Tuesday, November 25, 2003

Tentang Ida, Idul Fitri dan Rendang Basah

Namanya Ida, perempuan Indonesia bersuamikan lelaki asal Jamaika. Selasa pagi, seperti hari-hari sebelumnya, ia mengantar putrinya semata wayang yang baru berusia 2,5 tahun, Jeida ke sekolah balita di dekat Northbroke Park -- sebuah taman di belakang rumah kami di Ronver Road.

Dan pagi itu, Ida melempar senyumnya yang ramah mendengar saya dan Karin berbicara dalam bahasa Indonesia. Di atas bis 261 menuju Lewisham, ia duduk menyamping tepat di depan saya. Tentu saja, saya tak pernah berani menegur terlebih dahulu, orang-orang berwajah Asia di negeri ini. Beberapa kali saya kecele mengenali orang Vietnam dan Filipina, hanya karena wajahnya berona Melayu.

Pagi ini, kebetulan yang jarang itu datang. "Hai, dari Indonesia ya," katanya ramah. Ia kaget mendengar kami hendak menuju gedung Kedutaan Indonesia di Grosvenor Square di Central London. "Lo, bukannya besok Lebarannya? Saya masih puasa hari ini. Saya sempat makan sahur dinihari tadi." Ia benar-benar tak tahu, hari ini Idul Fitri.

Sudah dua tahun lebih ia di London, ikut suaminya, warga negara Inggris keturunan Afrika yang sehari-hari seorang pekerja profesional. Mereka tinggal di kawasan Etham, tak jauh dari Lewisham. Selama di London, Ida nyaris tak pernah bertemu orang Indonesia.

Di kelokan jalan dekat stasiun Lee, Ida turun dari bis. Kami terus membelah pagi pukul 8 GMT dengan baju koko dan perangkat shalat dalam tas sandang di pangkuan Karin. Sejam kemudian, kami turun di Bond Street, dan berjalan menuju gedung KBRI.

Telepon Karin berdering. Dari Ida. Ia akhirnya memutuskan untuk menyusul kami: sholat Id di KBRI. Kami bertemu di ruang penitipan mantel di lantai bawah.

Dan selanjutnya adalah kami tenggelam dalam kekhusyukan Idul Fitri. Ada 200-an orang Indonesia menunaikan sholat Id di gedung berlantai empat ini. Pria di lantai bawah, wanita di lantai atas. Ada khotbah singkat.

Saya masuk ke ruang sholat beriringan dengan bekas menteri Hayono Isman. Di deretan tengah, saya melihat bekas Ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD), Budiman Sujatmiko dengan dagu berbalut perban. Ada juga wartawan BBC, Susilo yang mengenakan batik, dua saf di depan saya. Hanya tiga orang itu agaknya yang aku kenal.

Ingatan saya melayang ke Makassar, ke wajah ibu saya tercinta, kakak dan adik saya tersayang, Jumadi. Apa gerangan yang mereka lakukan saat ini? Pagi tadi, sekitar pukul 5 dinihari, saya sempat menelpon ke Indonesia. Di sana hari sudah beranjak sore. Mereka tengah menikmati gurih gulai kepala kambing. Rasa haru menyeruak di dada saya. Untuk merekalah, bertahun-tahun dalam hidupku tetap menggumpal semangat. Dan tahun ini, Lebaran saya lewati tanpa mereka.

Keharuan itu sudah ada sejak pagi tadi. Kami terbangun, Karin menelpon ke Depok berkabar dan mengucapkan selamat Idul Fitri pada bapak-ibu dan adiknya. Hati istriku tentu tak kalah senyapnya dari suaminya.

Tak ada suasana Lebaran di kamar ini. Saya membuka komputer, dan mengakses lagu-lagu dari radio Islam. Untunglah, ada suara pengajian Al-Qur'an dari sebuah radio di gurun pasir, entah di mana. Saya sempat membuat nasi goreng sekadar pengganjal perut yang lapar di pagi Lebaran ini. Tak ada ketupat.

Begitulah. Dan di KBRI pagi ini, sholat usai dengan cepat. Kami keluar, bersalam-salaman. Bersama teman-teman peserta Chevening yang rupanya datang -- Anti, Kiki, Dewi -- Rani dan suaminya, Susilo, Budiman Sudjatmiko, dan juga Ida, perempuan Indonesia yang saya kenal di bis kota itu, kami menuju stasiun bawah tanah, dan naik tube ke kediaman Duta Besar Juwono Sudarsono di Wisma Nusantara. Kami keluar di East Finchley Station, berjalan sekitar 500 meter menyusuri trotoar yang dipenuhi guguran daun-daun marble.

Rumah itu terletak di kawasan elit London, Jalan Bishop Grove - Bishops Avenue. Lokasinya di pebukitan, dengan pohon-pohon marbel besar di sekelilingnya. Di belakang rumah ini, sebuah taman besar dengan lapangan tenis di tepinya, sudah ada tenda putih untuk para tamu, masyarakat Indonesia yang datang.

Saya langsung menemukan gairah Lebaran itu: aneka makanan Indonesia disajikan melimpah. Saya langsung menuju meja dengan makanan berlemak yang paling bercita-rasa Melayu: rendang basah. Setelah itu disusul puding, nenas dan mangga, kopi susu.

Silaturahmi berlangsung di sela-sela makan. Saya sempat bertukar sapa dengan Pak Damen, orang Toraja yang menjadi Wakil Duta besar Republik Indonesia di London. Istrinya mengundang kami untuk datang ke rumah mereka pada perayaan Natal mendatang.

Menjelang sore, kami berpamit ke Pak Juwono. Kembali menyusuri jalan yang sama, naik tube langsung menuju Lewisham. Pada stasiun terakhir, tinggal saya, Karin dan Ida. Ida tampak begitu gembira, ia masuk ke komunitas leluhurnya. Di atas kereta, ia sempat menelpon suaminya, mengabarkan pertemuannya dengan kami.

Ida mengundang kami ke rumahnya Sabtu esok, dengan janji hidangan buatannya sendiri. Kami berpisah tepat di halte di ujung Ronver Road. Ida menjemput anaknya.

Malam turun menyelimuti London. Kami kembali ke rumah di Ronver Road. Hari itu, saya dan Karin menemukan kegairahan berlebaran di negeri beribu mil dari Indonesia.

arungtasik@any-mail.co.uk

No comments: