Sunday, December 14, 2003

Histeria Wartawan Timur Tengah

.

"Ladies and gentlemen, we got him...." Hanya kalimat pendek itu yang diucapkan pertama kali oleh Paul Bremer, administratur pendudukan Amerika Serikat di Irak di depan puluhan wartawan di Baghdad, Minggu pagi. Saddam Hussein, laki-laki yang pernah duduk di puncak tahta negeri kaya Timur Tengah itu, tertangkap di dasar lubang persembunyiannya di Al-Dawr, dekat Tikrit.

"Seorang laki-laki yang lelah, dan menyerah pada nasibnya....," kata Ricardo Sanchez, komandan pasukan Amerika di Irak. Ia kemudian menampilkan sepenggal rekaman video wajah Saddam mutakhir lewat dua layar televisi di dinding di belakang mimbarnya. Seperti potret pesakitan jalanan, wajah pria 66 tahun dalam gambar ini brewok, rambut tak terurus, dengan tampilan awut-awutan. Tapi ia tak papa. Bersamanya, ada uang tunai 750.000 dolar Amerika, dua buah senjata AK-47, dan sepucuk pistol.

Bersamaan dengan munculnya wajah Saddam, tiga wartawan berwajah Timur Tengah di sisi kanan ruangan berteriak seperti histeris. "Matilah Saddam, matilah Saddam". Dan tanya jawab berlangsung cepat. Lewat siaran langsung CNN dari Baghdad, Minggu pagi itu, tampak benar, betapa para wartawan berwajah Timur Tengah di ruangan konferensi pers begitu menjijikkan. Mereka memulai pertanyaan dengan puja-puji bagi Amerika, bagi tentara koalisi yang menampilkan wajah papa bekas pemimpin Irak itu, bagi "masa depan rakyat Irak".

Sebaliknya, para wartawan asing berwajah Eropa dan tentu juga Amerika, melontarkan pertanyaan yang langsung: siapa dua orang yang tertangkap bersama Saddam, di mana gerangan Saddam kini, apa yang akan dilakukan Amerika terhadap Saddam, dan sebagainya. Tidak banyak tapi menohok, dan tanpa puja-puji.

Wartawan-wartawan Timur Tengah itu --tentu mereka bukan dari Al-Jazeera, stasiun televisi yang nyaris jadi satu-satunya jejak demokrasi di kawasan yang tak henti bergolak itu-- mempertontonkan kepada dunia, betapa mereka tak bisa menarik batas: diri hadir sebagai wartawan, atau sebagai rakyat yang pernah hidup di bawah rezim Saddam. Tapi melihat betapa mereka amat perlente, tentu mereka bukan orang yang menderita di bawah Saddam. Saya berpikir, mereka mungkin hadir sebagai wartawan bayaran, demi puja-puji bagi Amerika, demi penghujatan bagi Saddam Hussein, lelaki yang menjadi musuh bapak-anak George Bush dan sang junior itu.

Sepenggal jumpa pers penangkapan Saddam di CNN itu mau tidak mau, seperti memampangkan kisah Timur Tengah, negeri mayoritas Islam yang sarat intrik, konflik, pengkhianatan, juga ketidakberdayaan. Saddam kalah, juga kemudian tertangkap, tentu karena pengkhianatan tentaranya. Ia kehilangan negeri, kehilangan Uday dan Qusay, dan kini kehilangan hak atas dirinya sendiri.

Ia mungkin kejam di tahtanya. Tapi wartawan Timur Tengah itu tak sadar rupanya, teriakan dan pertanyaan puja-pujinya terpampang di depan mata dunia: mereka yang mungkin ikut sedih dengan keterpurukan Irak hari-hari ini karena ulah Amerika. Hari-hari ini, mereka yang menganggap George Bush dan Tony Blair lebih tiran ketimbang Saddam Hussein mungkin lebih banyak di muka bumi. Komentar-komentar dari nurani penduduk bumi, tentu jauh lebih berarti ketimbang wartawan-wartawan Timur Tengah yang histeris itu.

Melihat mereka berteriak seperti itu, saya kehilangan minat membuka situs-situs media massa Timur Tengah. Kecuali Al-Jazeera.



arungtasik@any-mail.co.uk

No comments: