Thursday, January 08, 2004

Bening Mata Bayi Langit Kota

Baru di kota ini saya bisa merasakan betapa langit dan angkasa raya adalah sebuah kanvas dengan keindahan yang tak terperi. Tidak siang, tidak malam, saya kerap menjadi orang udik yang memandangi langit. Dan saya amat menikmati pemandangan ini: pesawat-pesawat yang terbang melintasi kota London dari dan ke bandara-bandara Heathrow, Gatwick atau Stansted. Pesawat-pesawat itu tampak bersilangan di udara, meninggalkan jejak berupa ekor kabut putih.

Langit di atas Greenwich Park

Saya ingat kotaku. Pesawat yang terbang di udara melintas kota hanya menyisakan jejak suara mengguntur. Kabut pekat dan hitam selalu memayungi kota, seperti jelaga yang mengambang di angkasa. Dan tentu amat jarang saya bisa melihat kerlip bintang. Jakarta sungguh berselimutkan asam.

Tak salah bila kukatakan langit kota London sebening mata bayi --mata yang belum dihempas debu dan asap. Tapi langit yang bening itu rupanya belum terlalu lama dinikmati warga kota ini. Baru --atau sudah-- sekitar 30 tahun.

Di awal abad 20, penulis Charles Dickens masih kerap menggambarkan udara kota London yang pekat seperti pekatnya sup kacang polong. Industri berbahan bakar batu-bara dan kendaraan, salah satu penyebabnya. Asap polusi di kota berpenduduk delapan juta ketika itu sampai mematikan binatang dan tanaman, menghitamkan dinding-dinding bangunan, merusak permukaan lukisan-lukisan bersejarah, melusuhkan pakaian, dan tentu saja merusak kesehatan.

Di sebuah musim dingin di masa Dickens, asap pekat membuat penonton-penonton teater kesulitan memandang dengan jelas para aktor pujaan mereka di atas panggung, bahkan para pejalan kaki tak bisa melihat cermat ujung kaki sendiri. Mungkin berlebihan, tapi faktanya: warga London masih mengingat peristiwa kelam di bulan Desember 1952 ketika polusi di kota ini menyebabkan kematian 4.000-an warga karena gangguan pernapasan.

Kini, semua itu telah berlalu. Di tahun 1956, Clean Air Act diundangkan pemerintah Inggris. Undang-undang yang sungguh mengikat. Pembakaran batu-bara dilarang, industri-industri dan rumah tangga diharuskan menggunakan minyak emisi rendah, gas dan listrik untuk pemanas dan penerang.

Peraturan ketat diberlakukan untuk kendaraan bermotor. Aturan Menteri Transportasi Inggris, yang akhirnya identik dengan kelaikan kendaraan sebagai MOT (Ministry of Transport), membuat mobil-mobil di kota London bebas polutan. Knalpot bis-bis tua bertingkat yang sengaja dipelihara di Central London demi daya tarik wisata tak mengeluarkan asap, jauh dari bayangan tentang Metromini yang tak henti menggelapkan jalan raya oleh jelaga yang disemburkan dari buntutnya.

Pemerintah Inggris membelanjakan sekitar 7 juta pounds setiap tahun untuk usaha-usaha memerangi polusi. Berkat usaha keras dan ganjaran yang pasti bagi pelanggarnya, tak pelak, London akhirnya ditahbiskan sebagai kota besar berpenduduk sekitar 10 juta yang paling bersih di dunia, jauh di atas kota-kota Tokyo, New York dan Los Angeles.

Itupun rupanya belum memuaskan benar bagi warga kota. Biangnya apalagi kalau bukan mobil-mobil yang kian banyak melata di jalan-jalan. Macet mulai mengakrabi warga kota ini -- kemacetan yang belum berarti di mata orang Indonesia. Tips berkendara yang jenaka ini jadi gambaran: The best tip for anyone contemplating driving in London is simple: don't.

Sebagai orang yang datang dari Indonesia, semua keluhan itu hanya berbuahkan cibiran di hati saya. Terlalu manja. Orang London di mata saya gemar mengeluh, protes apa saja, dan pemerintahnya mendengarkan. Tapi saya tidak lagi terlalu peduli.

Tidak siang, tidak malam, di kota ini saya masih bisa memandang bening mata bayi langit kota, tempat pesawat-pesawat terbang bersilangan, meninggalkan ekor putih memanjang.

arungtasik@any-mail.co.uk

No comments: