Sunday, December 07, 2003

Cutty Sark

.

Kapal itu masih tegak sentosa, tiang-tiang layarnya berdiri seperti meninju angkasa. Saya memandangnya di pinggir Sungai Thames sore itu: Cutty Sark masih menggapai-gapai lautan. Pada lunas luarnya di haluan, sebuah patung perempuan telanjang dada dalam warna salju terlihat seperti mengibaskan tangan menyisih buih samudera yang telah dilayarinya bertahun-tahun lebih dari dua abad silam.

Cutty Sark, kapal layar besar itu, teronggok di atas dok kering di Cutty Sark Garden, dermaga Greenwich. Ia kini menjadi koleksi Museum Maritim Nasional Inggris. Memandang kapal seberat hampir 1.000 ton ini, yang saya bayangkan adalah kekaguman orang-orang pribumi di Hindia -- kini Indonesia, negeri muasal leluhurku -- ketika ia melego jangkar di pelabuhan-pelabuhan Nusantara di akhir abad 19.

Cutty Sark memang pernah berlayar ke Indonesia. Kapal layar cepat yang diluncurkan di Dumbarton, Skotlandia pada suatu sore di bulan November 1869 ini pernah dengan gagah perkasa mengarung samudera ke negeri timur membawa panji dan menjadi simbol kedigdayaan Britania Raya di lautan.

Ia dirancang arsitek kapal kondang Skotlandia, Hercules Linton, untuk si topi putih John Willis, pelaut yang tak kurang terkenalnya di Britania. Selanjutnya, ia menjadi ujung tombak misi dagang Inggris di masa kolonial. Ia kerap berlayar ke India dan Indonesia untuk mengangkut teh dan rempah-rempah, meski dalam riwayat panjangnya ia lebih banyak malang-melintang di perairan Cina.

Di tahun 1871, bersama 28 awaknya, Cutty Sark memecah rekor perjalanan laut dengan pelayaran dari London ke Cina dalam waktu 107 hari. Kini, Cutty Sark menerima pengunjung yang hendak mengenang masa silam, tentang kebesaran lama itu. Seiring dengan kondisinya yang kian menua, setelah berpindah tangan beberapa kali, di tahun 1957 Cutty Sark sudah menetap di dok kering di Greenwich itu. Ia telah dikunjungi lebih dari 17 juta orang dari seluruh dunia.

Kini Cutty Sark memang sekadar dipajang. Kabin-kabinnya sudah beralih fungsi menjadi museum, kafe bahkan gedung perjamuan bagi mereka yang hendak menikah dengan cara yang unik.

Memandang Cutty Sark, menjelang petang di bibir Sungai Thames, sore itu, dalam dadaku berdentam-dentam nada: nenek moyangku orang pelaut -- nada yang hendak ditenggelamkan oleh pemandangan di depanku ini, Cutty Sark yang menggapai-gapai lautan.



arungtasik@any-mail.co.uk

No comments: