Monday, January 19, 2004

Mata Hari

Di antara rak-rak koleksi audio-visual di perpustakaan kampus, saya menemukan dua kaset video yang menarik hati. Mata Hari: Unveiling the Myth, sebuah film dokumenter produksi BBC, dan sebuah film Hollywood tahun 1931 dengan judul singkat: Mata Hari.

Mata HariSudah lama saya mendengar nama ini, seorang penari Belanda dengan sedikit darah Jawa yang hidupnya bak legenda. Perempuan jelita ini pernah memainkan peran penting sebagai mata-mata Jerman di Perancis semasa Perang Dunia I (1876-1917). Tapi ia bukan sekadar mata-mata, ia sumber cerita yang tak lekang oleh masa, tentang dunia spionase bawah tanah, intrik politik, dan juga sensualitas.

Seperti judulnya, selama hampir sejam, Mata Hari: Unveiling the Myth berkisah tentang kehidupan seorang legenda perempuan di dalam dan di luar panggung. Nama aslinya Margaretha Geetruida Zelle, dengan panggilan Mígreet. Ia lahir sebagai perempuan berambut legam dan mata coklat di Belanda 7 Agustus 1876. Ia satu-satunya putri dari lima bersaudara pasangan pengusaha pembuat topi Adam Zelle dan istrinya yang --konon-- berdarah Hindia, Antje van der Meulen.

Di usia 18 tahun, Mígreet yang kemayu menikah dengan seorang serdadu Belanda, Rudolph MacLeod yang usianya terpaut 20 tahun dengannya. Awal 1897, Mígreet melahirkan seorang putra, Norman John. Tahun itu juga, mereka bertiga berlayar ke Hindia, negeri jajahan Belanda. MacLeod ditugaskan di sana.

Mereka menetap di kampung Ambarawa, dekat Semarang. Yang ia jumpai tak meleset dari keindahan yang ia sudah bayangkan. Mígreet betah. Sehari-harinya ia mengenakan kebaya dan sarung batik seperti orang-orang pribumi yang ramah. Di Ambarawa, Mígreet kemudian melahirkan lagi, kali ini perempuan yang ia beri nama Jeanne Louise. Ia memanggilnya Non.

Ketika MacLeod ditempatkan di Medan, Pulau Sumatra, dunia berbinar di depan ibu muda ini, dan ia tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia bergaul, menggelar pesta, mengenakan gaun terindah miliknya. Ia terampil bermain piano dan menari dengan gemulai. Di kalangan tentara dan pemerintah kolonial ia juga segera gemerlap sebagai perempuan yang berbicara dalam bahasa Jerman, Inggris dan Prancis sebaik bahasa ibunya, dan kini, ia juga fasih berbahasa Melayu.

Tapi kebahagiaan Mígreet cuil oleh meninggalnya Norman, putranya dengan mendadak, Juni 1899. Sejak itu, keluarga MacLeod seperti bertulah: Mígreet tenggelam dalam duka, dan suaminya yang pulang, terkubur dalam minuman keras. MacLeod menuduh istrinya sebagai biang kematian sang putra.

Mígreet yang tengah bermuram-durja beruntung bisa mengalihkan perhatiannya dengan membaca kitab-kitab Hindu, ia kerap membayangkan dirinya sebagai dewi. Di tengah perang yang masih berkecamuk di berbagai daerah di Hindia, mereka pulang ke Belanda, dan bercerai.

Mígreet kemudian mengirim Non ke panti asuhan, dan berangkat ke Paris, kota yang juga ia mimpi-mimpikan. Mígreet, yang seperti tengah berjalan menapak tubir kehidupannya, kemudian menempuh cara baru: ia menanggalkan segenap masa lalu, termasuk namanya sendiri.

Ia menjumput sebuah nama baru bagi dirinya: Mata Hari ñ nama yang kelak menjagat.

Nama Mata Hari ternyata amat bertuah, ia tak butuh waktu lama di Paris untuk menjadi penari idola. Ia mengawali pementasannya yang bersejarah di panggung gedung pertunjukan Musee Guimet, pada 13 Maret 1905. Tariannya memikat karena tidak biasa. Di panggung, Mata Hari menari dengan latar patung dewa bertangan enam dengan api yang menjilat-jilat dari pijakan kakinya. Mata Hari sendiri mengenakan busana tak lazim: sabuk dan anting-anting penuh manik dari Hindia, kain sarung panjang yang melilit pinggangnya yang semampai dan memperlihatkan pusar. "Saya menari untukmu, Siwa, seperti saya menari di ruang yang sempit dalam sebuah candi di tanah Jawa," kata Mata Hari dalam sebuah pentas, yang ditirukan Greta Garbo dalam film Hollywood berjudul Mata Hari di tahun 1931.

Dengan segera, nama Mata Hari tenar di Paris, lalu seperti gelombang dikenal publik Eropa daratan. Ia kemudian dengan mudah bepergian atas undangan ke kota-kota lain di Spanyol, Monte-Carlo, bahkan Jerman. Ia menari dengan latar musik tradisional India dengan satu dua tetabuhan gamelan. Mata Hari pun amat sadar pada pesona dirinya yang kerap ia bumbui dengan mengaku sebagai putri penari India yang melahirkannya saat tengah menyembah sang dewa. "Tarianku adalah kidung persembahan dan setiap geraknya adalah kata," kata Mata Hari.

Sayang, ia menuai ketenarannya di usia menjelang 30, usia kritis bagi seorang penari. Hanya setahun, ia kemudian dihadapkan pada kenyataan: gemulainya kian berkurang. Sampai tahun 1912 ia memang masih menari, tapi di belakang panggung, seluruh penggemarnya di kalangan elit Eropa tahu benar Mata Hari adalah seorang pelacur kelas tinggi. Ia berkencan dengan para jenderal, bangsawan, hartawan, dan juga perwira-perwira muda. Di Jerman, ia juga menjalin cinta dengan seorang pangeran.

Dalam sebuah pementasan di Berlin di tahun 1914, ia berkencan dengan seorang intel Jerman, Traugott von Jagow. Pria inilah yang kemudian membawa Mata Hari ke dunia spionase. Ia merekrut Mata Hari ñ dengan tawaran gaji ñ untuk menjadi mata-mata di Paris. Kabarnya, secara tersamar, selama 15 pekan Mata Hari belajar di akademi intelijen milik pemerintah Jerman di Antwerp, Belgia. Nama panggilannya "Si Mata Macan" dengan kode H-21.

Dan kemudian, perang pecah antara Prancis dan German. Mata Hari dikirim ke Prancis pada 4 Agustus 1914.

Di Paris inilah, dalam usia 40 tahun, Mata Hari baru menemukan lelaki yang ia cintai sepanjang hayatnya, seorang Rusia bernama Vladmir Masloff, pria tampan 21 tahun yang lebih layak menjadi putranya. Kendati Masloff kemudian buta sebelah dalam pertempuran, mereka tetap hidup dalam romantika yang membuai di Paris. Toh, Mata Hari tetap menjalani hidupnya sebagai mata-mata dan sekaligus pelacur kelas tinggi.

Dalam sebuah perjalanan mengantar Masloff ke rumah sakit di kawasan perang, Mata Hari bertemu Kapten Georges Ladoux, tentara penjaga perbatasan. Ladoux inilah, entah dengan cara apa, mengendus status Mata Hari sebagai mata-mata bagi musuh. Toh ia tetap menawarkan kepada Mata Hari untuk menjadi mata-mata bagi Prancis di Jerman.

Kini, Mata Hari menjadi agen ganda di antara dua kekuatan Eropa daratan. Tapi, seperti ia ceritakan dalam banyak kisah, ia butuh uang demi kehidupan yang damai bersama Masloff. Suatu saat, ia bermimpi menetap di sebuah tempat yang jauh dari centang-perenang politik dan peperangan.

Pada 13 Februari 1917, Mata Hari ditangkap polisi rahasia Prancis sebagai mata-mata musuh. Ia ditahan, diinterogasi dengan azab: ia diancam dengan cabut-kuku dalam sel di penjara Saint-Lazare. Perempuan yang pernah bergelimang permata dari teman kencannya itu kini terpuruk di ruang kecil yang tak dilengkapi kamar mandi, tak boleh mengganti busana, dan hanya dibolehkan berturas selama 15 menit setiap harinya di luar sel. Ia juga dijauhkan dari tahanan lain. Yang lebih menyiksa dirinya, ia tak diperkenankan menulis surat untuk kekasihnya, Masloff. Khalayak penggemar Mata Hari juga tak tahu sang idola tengah dalam tahanan.

Hanya seorang yang setia berkunjung untuknya, Edouard Clunet, pengacara 74 tahun yang di masa gemerlap panggung Mata Hari, pernah bercinta dengannya. Ia masih memendam rasa itu.

Penahanan Mata Hari baru diumumkan setelah lima bulan ia meringkuk di sel yang menyengsarakan itu. Pengadilan dimulai 24 Juli 1917. Massa merangsek pelataran Palace of Justice Paris untuk melihat dari dekat bekas simbol seks panggung tari Eropa ini.

Mata Hari muncul dengan gaun biru dan setangkup topi. Ia masih tak meninggalkan kejelitaan seorang bekas primadona. Sebagai jaksa penuntut adalah Andre Mornet, seorang perwira Prancis dan enam hakim.

Bukti-bukti pesan radio dari militer Jerman yang jatuh ke tangan agen Prancis untuk agen H-21 dan keterangan lima saksi, tak terelakkan lagi oleh Mata Hari. Salah satu saksinya, pejabat Departemen Luar Negeri Perancis, Henry de MarguÈrie yang pernah merangkak di ketiak Mata Hari seusai pementasan di Paris.

Dan akhirnya, palu nasib Mata Hari pun diketukkan. Ia dihukum mati. "Zelle alias Marguerite alias Gertrude alias Mata Hari terbukti bersalah dan dihukum mati." Dunia seperti berkisar di ubun-ubun Mata Hari.

Tiga bulan kemudian, di sebuah pagi yang cerah, 15 Oktober 1917, Mata Hari dibangunkan dari tidurnya yang lelap dalam sel --tidurnya di dunia untuk terakhir kali. Begitu membuka mata dan melihat seregu prajurit di depan kamarnya, Mata Hari segera tersadar, hidupnya tengah berjalan menuju maut. Ia sempat bergumam,"Tidak mungkin. Tidak mungkin."

Tapi Mata Hari tak lama meragu, ia tiba-tiba seperti memutuskan untuk menghadapi kematiannya dengan cara terhormat. Setiba di lokasi eksekusi, di sebuah hutan dekat penjara, ia menolak penutup mata. Ia berjalan tegak dengan kepala ditinggikan menuju tiang sandaran. Sesaat, ia bahkan masih meniupkan ciuman untuk seregu prajurit di depannya itu.

Dan kemudian, burung-burung beterbangan oleh suara senapan.

Mata Hari tewas pagi itu meninggalkan legenda tentang perempuan muda yang mewarnai intrik Perang Dunia I dengan pesonanya. Ia mati dalam sunyi, bahkan tak seorang pun mengakui jazadnya sebagai keluarga. Tubuh beku Mata Hari kemudian dijadikan mayat percobaan di sebuah sekolah kedokteran di pinggiran Paris.

Adegan eksekusi mati Mata Hari itu, 14 tahun kemudian, menjadi pembuka film Hollywood dengan tajuk seperti namanya: Mata Hari. Film hitam putih yang dibintangi Greta Garbo inilah yang hari ini saya temukan terselip di antara ribuan koleksi perpustakaan University of London, film tentang legenda seorang jelita yang menyampirkan banyak predikat di atas pundaknya: penari, pelacur, agen ganda, juga seorang pencinta.

arungtasik@any-mail.co.uk

No comments: