Wednesday, December 24, 2003

Ke Colchester, Berkunjung ke Masa Silam

Tempat ini benar-benar untuk tetirah: jeda dari hiruk-pikuk kehidupan dan merenungi jalan panjang hari-hari mendatang. Ke Colchester, kami menghabiskan dua hari terakhir sebelum kendaraan-kendaraan umum libur di hari Natal dan Boxing Day.

Perjalanan ke kota kecil di provinsi Essex itu bahkan sudah dinikmati sebelum sampai. Desa-desa yang sepi dan tetap apik di ambang musim dingin, seperti lukisan yang berarak di jendela kereta -- perjalanan 54 mil dari London. Padang-padang rumput yang luas dengan satu dua rumah di tengahnya, seperti selasar di bawah langit yang bening.

Dan Colchester melengkapi keindahan itu. Sebuah kota tua yang tertata, lansekap kota yang mengingatkanku pada Malino: meliuk-liuk dari puncak ke lembah, dari atap bukit ke ngarai-ngarai. Pusat kota berpenghuni 160.000 orang ini ditandai dengan sebuah menara di puncak Town Hall, gedung balaikota di Queen Street. Di sekitarnya bertebaran toko-toko kecil, kafe dan pub, dengan penghuni yang memiliki keramahan khas Inggris udik yang lebih banyak bertabik ketimbang bermohon.

Lebih dari itu, Colchester juga tempat untuk menengok masa silam, karena ia adalah kota tertua di Inggris. The oldest recorded town in Britain, begitu tertulis di brosur-brosur dan situs tentang Colchester. Nama kota ini tercatat dalam catatan penulis Romawi, Pliny Tua bertahun 77 Masehi. Pliny Tua menyebut nama Camulodunum, nama kuno Colchester. Ia pun tercatat dalam riwayat perebutan kekuasaan di Eropa di masa silam. Colchester takluk kepada Romawi sebelum manuskrip Pliny Tua itu ditulis.

Sebagai bekas ibukota kawasan tenggara Inggris, ia menyimpan jejak panjang sejarah Britania Raya. Sekeliling pusat kota, bekas-bekas tembok kuno yang membentengi Colchester masih terlihat di beberapa lokasi. Tembok kuno sepanjang tiga kilometer, tebal tiga meter dan tinggi sembilan meter ini dibangun pada abad pertama Masehi, dan merupakan tembok kota tertua di Eropa. Di sebuah pebukitan dekat menara air, tembok kota ini masih menjulang, meski tidak utuh lagi.

Istana kuno Colchester Castle di salah satu pusat kota, adalah saksi bisu invasi Ratu Boudica dari Romawi ke kota Colchester di tahun 60 Masehi -- hampir dua milenium silam. 3.000 warga Colchester berlindung di tempat ini, tapi malang, mereka semua terbunuh dalam dua hari pertempuran. Mereka bagian dari 30.000 penduduk Colchester yang tewas dalam perang panjang itu. Sejak itu, Colchester menjadi koloni Romawi.

Istana Colchester itu masih berdiri megah, meski batanya sudah kusam dan cuil di setiap sudutnya. Sejarawan Eropa mencatat ia pernah menjadi istana terbesar di benua ini. Ia sudah dijadikan museum sejarah sejak tahun 1860. Tapi sampai hari ini, ketika saya menyentuh batanya yang kusam, kemegahannya sungguh masih menggetarkan.

Masih di area Colchester Castle, ada Hollytrees Museum, rumah dari zaman Georgian di abad 18 yang memampangkan kehidupan keluarga di kota ini, ratusan tahun lalu.

Colchester memang sudah berkembang jadi kota kecil yang apik. Toko serba ada, universitas dan hotel-hotel sudah bertebaran di sana-sini. Tapi bangunan-bangunan modern tidak menenggelamkan pesona masa silam kota ini. Menara air yang dibangun di tahun 1883, menjulang setinggi 43 meter, masih menjadi bangunan tertinggi di Colchester. Ia masih tegak berdiri, meski tidak berfungsi lagi.

Datang ke Colchester adalah berkunjung ke masa silam. Saya menikmatinya, meski temperatur nyaris tak terekam thermometer: 0 derajat Celcius. Kembali ke London, lagi-lagi saya menyusuri lukisan alam itu, selasar langit yang berarak di jendela kereta.

arungtasik@any-mail.co.uk

No comments: