia, juga memantik api protes. London segera dibanjir para pemrotes. Sebuah lembaga swadaya masyarakat, Stop the War Coalition, menjadi penyelenggara protes besar itu. Di papan pengumuman kampus Goldsmith College, University of London di kawasan New Cross, undangan untuk berkumpul di pelataran kampus pada Kamis 20 November, jam 12 siang terpampang sejak beberapa hari lalu.

Dari New Cross, para mahasiswa hendak berpawai menuju pusat penyelenggaraan demo: Trafalgar Square, 200 meter dari Downing Street di kawasan Westminster, kantor perdana menteri Inggris. Dan saya hendak menghadiri demo besar ini.

Dari Lewisham, kami langsung menuju pusat kota. Bis panjang 453 melewati Westminster hanya sesaat sebelum bis-bis dilarang melintas di situ. Saya turun di mulut jalan Whitehall, dan berjalan ke arah Trafalgar. Di ujung Downing Street, puluhan polisi Inggris dalam busana khasnya yang berwarna hijau terang, telah berjaga-jaga. Rupanya, di Downing Street 10, tengah berlangsung pertemuan antara Tony Blair dan George W. Bush. Dari balik pagar tinggi, sekilas saya melihat sekelompok wartawan menunggu di depan pintu kantor ini.

Di seberang jalan, sekelompok pengunjuk rasa dari Amnesty International telah berkumpul. Mereka berseragam merah darah, dengan poster yang menunjukkan kegeraman pada perilaku Bush yang mengundang bala di mana-mana. Polisi di jalan ini melarang saya untuk berlama-lama berdiri di seberang Downing Street.

Kami pun menuju Trafalgar. Di sana, sekelompok demonstran sudah mulai berkumpul. Ada layar televisi raksasa di sudutnya, pengeras suara besar di bawah tugu Nelson, dan poster-poster anti Bush yang dibagi-bagi. Sebuah bendera Palestina tampak dibentangkan di tembok samping undakan menuju National Gallery dengan tulisan besar: Free Palestine di sampingnya.

Melihat aneka poster yang terpampang, ada banyak kepentingan rupanya yang menumpang dalam demo besar ini. Ada juga soal Palestina, soal standar ganda Amerika terhadap Israel yang petantang-petenteng di Timur Tengah, isu nuklir, juga ada isu keterlibatan Inggris secara rahasia dalam perang di Kamboja. Sudut-sudut Trafalgar nyaris jadi pasar kaget, dari penjual cindera mata demonstrasi anti-Bush sampai makanan dengan uang donasi untuk Palestina.

Tapi keramaian ini tetap didominasi oleh isu besar tentang Irak -- dan juga semangat yang sama dalam menentang Bush. George Bush is the greatest threat for the World Peace, begitu tulisan besar di banyak poster yang diacungkan para demonstran. Saya tertegun melihat seorang anak muda Amerika mengangkat poster yang sedikit lain: I proud of my country, I ashamed of my president. Saya ingat cerita Karin tentang teman kuliahnya, seorang pemuda Amerika yang juga sangat bersemangat mengajak mahasiswa Goldsmith turun ke jalan mendemo Bush.

Pusat perhatian dalam unjuk rasa ini adalah panggung di bawah tugu Nelson di tengah Trafalgar. Sebuah patung besar Bush memegang hulu peluru kendali berwarna tembaga berdiri di atas panggung ini. Patung itu menyerupai patung Saddam Husein di pusat kota Baghdad, yang ditumbangkan warga Kurdi bersama tentara Amerika Serikat yang menandai kejatuhan Baghdad dalam perang teluk lalu. Patung itu bertudung kain putih.

Kian petang, Trafalgar kian dibanjiri massa. Belakangan, saya baru tahu, kalau London hari itu benar-benar diwarnai semangat anti-Bush, ada 200.000 orang turun ke jalan-jalan, seluruhnya berpawai menuju Trafalgar. Koran-koran esoknya menurunkan laporan, sebanyak 6.000 polisi Inggris dikerahkan untuk menjaga demo besar ini, dengan biaya pengamanan Bush sebesar 15 juta poundsterling.

Pukul 4.15 sore, saya terhentak oleh sebuah kejutan. Seorang pria berwajah Eropa yang mengenakan kafiyeh, dipersilakan tampil ke atas panggung. Dengan lantunan yang tipis dan panjang, ia membacakan Surah Al-Fathihah, disusul dengan adzan Maghrib yang nyaring. Saatnya berbuka puasa. Puluhan ribu orang yang memadati Trafalgar terdiam, seperti tersihir oleh suara adzan ini. Hiruk pikuk demonstran sontak menjadi senyap.

Saya dan Karin beranjak ke pojok Trafalgar, tempat aktivis Palestina membagikan makanan berbuka puasa dengan gratis. Sebuah apel, roti berlapis daging, dan sekotak jus mangga dibagikan dua lelaki kepada siapa saja yang melintas, disertai senyum ramah. Ada juga buah kurma. Entah dari mana mereka memperoleh dana untuk menjamu banyak orang dengan hati terbuka seperti itu.

Setelah serangkaian pidato membabi buta mengecam Bush, puncak acara pun tiba. Empat larik tambang besar yang terulur ke puncak patung Bush, dipegang oleh perwakilan para pengunjuk rasa. ".... four, three, two, one", dan patung Bush pun tumbang disertai tempik sorak massa. Sempritan, klenongan, tambur, dibunyikan bersama-sama. Layar televisi raksasa memampangkan tulisan dalam huruf raksasa: Down with Bush. Di angkasa Westminster, sudah tiga jam sebuah helikopter mengambang tak bergerak, seperti merekam para pengunjuk rasa.

Malam pun datang, tapi keramaian tak juga surut. Dari mulut-mulut jalan menuju Trafalgar, rombongan demi rombongan massa tetap datang membanjir. Agak lelah, dan puncak acara telah terlewati, saya mengajak Karin untuk kembali. Kami berjalan beberapa kilometer melalui Charing Cross, melintasi Stasiun Waterloo, menyeberangi jembatan di atas Sungai Thames sampai menemukan bis menuju ke rumah.

Di jalan-jalan, aroma demonstrasi masih terasa. Saya ikut merasakan kesedihan rakyat Inggris yang pemerintahnya sungguh membuta mendukung Amerika, dalam perang yang sia-sia di Irak. Saya memang bukan warga negeri ini, tapi saya mulai merasakan hangatnya nurani mereka.

arungtasik@any-mail.co.uk

No comments: