Tuesday, December 30, 2003

Harrods, Permata Asing di Jantung Britania

Ritual belanja akhir tahun itu, apa boleh buat, tak mungkin saya lewatkan. Sudah berhari-hari, iklan anjing kecil berkuping lebar yang mengajak ke pesta diskon, muncul di televisi, koran-koran, dinding-dinding bis dan taksi. "Be blown away by the prices. The Harrods Sale starts 29th December.".

Ya, hari ini, Selasa 29 Desember, toko serba ada Harrods memulai hari pertama pesta rabatnya. Pukul sembilan pagi, di bawah kilat lampu kamera wartawan, Muhammad Al-Fayed membuka pintu Harrods dalam sebuah prosesi yang tak biasa. Dimulai dengan kedatangan artis Hollywood, Jennifer Love Hewitt dalam kereta kencana yang ditarik dua kuda hitam, hitung mundur, lalu pintu Harrods dikuakkan.

Saya tiba di sana beberapa saat setelah prosesi itu berlangsung. Bersama istriku, Karin dan sahabat kami Rani Susilo, kami keluar dari tangga Stasiun Knightsbridge dan langsung berada dalam antrian panjang di emperan Harrods. Gerimis membasahi Brompton Road dan udara dingin membekukan ujung-ujung jariku.

Di dalam Harrods, ribuan orang seperti tengah bertawaf: padat dan berputar-putar. Kami langsung menuju Harrods World, tempat aneka cinderamata khas berlambang toko ini dijajakan. Kaleng-kaleng, tas kulit dan plastik, boneka, mug, pembatas buku, semua pernak-pernik yang mengundang. Lalu dari situ, menjelajah ke beberapa ruang dan lantai. Dan saya, seperti biasa, adalah penonton orang belanja yang baik, sementara Karin tersaruk-saruk dengan tas belanjaannya.

Empat jam lamanya, dan kami baru mendatangi beberapa ruang. Satu yang mengesankanku, ruang tangga bernuansa Mesir kuno yang tentu saja amat mahal: Central Egyptian Escalator dengan mosaik langit-langitnya yang memukau. Di ujung anak tangga terbawah, ada ruang memorial sahibul toko: foto Lady Diana dan Dodi Al-Fayed dalam bingkai emas dan pendar lilin di atas tatakan batu saphir.

Ah, Harrods, siapa tak mengenalnya --setidaknya, pernah mendengar namanya. Ia bukan sekadar jejeran manekin, rak-rak busana, dan mega toko di 87-135 Brompton Road, sebuah jalan di kawasan Knightsbridge, London. Tapi Harrods adalah etalase Inggris itu sendiri.

Motto Latin-nya yang terkenal, omnia, omnibus, ubique (apa pun, siapa pun, di mana pun) dengan tepat menunjukkan kelas Harrods sebagai pusat belanja yang menjual segala jualan, didatangi segala rupa manusia dari pelosok manapun di muka bumi.

Tentu Charles Henry Harrods tak pernah bermimpi, kedai teh kecil yang ia buka di tahun 1849 akan segemerlap itu. Tapi talenta dagang tehnya yang cemerlang membuat toko ini kemudian bertahan melintas zaman. Ia menjadi bangunan pertama yang menggunakan eskalator di Inggris.

Kini --satu setengah abad kemudian-- Harrods sudah menjadi mega toko seluas enam hektare, yang menghabiskan 48 nomor bangunan di Brompton Road, dengan lebih dari 330 departemen dan 4.000-an pelayan. Warga London menjuluki gedung berlantai enam ini Istana Knightsbridge. Di malam hari, pendar 11.500 balon lampu warna-warni membungkus bangunan megah bernuansa terrakota-nya yang eksotis, dengan kubahnya yang menjulang.

Pada setiap usai Natal setiap tahunnya, seperti hari ini --29 Desember 2003, ketika Harrods mengawali pesta rabat-- ribuan orang rela begadang semalam suntuk demi menjadi rombongan pertama yang mengantri di depan pintunya. Mereka mendirikan tenda kecil di trotoar dan emperan Harrods, berbalut kantong tidur dan embun dinihari, untuk ritual yang tak biasa ini: berbelanja di toko terbesar di Britania Raya.

Tak heran jika pada sebuah hari belanja di tahun 1997, Harrods menghitung penjualan terbesarnya dalam 10 jam saja: 16 juta pounds (240 miliar rupiah!).

Harrods bukan lagi sekadar toko, ia adalah miniatur kapitalisme, ia juga jadi ilham bagi banyak karya. Pada sebuah hari di tahun 1924, penulis kelahiran Hampstead, Alan Alexander Milne berbelanja boneka beruang untuk putranya Christopher Robin. Belakangan boneka beruang ini menjadi inspirasinya --juga model-- untuk menulis cerita anak Winnie the Pooh yang terkenal itu.

Di sisi lain, di mata publik Inggris, pusat belanja termegah itu bak benda asing dalam perut. Pemiliknya, Muhammad Al-Fayed, bukanlah warga negara Inggris. Sudah 35 tahun sang firaun bisnis asal Alexandria, Mesir ini bermukim di London, tapi ia tak kunjung memperoleh hak kewarganegaraannya.

Seluruh dunia tersentak ketika laki-laki 70 tahun ini mengambil alih saham House of Fraser, pengelola Harrods dengan harga 615 juta pounds di tahun 1985. Media-media Inggris yang menjuluki Al-Fayed sebagai the Fabulous Pharaoh, benar-benar tak habis pikir, bagaimana laki-laki flamboyan yang datang dari negeri di pinggir Sungai Nil ini bisa dengan mudah mengambil alih kepemilikan atas salah satu simbol Britania di dunia bisnis itu.

Al-Fayed bersama dua saudaranya, Ali dan Salah Al-Fayed juga pemilik hotel paling prestisius di Eropa, Hotel Ritz di Paris dan sebagian Rockefeller Center di New York. Popularitasnya kian terdongkrak ketika ia membeli klub sepakbola Fulham di bulan Mei 1997, beberapa pekan setelah klub kota London ini memenangkan promosi ke divisi satu Liga Inggris.

Keluarga Al-Fayed juga jadi buah bibir dunia ketika putra tunggalnya Dodi Al-Fayed, intim dengan Lady Diana Spencer, istri Putra Mahkota Inggris, Pangeran Charles. Dodi, sang pangeran Harrods 42 tahun ini, tak kurang flamboyannya dari sang ayah. Ia terbang dengan pesawat jet dan helikopter pribadi dan berlayar dengan kapal pesiar miliknya sendiri. Sungguh ia memiliki segalanya: ayahnya, sang firaun Al-Fayed --the man who has almost everything-- dan ibunya adalah Samira Khashoggi, putri pialang senjata kaya Timur Tengah, Adnan Khashoggi. Tapi hidup sang putra mahkota berakhir tragis. Ia tewas dalam kecelakaan di Paris, 31 Agustus 1997, bersama Lady Di -- kematian yang ditangisi dunia.

Kini, dari kantornya yang mewah di seberang Hyde Park, Al-Fayed mengendalikan belalai bisnisnya di seluruh dunia. Tapi, ya itu tadi, ia tak kunjung menjadi warga negara Inggris, hak yang ia kejar sejak 1995. "Harrods is Brit, owner Fayed is far from it," tulis sebuah media, menyambut kegagalan Fayed untuk kesekian kalinya memperoleh hak kewarganegaraan, tahun 2003 ini.

Juru bicara Al-Fayed, Laurie Mayer tak menyangka sang majikan akan ditolak. Soalnya,"baru semalam ia bersalaman dengan Perdana Menteri Tony Blair di konferensi Dewan Muslim Britania," kata Mayer.

Al-Fayed tak kurang berangnya. "Saya pemilik Harrods dengan ribuan pekerja di negeri ini."

Departemen Dalam Negeri Inggris mensyaratkan hanya tiga hal untuk menjadi warga negara: berusia di atas 18 tahun, sudah tinggal dalam waktu lama di Inggris, dan berkelakuan baik. Adakah Al-Fayed belum memenuhi syarat ketiga? Ada banyak dugaan di seputarnya.

Yang jelas, Al-Fayed sendiri tampaknya sudah berputus asa. Pekan lalu, ia mengumumkan hendak bermukim di Swiss. Mungkin sesekali ia akan ke London, menyaru di keramaian Brompton Road dan memandang gemerlap ribuan lampu Harrods, timang-timangannya di tanah asing ini.

arungtasik@any-mail.co.uk

No comments: